Menyingkap Rahasia Ilmu Laduni Melalui Perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Surat Al Kahfi*

Ilmu tarekat dan tasawuf adalah salah satu jalan untuk seseorang mencapai makrifatullah. Mereka yang melalui jalan ini pasti akan menemui berbagai ujian dan cobaan. Keduanya ini adalah jalan untuk seseorang itu mengetahui apakah ia istiqamah atas niatnya untuk mencari keridlaan Allah atau tidak.
Ujian datang dalam berbagai bentuk. Ada yang zahir dan ada yang batin. Ujian ini seringkali menyebabkan banyak salik tertipu dan terpedaya sehingga mengganggu perjalanan ruhaniannya. Jika seseorang salik tidak mendapat bimbingan yang benar dari seorang mursyid, sudah pasti ia akan terjerumus ke dalamnya.
Kisah pengembaraan Nabi Musa as yang ingin menuntut ilmu dari Nabi Khidir as. bisa dijadikan contoh untuk memahami rahasia dibalik peristiwa-peristiwa luar biasa seperti ilmu laduni, kasyaf, lipat bumi, sifat ikhlas, ridla dan syukur. Kisah ini diceritakan oleh Allah dalam surat al-Kahfi ayat 60-82.
Perjalanan yang Jauh dan Lokasi yang Tidak Diketahui
Menurut Imam al-Razi dalam tafsirnya, kisah ini bermula ketika Nabi Musa as bertanya kepada Allah Swt., “Adakah manusia yang lebih alim dari padaku?” Lalu Allah Swt. berfirman, “Bahwa ada seorang hamba yang lebih alim yaitu Khidir. Nabi Musa as. lalu memohon kepada Allah Swt. untuk bertemu dan belajar sesuatu dari Nabi Khidir. Firman Allah Swt. dalam surat Al-Kahfi, ayat 60,
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰٓى اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا
“(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”
Ayat di atas mengisahkan Nabi Musa as. berazam untuk melakukan pengembaraan mencari Nabi Khidir walaupun harus menempuh waktu bertahun-tahun. Ia juga tidak tahu di mana lokasi pertemuan tersebut. Nabi Musa as. hanya diperintah Allah untuk membawa bekal dan berjalan terus sehingga sampai di pertemuan antara dua laut.
Ayat di atas menunjukkan bahwa perjalanan untuk mencapai dan memahami hakikat ilmu laduni bukan suatu yang mudah. Perlu niat yang kuat dan adab yang tinggi. Begitu juga dengan jarak tempuh perjalanan seorang murid untuk memahami hakikat laduni. Semuanya dalam ketetapan Allah Ta’ala melalui panduan dari guru mursyid. Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa ia memperoleh ilmu laduni dengan mudah atau sering dikunjungi Nabi Khidir, maka perhatikanlah bagaimana ia melakukan tirakat dan bersungguh-sungguh. Jika ternyata ia tidak pernah bermujahadah dalam melawan hawa nafsu, maka perlu dinilai ulang.
Ujian Kelelahan dan Godaan Setan
Perjalanan yang jauh ini menyebabkan Nabi Musa mengalami keletihan. Namun berkat kesungguhan dan niat yang kuat, Nabi Musa as. mampu tiba di lokasi yang dituju.
Selama perjalanan berlangsung, setan telah berhasil membuat pertemuan kedua hamba Allah ini tertunda, sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat al-Kahfi ayat 61-63 yang artinya,
“Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, ‘Bawalah ke mari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.’ Dia (pembantunya) menjawab, ‘Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali’.”
Ayat di atas mengisahkan ujian keletihan yang amat sangat dan juga gangguan setan yang mencoba menghalangi pertemuan tersebut. Perjalanan untuk memahami hakikat ilmu laduni bukan saja akan diuji dengan kesusahan, bahkan setan akan mencoba untuk mengagalkannya. Oleh itu, sekiranya seseorang mengatakan sering bertemu dengan Nabi Khidir dengan mudah, maka kita perlu bertanya apakah yang datang itu benar-benar Nabi Khidir atau setan yang menyerupainya?
