Pertemuan Sufi I di Mesir: Kupas Tuntas Tawasul dan Wasilah

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi September 2005, Pertemuan Sufi I (al-Multaqa ash-Shufi al-Awwal) telah berlangsung sukses di Mazra’ah al-Kiram Markaz Badr Provinsi Buhairah (Markas Pusat Thariqah Dusuqiyah Muhammadiah di bawah asuhan Maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad ad-Dusuqi) dengan membahas berbagai persoalan akidah umat Islam, terutama masalah tawassul dan wasilah.

 0
Pertemuan Sufi I di Mesir: Kupas Tuntas Tawasul dan Wasilah

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi September 2005, Pertemuan Sufi I (al-Multaqa ash-Shufi al-Awwal) telah berlangsung sukses di Mazra’ah al-Kiram Markaz Badr Provinsi Buhairah (Markas Pusat Thariqah Dusuqiyah Muhammadiah di bawah asuhan Maulana Syekh Mukhtar Ali Muhammad ad-Dusuqi) dengan membahas berbagai persoalan akidah umat Islam, terutama masalah tawassul dan wasilah. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi, itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain:

1. Pengertian Tawassul.

Menurut bahasa, kultur maupun istilah agama, tawassul dapat didefinisikan sebagai berikut:

اِتِّخَاذُ وَسِيلَةٍ لِبُلُوغِ غَايَةٍ، وَهُوَ ضَرُورَةٌ فِطْرِيَّةٌ، تَحِلُّ الْوَسِيلَةُ بِحِلِّ غَايَتِهَا وَتَحْرُمُ بِحُرْمَتِهَا

“Mengambil/menggunakan sebuah wasilah (perantara) untuk mencapai sebuah tujuan, dan hal itu merupakan tuntutan fithrah (tidak dapat dihindari secara fithrah). Apabila tujuannya halal maka wasilahnya menjadi halal, dan apabila tujuannya haram maka wasilahnya pun menjadi haram.”

Sebagai contoh, mata digunakan sebagai wasilah untuk tujuan melihat, telinga digunakan sebagai wasilah untuk tujuan mendengar, lidah digunakan sebagai wasilah untuk tujuan berbicara, kaki digunakan sebagai wasilah untuk tujuan berjalan, dan begitu seterusnya. Semua itu merupakan praktik-praktik tawasul yang tidak dapat dihindari bahkan oleh binatang sekalipun, sehingga disebutlah sebagai dharurah fithriyyah (tuntutan fithrah). Jika tawasul diharamkan secara mutlak, maka dengan apakah gerangan manusia dapat melihat dan mendengar kalau bukan dengan wasilah mata dan telinganya? Dengan apa pula seekor burung dapat terbang kalau bukan dengan wasilah kedua sayapnya?.

Tawasul baru dapat dihukumi haram apabila penggunaan wasilah tersebut dimaksudkan untuk tujuan yang haram, semisal menggunakan wasilah lidah untuk tujuan berdusta atau mengumpat. Sedangkan apabila lidah digunakan sebagai wasilah untuk tujuan berkata jujur dan berzikir, maka tentu saja halal. Sehingga, barangsiapa mengharamkan tawasul secara mutlak maka sungguh ia telah mengabaikan fithrah dan menyia-nyiakan fungsinya sebagaimana ditetapkan Sang Pencipta. Sebaliknya, barangsiapa menghalalkan tawassul secara mutlak maka sungguh ia telah meruntuhkan hukum agama seutuhnya!

2. Makna Muhammad Rasulullah.

Allah Swt. berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ (التوبة: 33)

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama.” (QS. at-Taubah: 33)

Suka tidak suka, ayat di atas menyimpulkan bahwa Allah Swt. sesungguhnya telah melakukan tawasul (dalam perspektif bahasa), yakni menggunakan Rasul-Nya sebagai wasilah untuk tujuan menyampaikan petunjuk kepada umat manusia dan untuk memenangkan agama-Nya di atas segala agama. Padahal, Allah sebetulnya tidak membutuhkan itu dan Maha Kuasa untuk menyampaikan petunjuk tanpa perantara Rasul, sebagaimana firman-Nya:

وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا” (السجدة: 13)

Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuknya (tanpa perantara Rasul).” (QS. at-Taubah: 13)

Pertanyaannya, apabila Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya telah memilih bertawasul dengan Rasul untuk tujuan sampai kepada umat manusia, maka akankah manusia yang maha lemah lagi maha membutuhkan enggan bertawasul dengan Rasul untuk tujuan sampai kepada Tuhannya ?

Apabila seorang muslim bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka itu artinya ia menyatakan dan mengakui bahwa Nabi Muhammad bukanlah sekutu ataupun anak Allah, melainkan semata-mata perantara (wasithah) serta wasilah-Nya.

3. Nilai Tawassul di Balik Rukun-Rukun Islam.

Satu hal yang jarang disadari umat Islam sendiri adalah bahwasanya rukun-rukun Islam sesungguhnya merupakan praktik bertawassul yang nyata. Bagaimana tidak, sementara Allah Swt. telah memerintahkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ (المائدة: 35)

Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (bertawasullah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 35)

Bila diamati dengan seksama, sesungguhnya rukun Islam pertama tidak lain merupakan sebuah pernyataan dan pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah wasilah Allah untuk menyampaikan hidayah kepada manusia, lebih-lebih menjadi wasilah manusia untuk mencapai hidayah Allah serta meraih ridho-Nya.

Dan bila merujuk ke sejumlah hadits yang menerangkan seputar keutamaan rukun-rukun Islam, maka shalat sebagai rukun kedua pun menjadi wasilah hamba untuk tujuan menegakkan tiang agama, zakat sebagai rukun ketiga menjadi wasilah hamba untuk tujuan membersihkan harta, puasa sebagai rukun keempat menjadi wasilah hamba untuk tujuan memasuki surga melalui pintu Rayyan, dan haji sebagai rukun kelima menjadi wasilah hamba untuk tujuan menyempurnakan iman serta memenangakan surga.

Dengan kata lain, barangsiapa ingin menegakkan tiang agamanya maka hendaklah ia bertawasul dengan shalat, barangsiapa ingin membersihkan hartanya maka hendaklah ia bertawasul dengan zakat, barangsiapa ingin memasuki surga melalui pinta Rayyan maka hendaklah ia bertawasul dengan puasa, dan barangsiapa ingin menyempurnakan keimanannya maka hendaklah ia bertawasul dengan haji. Dan sebelum itu semua, barangsiapa ingin memegang kunci surga maka hendaklah ia menyatakan terlebih dahulu dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah wasilah teragung nan termulia, serta berkenan untuk bertawasul dengan beliau untuk mencapai hidayah dan ridho-Nya.

4. Tawasul dengan Yang Mati.

Ketika kita menyatakan bahwa para nabi dan para wali adalah wasilah-wasilah Allah untuk tujuan menyampaikan hidayah kepada umat manusia, sekaligus menjadi wasilah-wasilah umat manusia untuk tujuan meraih hidayah dan ridha-Nya, maka itu artinya kita menyatakan bahwa semua itu terjadi dengan kekuasaan-Nya dan bukan dengan kekuasaan mereka. Sehingga, tiada beda antara hidup dan matinya mereka, karena toh bukan dengan kuasa mereka juga, melainkan dengan kuasa Tuhan Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri. Jika kita mengatakan bahwa mereka dapat memberi manfaat di masa hayat mereka saja dan tidak dapat memberi manfaat setelah mereka meninggal dunia, maka itu artinya kita menyatakan bahwa mereka lah sumber manfaat dan bukan Allah Swt. Seakan-akan kita menyatakan bahwa mereka sungguh-sungguh memiliki kekuasaan yang dzati, sehingga kekuasaan itu menjadi mati bersama kematian mereka.

Lagipula, yang hidup tidak selalu lebih bermanfaat ataupun lebih mulia daripada yang mati. Misalnya, apakah Fir’aun ketika hayat lebih mulia daripada Nabi Musa setelah wafatnya? Dan apakah ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia berhenti mencintainya setelah meninggal dunia? Apakah juga ketika Allah memberi anugerah kepada seorang hamba, Dia mencabut anugerah itu setelah matinya?

Sungguh, barangsiapa -dalam rangka bertawassul- membedakan antara hidup dan matinya sebuah wasilah maka ia telah menyandarkan manfaat dan mudarat itu kepada wasilah tersebut dan bukan kepada Allah Swt. Adapun seseorang yang meyakini bahwa Allah lah sumber segala manfaat maupun mudarat maka baginya tiada beda antara hidup dan matinya sebuah wasilah, karena ia hanyalah wasilah semata. Dan Allah Swt. tidak hanya kuasa memberikan manfaat kepada umat manusia melalui wasilah yang hidup saja!. Bukankah kambing dan ayam lebih bermanfaat bagi kita setelah matinya daripada waktu hidupnya ?

