Kuliah Tasawuf ke 10: Mahabbah Sebagai Tingkatan Tertinggi dalam Perjalanan Menuju Allah

Allah menciptakan kita untuk beribadah. Sejatinya, kitalah yang sebenarnya butuh ibadah, sedangkan Allah tidak membutuhkan ibadah kita. Bagi sebagian orang yang tidak mengerti pentingnya ibadah, akan menganggap ibadah sebagai beban, padahal secara hakikat ibadah adalah kebutuhan.
Ibadah adalah perjalanan menuju Allah. Dalan proses ini ada beberapa tingkatan-tingkatan yang disebut Maqam dan Hal. Maqam ini tingkat-tingkat pencapaian dari seseorang. Sebagaimana kita melakukan perjalanan fisik, kita mau ke Surabaya. Tentu kita tidak langsung ke Surabaya, tapi harus keluar gerbang, melewati kota ini dan itu terlebih dahulu.
Selain itu, perlu persiapan-persiapan juga. Dalam kitab Minhjaul Abidin, tahapan pertama dalam perjalanan itu adalah mencari ilmu, sekalipun ilmu itu adalah persiapan dalam perjalanan. Karena kalau kita berjalan tanpa ilmu, bisa jadi kita berjalan tanpa arah. Sehingga kita tidak mencapai tujuan, bahkan semakin jauh.
Dalam perjalanan kepada Allah, juga banyak yang tidak mencapai bahkan semakin jauh. Seperti pada masa jahiliah, orang-orang menyembah patung. Ketika ditanya, mengapa melakukan perbuatan demikian. Mereka menjawab, “tidaklah apa yang kami lakukan kecuali agar patung itu untuk mendekatkan diri pada Allah”. Ini adalah syirik, dan perbuatan ini tidak akan diterima oleh Allah.
Dan masih banyak lagi tahapan-tahapan setelah itu, dan semuanya sudah diterangkan pada pertemuan-pertemuan yang lalu.
Pembahasan Utama: Maqam Mahabbah
Maqam itu tempat pencapaian kita dalam perjalanan. Sedangkan Hal itu secara bahasa adalah keadaan. Keadaan itu agak berbeda dengan Maqam. Meski sebagian ulama ada yang tidak membedakan antara Hal dan Maqam.
Kalau Hal itu keadaan seseorang menjalani Maqam yang sedang ia jalani. Jadi ada sedikit perbedaan. Kalau tingkat perjalanan itu ada perencanaan yang kemudian dilaksanakan untuk mencapai pencapaian itu. Seperti mencari ilmu. Cari ilmu itu bisa direncanakan, bahkan ada kurikulumnya dan dilaksanakan.
Sedangkan kalau Hal ini keadaan yang kita alami dalam perjalanan. Misal menuju Surabaya, ketika di perjalanan kita melihat hal-hal yang indah, sehingga hati kita jadi senang. Senang itu Hal bukan Maqam.
Kalau Maqam itu bisa direncanakan dan dicari. Misal hendak ke Surabaya, kita sekarang ada di Probolinggo, lalu direncanakan akan melewati Pasuruan. Nah, ini kan bisa direncanakan.
Keadaan itu tidak bisa dikendalikan, seperti senang atau tidak senang. Takut atau tidak takut. Beda dengan mencari ilmu, kita berhenti mencari ilmu itu bisa. Sedangkan senang atau benci, itu tidak bisa dihentikan seketika. Hanya mungkin ada jalan untuk menjadi senang atau tidak senang.
Sedangkan terkait Mahabbah (kecintaan), Mahabbah ini sifat manusia. Objeknya bisa apa saja. Bisa pada seseorang, binatang, dan lain-lain. Tapi Mahabbah yang dimaksud di sini adalah Mahabbah kepada Allah.
Jadi senang atau suka itu di luar kendali kita, tetapi kita bisa melakukan sesuatu yang berdampak pada Mahabbah itu. Sekalipun tentu tidak mudah.
Mahabbah ini adalah suatu tingkatan tertinggi dalam perjalanan kita menuju pada Allah Swt. Orang ibadah kalau senang, tidak akan terasa berat, bahkan akan terasa senang.
Seperti Nabi Muhammad saw. kalau qiyamullail itu sampai kakinya bengkak. Mengapa demikian? Karena Nabi senang. Shalat itu bisa menghibur.
Dalam hadits disebutkan, “dari dunia kalian ini, aku dijadikan senang pada perkara ini, yakni perempuan (meski Nabi bisa mengendalikannya), wangi-wangian, sejuk mata kita dengan shalat”.
Nah, sedangkan kita ini tidak dijadikan shalat sebagai penyejuk mata kita. Kalau Nabi sedang ada urusan yang memberatkannya, beliau segera shalat.
Ketika sudah masuk shalat, Nabi menyuruh sahabat Bilal untuk azan. Kata Nabi, “Ya Bilal, arihna bi shalat”. Artinya, hiburlah saya dengan shalat.
Ketika Sahabat Bilal azan, Nabi senang karena hendak bertemu Allah di dalam shalat.
Mahabbah ini menurut para ulama itu wajib, karena Mahabbah adalah tanda dari iman. Dalam hadis diterangkan,
لا يؤمن أحدكم حتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما
Salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman atau tidak dianggap sempurna imannya, sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai dia ketimbang yang lain.
Maksudnya tidak sempurna keimanan seseorang sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selainnya. Dari sini, Mahabbah adalah ukuran kesempurnaan keimanan seseorang. Meski mungkin kita juga mencintai yang lain, seperti istri, anak, dan lain-lain. Tapi Allah dan Rasulullah yang menjadi prioritas
Mahabbah (Cinta) Harus Makrifat Terlebih Dahulu
Untuk mencapai Mahabbah itu perlu Makrifat atau mengenal kepada Allah terlebih dahulu. Bagaimana kita mencintai, sedangkan mengenal saja belum. Sebagaimana kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”.
Ada dua sifat Tuhan. Sifatul Jalal (keagungan), seperti Tuhan Maha Kuasa, pencipta, menghidupkan, mematikan dan lain-lain. