Membentuk Spiritualitas Berthariqah

Secara spiritual tidak ada nikmat yang lebih besar nilainya dalam kehidupan ini melebihi nikmat Iman dan Islam. Namun, Iman itu fluktuatif, naik dan turun. Sedangkan yakin itu tidak pernah menurun tapi terus bertambah. Inilah tujuan bertarekat itu untuk menguatkan keyakinan, sehingga menjadikan iman kita semakin kokoh dan keyakinan semakin bertambah.
Tarekat itu pengamalan dari ihsan, untuk lebih mengenal dan makrifat kepada Allah sehingga mampu melihat Tuhan dengan bashirah (musyahadah) atau minimal kita merasa diperhatikan oleh Allah (muraqabah).
Bertarekat itu agar bagaimana caranya ibadah kita kepada Allah tidak sia-sia dan kosong belaka; ibarat orang memanah tidak hanya sekedar melepaskan busur saja tapi jelas arah dan sararannya.
Orang yang bertarekat dan tahu bagaimana nikmatnya dekat dengan Allah, dia tidak ingin jauh. Karena jika orang sudah dekat dengan Allah, ketika jauh dari-Nya, maka hatinya itu akan merasa tersiksa.
Seorang sufi ditanya, “Apa yang paling membuat anda tersiksa dalam kehidupan?”
Sang sufi menjawab, “Ketika saya merasa tidak ingat kepada Allah, merasa jauh dari Allah, itulah merupakan siksaan terbesar.”
Allah telah memberikan segalanya kepada kita dan diciptakan dalam bentuk fi ahsani taqwim, diberi hati, diberi iman, Islam, napas, akal, kesehatan dan seterusnya yang semua anugerah luar biasa.
Pertanyaannya apakah kita sudah benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah?
Maka dari itu, kita bertarekat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan benar-benar menaruhkan hati, jiwa dan raga kita kepada-Nya.
Tarekat adalah adaptasi bahasa Arab dari Thariqah, yaitu jalan yang dilalui oleh para sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Tharīqah digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syarī‘ah, sebab jalan utama disebut syari‘ sedangkan anak jalan disebut tharīq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq-ul-bāb yang berarti “mengetuk pintu”.
Oleh karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut tharīqah karena ia selalu mengetuk pintu hatinya dengan zikrullāh atau mengingat Allah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi saw. disebut dengan Tharīqah Hasanah (cara yang baik). Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad ibn Ḥanbal dalam musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya), Nabi saw. Bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيْقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اُكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيْقًا حَتَّى أَطْلَقَهُ أَوْ أَكْفَتَهُ إِلَى تَعْلِيْقِ شُعَيْبِ الْأَرْنَؤُوْطِ (صحيح و هذا إسناد حسن)
“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada tharīqah yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allāh Swt.) kepada malaikat yang mengurusnya, “Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku” (Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, juz 2, halaman: 203).
Ungkapan Tharīqah ḥasanah dalam hadis tersebut menunjukkan kepada perilaku hati yang diliputi kondisi Iḥsān (beribadah seolah-olah melihat Allāh Swt. atau kondisi khusyū‘) yakin berjumpa dengan Allāh Swt. dan kembali kepada-Nya.
الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُم مُّلَاقُوْا رَبِّهِمْ وَ أَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
“… (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah: 46).
Ibadah (misalnya Shalat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh Nabi Muhammad saw. disebut sebagai shalat al-munāfiq (salatnya orang munafik), yaitu yang di dalamnya ia tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit (lā yadzkurullāha fīhā illā qalīlan – Shaḥīḥ Muslim: 434), dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wail.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya .” (Qs. Al-Mā‘ūn: 4-5).
Dalam al-Qur’ān, kata tharīqah muncul dalam konteks zikrullāh sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.
Setelah Allāh Swt. menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqāmah di atas tharīqah, Allāh Swt. langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berzikir kepada-Nya,
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا
“Seandainya mereka istiqāmah di atas tharīqah niscaya Kami beri minum mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak). Untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barang siapa tidak mau berzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azāb yang sangat pedih.” (Qs. Al-Jinn: 16-17).
Dengan demikian, bahwa berthariqah sebenarnya adalah hal yang krusial bagi seorang hamba. Selain itu, seseorang yang sudah berthariqah, hendaknya selalu istiqamah dalam menjalankan amaliyahnya agar memiliki dampak yang signifikan bagi keyakinannya kepada Allah Swt.
Penulis: Alfaqir Gus Hendro Diponegoro (Pengurus JATMAN Provinsi Lampung)
Editor: Khoirum Milatin