Panduan dan Bimbingan Guru Mursyid
Perjalanan yang jauh dan penuh cobaan ini tidak akan berhasil jika tidak ada bimbingan. Sebagai panduan, Allah Swt. memerintahkan Nabi Musa agar membawa bekal berupa ikan yang sudah mati. Ikan tersebut akan hidup kembali ketika sampai di lokasi yang didiami oleh Nabi Khidir. Firman Allah Swt. dalam ayat 64,
قَالَ ذٰ لِكَ مَا كُنَّا نَبۡغِ فارۡتَدَّا عَلٰٓى اٰثَارِهِمَا قَصَصًا
“Dia (Musa) berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
Pelajaran dari Ayat di Atas
Perjalanan untuk mencapai dan memahami hakikat ilmu laduni memerlukan panduan khusus dari guru mursyid. Tanpa panduan ini, seseorang itu tidak mungkin dapat memahami hakikat ilmu laduni yang sesungguhnya. Dalam mencari guru, sudah pasti ada panduan tertentu. Guru yang mursyid ialah seorang guru telah hidup hatinya dengan zikrullah dan bercahaya dengan cahaya makrifatullah. Keberkatan guru ini juga mampu menghidupi dan menerangi hati manusia yang sudah mati, sebagaimana berkat Nabi Khidir, ikan yang sudah mati bisa hidup kembali.
Sifat Kehambaan dan Tawadhu’
Ketika Nabi Musa kembali ke lokasi yang dimaksud, ia bertemu dengan Nabi Khidir as. Lantas Nabi Musa menyatakan keinginannya untuk mempelajari sesuatu yang Allah karuniakan kepadanya. Firman Allah Swt. pada ayat 65-69 yang artinya,
“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya, ‘Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?’ Dia menjawab, ‘Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Dia (Musa) berkata, ‘Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun’.”
Dari kisah ini, Allah menggambarkan sifat Nabi Musa dan Nabi Allah Khidir sebagai berikut:
1. Sifat kehambaan yang sempurna
Allah Swt. menggunakan lafaz “hamba” yang merujuk kepada Nabi Khidir as. sebagai orang yang dikaruniakan ilmu laduni, tentu telah mencapai derajat insan kamil atau manusia yang sempurna sifat kehambaan-Nya. Istilah ini banyak digunakan oleh Allah Ta’ala kepada para nabi khususnya Nabi Muhammad saw. yang dijelaskan dalam surat al-Isra ayat 1. Justru, untuk menilai apakah ilmu laduni yang diterima itu benar atau tidak, bisa dilihat dari sifat kehambaannya dalam melaksanakan segala perintah Allah zahir dan batin.
Walaupun Nabi Musa sudah bergelar Rasul dengan berpangkat Ulul Azmi dan mempunyai pengikut yang banyak, ia tetap merendah diri untuk berguru dengan seorang nabi yang bukan bertaraf rasul. Bahkan Nabi Musa juga menyatakan bahwa ia akan mencoba untuk bersabar dan mengikuti apa saja arahan dari Nabi Khidir.
Dari percakapan ini, kita mendapati bahwa syarat utama seseorang memahami hakikat ilmu laduni adalah dengan sabar dan ridla. Oleh itu, sekiranya seseorang mengatakan bahwa ia memperoleh ilmu laduni sedangkan ia belum mencapai maqam sabar dan ridla, maka yang ia katakana adalah bohong.
Syarat untuk Belajar Ilmu Laduni
Nabi Khidir membolehkan Nabi Musa untuk mengikutinya dengan syarat Nabi Musa tidak boleh bertanya apa-apa kepadanya. Firman Allah Swt. pada ayat 70,
قَالَ فَاِنِ اتَّبَعۡتَنِىۡ فَلَا تَسۡـَٔـلۡنِىۡ عَنۡ شَىۡءٍ حَتّٰٓى اُحۡدِثَ لَـكَ مِنۡهُ ذِكۡرًا
“Dia berkata, ‘Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu’."
Syarat ini merupakan suatu yang pelik. Mana mungkin seseorang dapat belajar tanpa bertanya. Terlebih, Nabi Musa adalah orang yang sangat kritis. Ia diberikan kelebihan dapat berdialog secara langsung dengan Allah Swt. Ayat ini menunjukkan bahawa ilmu laduni bukan sesuatu yang boleh diceritakan dan dipertanyakan karena berasal langsung dari Allah Ta’ala. Sebab itu, antara tanda kebenaran seseorang menerima laduni ialah dia diam dan tidak bercerita tentang kelebihan yang ia diperoleh.
Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa seorang salik perlu menyerahkan dirinya sepenuh hati kepada gurunya laksana mayat yang menyerahkan dirinya kepada tukang mandi jenazah untuk diurus. Mayat tidak boleh menyuruh tukang mandi untuk buat itu dan ini.
Ketika Nabi Musa setuju dengan syarat tersebut, Nabi Khidir membolehkannya berjalan bersamanya. Dalam perjalanan itu, terdapat tiga peristiwa aneh yang terjadi.
Pertama, Nabi Khidir merusak kapal seseorang yang ia tumpangi. Kisah ini Allah Swt. gambarkan pada ayat 71-73, yang artinya,
“Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia (Nabi Khidir) melubanginya. Dia (Musa) berkata, ‘Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?’ Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.’ Dia (Nabi Khidir) berkata, ‘Bukankah sudah kukatakan, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?’ Dia (Musa) berkata, ‘Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku’.”
Dalam ayat ini, Nabi Musa telah bertanya mengapa Nabi Khidir memecahkan dinding kapal milik nelayan yang ditumpangi secara gratis. Ternyata Nabi Musa telah melanggar syarat yaitu diam, jangan bertanya apapun.
Peristiwa ini sebenarnya memberi pengajaran bahwa seseorang yang dikaruniai ilmu laduni tidak boleh menceritakan apa yang ia miliki kepada siapapun. Nabi Khidir telah diberikan kelebihan dari Allah Swt. yaitu dibukakan hijab pandangan sehingga ia dapat melihat apa yang sedang terjadi di pelabuhan yang jauh dari lokasi mereka berada.
Nabi Khidir melihat akan ada raja yang merampas setiap kapal yang bagus dan membiarkan kapal yang rusak. Oleh sebab itu, Nabi Khidir sengaja melubangi kapal itu agar raja tidak akan merampasnya.
Perbuatan Nabi Khidir merusak kapal nelayan merupakan satu bentuk kasyaf dan ada yang mengatakan sebagai ilmu lipat bumi (Thayyu al-Makan). Sekiranya seseorang dianugerahi kasyaf yang demikian ini, ia perlu menyembunyikannya. Nabi Khidi tidak menceritakan kepada sesiapapun apa yang diperlihatkan Allah kepadanya. Oleh sebab itu, sekiranya seseorang itu mengatakan bahwa ia telah kasyaf dan kemudian disebarkan kepada orang lain, itu menandakan kasyaf tersebut bukanlah suatu laduni, tetapi bisa jadi kasyaf dari jin dan setan.
Kedua, Nabi Khidir membunuh anak-anak. Kisah ini Allah Swt. gambarkan pada ayat 74-76, yang artinya,
“Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, kemudian dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, ‘Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.’ Dia berkata, ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?’ Dia (Musa) berkata, ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku’."
Dalam perjalanan berikutnya, mereka berdua melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain. Nabi Khidir secara tiba-tiba telah menangkap salah seorang anak-anak itu lalu membunuhnya. Sekali lagi Nabi Musa melanggar syarat dengan bertanya kepada Nabi Khidir tentang perkara itu. Lantas Nabi Khidir mengingatkan tentang janji tersebut.
Akhirnya Nabi Musa mengakui bahwa apa yang dilalui itu sungguh berat dan ia bersedia untuk disingkirkan jika mengulangi lagi perbuatan tersebut. Ternyata, menanggung rahasia ilmu laduni adalah suatu yang berat. Kalau bukan karena sifat sabar dan amanah, sudah tentu Nabi Khidir ingin menceritakan saja apa rahasia yang tersirat dibalik kejadian tersebut.
Dalam kejadian ini, daya penglihatan dan pengetahuan Nabi Khidir disingkapkan sehingga dapat melihat apa yang terjadi pada masa lampau dan masa depan. Nabi Khidir mendapat berbagai pengetahuan tentang anak-anak itu termasuk kedua orang tuanya. Menurut Imam al-Khazin dalam kitabnya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, anak yang dibunuh oleh Nabi Khidir as. bernama Haisur. Ibu dan bapaknya adalah orang yang soleh.
