Memahami Shalat Dalam Perspektif Irfani

Shalat merupakan tiang agama yang juga rukun pertama dalam Islam dan wajib dilaksanakan oleh tiap-tiap mukalaf. Makna uraian tentang shalat telah dijelaskan baik secara ontologis maupun epistemologi di dalam kitab-kitab fikih. Akan tetapi dalam pandangan tasawuf  shalat memiliki kajian tersendiri dari sudut irfani. Tidak hanya melihat shalat dari sudut lahiriyah saja melainkan menjangkau aspek batinnya shalat. Maka dalam tinjuau irfani dikenal pembagian level shalat. Ada shalat syariat dan shalat hakikat.

September 15, 2023 - 12:45
Memahami Shalat Dalam Perspektif Irfani

Shalat merupakan tiang agama yang juga rukun pertama dalam Islam dan wajib dilaksanakan oleh tiap-tiap mukalaf. Makna uraian tentang shalat telah dijelaskan baik secara ontologis maupun epistemologi di dalam kitab-kitab fikih. Akan tetapi dalam pandangan tasawuf  shalat memiliki kajian tersendiri dari sudut irfani. Tidak hanya melihat shalat dari sudut lahiriyah saja melainkan menjangkau aspek batinnya shalat. Maka dalam tinjuau irfani dikenal pembagian level shalat. Ada shalat syariat dan shalat hakikat.

Syekh Imam Al-Qusyairiy dalam kitab Lathaif al-Isyarah lebih dikenal tafsir Al-Qusyairiyah menjelaskan:

قال الله تعالى “الذين يؤمنون بالغيب ويقيون الصلاة” (سورة البقرة : ٣). وأما إقامة الصلاة، فالقيام بأركانها وسننها ثم الغيبة عن شهودها برؤية من يصلى له، فيحفظ عليه أحكام الأمر بما يجري عليه منه, وهو عن ملا حظتها محو فنفو سهم مستقبلة القبلة، وقلوبهم مستغرقة في حقائق الوصلة.

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Mereka yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat (Qs. Al-Baqarah: 3).’ Mendirikan shalat itu berarti mendirikan syarat, rukun dan sunnah-sunnah shalat. Kemudian merasa seolah-olah lenyap, hilang, dengan menghadirkan jiwa (Syuhud) karena ru’yah (melihat) Dzat yang menjadi tujuan shalatnya. Maka dengan kondisi ini dia akan selalu terjaga dalam serangkaian hukum yang dibebankan kepadanya ketika shalat. Pada kondisi itu ia berada pada puncak fokus, di mana zahir Jasmaninya menghadap kiblat, sedangkan hatinya fana tenggelam bersatu dalam hakikat wushul sampai kepada Allah Ta’ala.”

Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jilani didalam Sirrul Asrar memberikan perspektif mengenai hakikat shalat. Shalat Syariat memiliki waktu tertentu yaitu lima waktu dalam sehari semalam. Sunahnya dikerjakan berjamaah di masjid, serta menghadap kiblat ke arah ka’bah dan mengikuti imam tanpa adanya riya’ dan sum’ah.

Sedangkan shalat hakikat waktunya dilakukan seumur hidup tanpa jeda. Masjidnya ada di hati. Cara berjamaahnya dilakukan dengan cara memadukan kekuatan batin untuk menyibukkan diri dengan asma tauhid yaitu Ismu Dzat melalui lisan batin. Imamnya adalah As-syauq (rasa rindu) di relung hati. Sedangkan kiblatnya ialah Hadrah Ahadiyah Dzat dan Jamal Ash-Shamadiyyah dan itulah kiblat hakikat.

Hati dan Ruh akan selamanya fokus dalam shalat tarekat ini. Hati tidak boleh mati dan tertidur. Hati selalu yaqzhah (beraktivitas terjaga), baik saat pemilik hati tertidur maupun terjaga, tanpa suara, tanpa berdiri dan duduk. Dan berucap sebagai mana dalam firman-Nya, “kepada Mu kami beribadah dan kepada Mu kami memohon pertolongan,” (Qs. Al-fatihah: 5) dengan mengikuti Nabi Muhammad saw. Ayat ini mengandung isyarat mengenai hati seorang ahli Makrifat yang telah berpindah dari kondisi ghaib kepada Hadrah Al-Ahadiyah.

Para ulama tasawuf membagi shalat menjadi beberapa macam, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab tafsir Syekh Abduk Razaq Al-Kasyani yang biasanya dikenal dengan tafsir Ibnu Arabi.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya, ‘Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (Qs. Al-Ankabut: 45), shalat yang wajib dikerjakan dalam ayat ini meliputi:

1. Shalatul Badaniyah yaitu shalat yang membutuhkan tempat serta harus dilengkapi dengan syarat dan rukun

2. Shalatun Nafs yaitu shalat yang dilakukan dengan rendah hati, khusyu dan thuma’inah baik dalam keadaan khauf (takut) dan lapang dari kesusahan (raja’)

3. Shalatul Qalbi yaitu hadrat Muraqbah artinya shalat berhadapan langsung dengan Allah

4. Shalatus Sir yaitu hadrat Munajat Mukalamah yaitu shalat yang dilakukan dengan munajat (pertemuan dengan Allah) serta dengan jalan mukalamah (berkomunikasi rahasia) dengan Allah

5. Shalatur Ruh yaitu hadrat Musyahadah Mu’aiyanah yaitu shalat menyaksikan Dzat Allah dengan mata kepala

6. Shalatul Akhfa yaitu hadrat Al-Munaghfah Al-Mutala’fah yaitu  shalat meneleburnya diri kedalam Dzat yang memiliki sifat Al-Lathif

7. Dan tidak ada lagi shalat pada tingkat ketujuh, karena pada tingkat ini merupakan maqam fana’ul fana (مقام الفناء) dan tingkat Mahabah kasih mengasih (المحبة الصرفة) bahkan kefana’an terwujud dalam Dzat yang Satu (Wahdatul Wujud).

Maka, dalam perspektif irfani shalat terbagi menjadi dua hal; Pertama, shalat syariat yaitu shalat dengan memperhatikan dan menyempurnakan syarat serta rukunnya dan memperhatikan hal-hal yang membatalkan shalat. Kedua, shalat hakikat yaitu lenyap (fana) tenggelam kedalam samudera ketuhanan dalam menyaksikan cahaya makrifat-Nya dalam shalat yang membuat ia kekal (baqa’) bersama Allah ketika Shalat. Maka inilah dikatakan hakikat shalat yang khusyuk.