Mengenal KH Muntaha Bojonegoro, Mursyid Thariqah Syathariyah dan Pejuang Kemerdekaan

September 20, 2023 - 09:58
Mengenal KH Muntaha Bojonegoro, Mursyid Thariqah Syathariyah dan Pejuang Kemerdekaan

Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang berada di Jawa Timur dengan kondisi wilayah berupa perbukitan, perkebunan dan hutan-hutan. Berdasarkan fakta sejarah, Bojonegoro di masa lampau masuk dalam daerah teritorial Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Islam Demak oleh Raden Fatah, maka secara otomatis Bojonegoro menjadi wilayah Islam.

Pada masa-masa selanjutnya, terjadi pergolakan kekuasaan antara petinggi-petinggi Kesultanan Demak yang menyebabkan berdirinya Kesultanan Pajang dengan rajanya Raden Jaka Tinggkir pada tahun 1568. Sehingga mengakibatkan berpindahnya kedaulatan Bojonegoro menjadi wilayah Pajang,

Dengan berbagai rentetan sejarah Islam yang panjang bahkan hingga saat ini, akhirnya banyak ulama-ulama yang lahir dan menjadi tonggak keilmuan Islam di Bojonegoro, yakni salah satunya adalah Kiai Muntaha Padangan.

Dikutib dari Jurnaba.co, terdapat salah satu ulama masyhur di Padangan, Bojonegoro. Ia adalah KH. Muntaha atau Mbah Ho. Berdasarkan penelusuran nasab, Mbah Ho merupakan ulama dalam lingkar besar Bani Fidarinnur Padangan yang masuk dalam zuriyah dari Syekh Abdul Jabbar Jojogan dan Syekh Sabil Padangan dari jalur ibu maupun ayah.

Dari jalur ayah yaitu KH. Muntaha bin Syamsudin bin Jumain bin Nyai Jamilah binti Nyai dalem binti Syekh Abdul Jabbar (menantu Syekh Sabil Padangan). Sedangkan dari jalur ibu adalah KH. Muntaha bin Wajiroh Syamsudin binti Syihabuddin bin Istad bin Juraij bin Khatib Anom bin Abdul Jabbar (menantu Syekh Sabil Padangan).

Mbah Ho Padangan adalah ulama sufi asal Bojonegoro yang juga masyhur di beberapa wilayah di Jawa Timur seperti Lamongan Tuban hingga Nganjuk. Kemasyhurannya ini dikarenakan banyaknya santri yang pernah ia didik. Meskipun tidak memiliki pesantren, Mbah Ho berdakwah secara Lelono Broto atau berpindah-pindah, sehingga memiliki banyak murid di berbagai wilayah hingga jejaknya terdeteksi di wilayah Nganjuk dan di Blora. Di Blora tepatnya di Jepon, terdapat Mushala yang bernama Al-Muntaha yang menurut pemangku mushala yaitu Kiai Sibawaih adalah peninggalan Mbah Ho Bojonegoro.

Nama Mbah Ho sendiri pada awal abad 20 sebenarnya cukup populer sebagai waliyullah asal Bojonegoro. Ia merupakan Mursyid Thariqah Syathariyah yang mengambil sanad dari pamannya yaitu Kiai Tohir Betet dan ayahnya Kiai Syamsudin Betet hingga Syekh Abdullah as-Syatar .

Selain dari keduanya itu, Mbah Ho juga belajar kepada beberapa ulama di antaranya Kiai Murtadho Kuncen bin Syihabuddin dan Kiai Syahid Kembangan bin Syihabuddin. Dalam sebuah riwayat, Mbah Ho juga bertabarruk pada Kiai Sholeh Langitan. Bahkan Mbah Ho juga pernah belajar di Mekah sewaktu berangkat haji dengan riwayat belajar yang begitu panjang tak heran jika kelak beliau dikenal sebagai ulama alim.

Menurut kisah yang diceritakan dari pengasuh Ponpes Al-Basyiriah Petak Bojonegoro, KH. Athoillah Maimoen, sewaktu Kiai Maimoen Zubair masih muda, ia pernah sowan kepada Mbah Ho dan menjelang pamit Mbah Moen minta barakah doa dari Mbah Ho. Mbah Ho justru mencubit kedua pipi Mbah Moen sambil berkata, “Ganteng kurang ganteng, alim kurang alim yo kowe.”

Mbah Ho tercatat menikah sebanyak dua kali, yang pertama dengan Nyai Saporah Nganjuk yang dikaruniai tujug orang keturunan di antaranya Syamsudin Muntaha, Umar Muntaha, Abdurrahman Muntaha, Ghozali Muntaha, Umi Mumakin binti Muntaha, Raudhah binti Muntaha dan Arifin muntaha. Sementara dari istrinya bernama Nyai Romlah Tuban Mbah Ho dikaruniai satu keturunan yaitu Nyai Muhayah binti Muntaha.

Dari KTP yang sempat ditemukan terlihat jika Mbah Ho memiliki usia yang panjang yakni lahir dari tahun 1844 hingga 1976. Ia wafat pada 27 Jumadil awal 1396 H atau 26 Mei 1976 M dan dikenal sebagai ulama yang berperan dalam persebaran Agama Islam sekaligus sebagai pejuang kemerdekaan. Mbah Ho lah sosok penggodok pasukan Hizbullah Bojonegoro sekaligus penyusun strategi dalam pertempuran November 1945 di Surabaya. Hal ini bisa dilihat dari bentuk bangunan maqbaroh dan jirad makamnya yang merupakan makam seorang pejuang kemerdekaan.