Dengan izin Allah Swt, Nabi Khidir dapat melihat apa yang telah dilakukan oleh anak ini pada masa yang akan datang. Anak ini selalu mencuri dan ketika dewasa, ia akan menjadi kafir dan memaksa kedua orang tuanya menjadi kufur. Kelebihan ini dikenali sebagai lipat masa atau Thayyu al-Zaman yaitu disingkap hijab pandangan zahir sehingga dapat melihat dimensi masa.
Ilmu laduni bukanlah gurauan. itu adalah rahasia yang menjadi amanah Allah Swt. Nabi Khidir tidak boleh menceritakannya kepada siapapun. Maka jika ada salik yang berharap agar dianugerahi perkara demikian sedangkan dalam keadaan ruhaninya tidak bersedia, maka dia berada diambang kerusakan.
Ketiga, Nabi Khidir memperbaiki tembok yang runtuh. Kisah ini Allah Swt. gambarkan pada ayat 77-78, yang artinya,
“Kemudian keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, ‘Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.’ Dia berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya’.”
Dalam kejadian terakhir ini, kedua-duanya tiba di sebuah desa dalam keadaan yang sangat letih, haus dan lapar. Mereka berdua meminta makanan kepada penduduk di desa itu. Tetapi penduduk desa enggan menjamu mereka. Pada saat itu, Nabi Khidir mendapati ada sebuah dinding rumah yang akan roboh. Lalu ia mengajak Nabi Musa untuk membangun kembali dinding tersebut. Setelah siap, Nabi Khidir mengajak Nabi Musa meneruskan perjalanan.
Perbuatannya membuat Nabi Musa heran lalu bertanya, “Mengapa Nabi Khidir tidak mengambil upah atas kerjanya itu?”
Pertanyaan tersebut adalah akhir perjumpaan keduanya. Sebelum berpisah, Nabi Khidir menceritakan segala rahasia yang tersirat dari semua perbuatannya.
Kemampuan Nabi Khidir melihat harta yang tersembunyi di bawah runtuhan merupakan satu perkara luar biasa. Jika mau, bisa saja ia membiarkan dinding itu runtuh lalu harta itu hilang sebagai balasan atas sifat pelit penduduk kampung itu. Namun itu bukan sifat seorang yang dikaruniai hakikat ilmu laduni. Nabi Khidir tidak lagi memandang dunia dan apa yang ada di atasnya.
Pertanyaan Nabi Musa tentang kejadian pertama (merusak kapal) dan kejadian kedua (membunuh anak kecil) masih dimaafkan oleh Nabi Khidir karena Nabi Musa berbuat demikian demi kebaikan umat dan berlandaskan hukum syariat. Namun, ketika Nabi Musa bertanya tentang upah atas kerja yang dilakukan, pertanyaan tersebut mempunyai unsur keduniaan. Justru, jika seseorang mengaku memperolehi ilmu laduni tetapi masih memandang keuntungan dunia, maka pengakuannya itu perlu diteliti kembali.
Sebelum berpisah, Nabi Nabi Khidir turut menegaskan bahwa pengetahuannya tentang sesuatu yang ghaib adalah karunia dari Allah Swt. Ini adalah isyarat yang jelas bahwa ilmu laduni tidak bisa dipelajari atau diwarisi. Hal tersebut hanya Allah Swt. berikan kepada hamba-hamba-Nya yang mempunyai sifat ikhlas hati dan kesabaran yang tinggi.
Ibnu Ajibah menyatakan waridat Ilahiyyah dan karamah adalah rahasia Tuhan Yang Maha Pemurah, dan hanya diberikan kepada orang-orang yang menjaga dan amanah, bukan kepada orang-orang yang menyebar dan melakukan khianat. Hal ini adalah nikmat ruhani dan rahasia ilahi yang hanya dipahami oleh penerimanya saja. Oleh sebab itu, menyebutkannya kepada mereka yang tidak memahaminya dan tidak merasakannya adalah kejahilan terhadap nilainya.
Editor: Khoirum Millatin
*Tulisan merupakan makalah dari Prof. Madya Dr. Mahyuddin bin Ismail (Anggota Panel Pakar Tasawuf JAKIM dan Wakil Dekan di Univeritas Malaysia Pahang) yang dipresentasikan dalam kegiatan Seminar Internasional Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, di Babussalam Langkat, Indonesia, 2023