Salah satu contoh tawasul Rasulullah Saw. dengan yang telah meninggal dunia adalah doa beliau untuk Siti Fathimah binti Asad (ibu Imam Ali bin Abi Thalib), sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Abu Nu’aim serta di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Rasulullah Saw. bertawasul dalam doa beliau sebagai berikut:

اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ اغْفِرْ لِأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (أخرجه الطبراني وأبو نعيم)

Allah Yang Maha Menghidupkan lagi Maha Mematikan dan Dialah Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Ajarkan kepadanya hujjahnya, lapangkanlah kuburnya, dengan wasilah kebenaran Nabi-Mu serta para nabi sebelumku (yang telah meninggal dunia), karena Engkaulah yang paling mengasihi di antara para pengasih.” (HR. ath-Thabrani dan Abu Nu’aim)

5. Kedekatan Allah dan Terkabulnya Doa.

Dikatakan oleh mereka yang menolak tawassul bahwa Allah Swt. Maha Dekat dengan hamba-hamba-Nya, sehingga tidak diperlukan lagi bertawasul dengan alasan firman-Nya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ (البقرة: 186)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.” (QS. al-Baqarah: 186)

Padahal, ayat di atas sesungguhnya menekankan pentingnya bertawasul dengan Rasulullah Saw. sebagai syarat mutlak untuk meraih kedekatan Allah serta terkabulnya doa. Allah Swt. mengatakan: “Apabila hamba-hamba-Ku (mendatangimu untuk) bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa.” Sebaliknya, apabila mereka enggan datang kepadamu (tidak mau bertawasul denganmu dan berdoa melaluimu), maka Aku jauh dan tidak akan mengabulkan doa.

Artinya, ayat yang digunakan mereka untuk menolak tawasul di atas sesungguhnya justru merupakan dalil terkuat tentang urgensi tawasul bahkan tentang syarat mutlak kedekatan Allah serta terkabulnya doa, yaitu dengan mendatangi sang wasilah termulia, Baginda Rasulullah Saw.

6. Kehendak dan Keputusan Allah.

Rasulullah Saw. bersabda:

ِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَو اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَو اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ إِلَّا قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ جَفَّتِ الْأَقْلَامُ وَرُفِعَتِ الصُّحُفُ (رواه الترمذي)

Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah sesungguhnya jika umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali dengan apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mencelakakanmu kecuali dengan kecelakaan yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering (keputusan Allah telah ditetapkan).” (HR. at-Tirmizi)

Hadits di atas juga acapkali disalahpahami ataupun ditafsirkan secara tidak tepat. Ya, umat tidak mampu memberi manfaat dan mudarat kepada siapapun apabila dengan kekuasaan mereka semata, melainkan dengan kekuasaan Allah Swt.! Ya, umat tidak akan sanggup memberi manfaat dan mudarat kepada siapapun kecuali atas kehendak-Nya dan dengan apa yang telah ditetapkan dalam takdir-Nya!. Maka hadits di atas tidak menampik total bahwa umat dapat memberi manfaat ataupun mudarat. Ini kesimpulan yang terlampau keliru. Hadits di atas sesungguhnya mengingatkan bahwa umat tidak dapat memberi manfaat dan mudarat kecuali atas kehendak dan izin Allah!. Dengan kata lain, umat sesungguhnya dapat memberi manfaat maupun mudarat, namun tidak lepas dari kehendak, izin, kuasa serta takdir Allah Swt.

Alhasil, Allah lah yang Maha Memberi manfaat maupun mudarat. Akan tetapi, Allah memberi manfaat dan mudarat dengan cara yang dikehendaki-Nya serta melalui proses yang telah ditetapkan-Nya. Terkadang Allah memberi manfaat dengan wasilah manusia, terkadang pula dengan wasilah makhluk lainnya. Terkadang Allah memberi manfaat dengan wasilah yang hidup, terkadang pula dengan wasilah yang mati. Terkadang Allah memberi mudarat dengan wasilah yang bermanfaat, terkadang pula memberi manfaat dengan wasilah yang memudaratkan. Terkadang Allah memberi manfaat dengan wasilah tertentu, terkadang pula memberi mudarat dengan wasilah itu juga (wasilah yang sama). “(Allah) Maha Kuasa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Buruj: 16)

7. Majaz ‘Aqli.

Allah Swt. berfirman:

وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنفَعَنَا (القصص: 9)

Dan berkatalah istri Fir’aun: (Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia dapat memberi manfaat kepada kita.” (QS. al-Qashash: 9)

Dan Rasulullah Saw. bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ (رواه الطبراني)

Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada umat manusia.” (HR. ath-Thabrani)

Pada ayat dan hadits di atas, ditegaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa manusia dapat saja memberi manfaat kepada manusia lainnya, akan tetapi sudah pasti dengan izin Allah Swt. meskipun ayat dan hadits di atas tidak sedikitpun menyinggung atau menyebutkannya. Itulah yang disebut dengan majaz ‘aqli. Dan begitulah ketika seseorang tidak memperdalam kajiannya terhadap keindahan bahasa al-Qur’an dan tidak pula memperluas wawasannya tentang akidah Ahlussunnah wal Jamaah, maka ia bakal sedikit-sedikit mengharamkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan dan mensyirikkan. Wal ‘iyadzu billah.

Penulis: Dr. TGH. Abdul Aziz Sukarnawadi, M.A. (Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur)
Sumber: Majalah at-Tashawwuf al-Islami, terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, edisi September 2005.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow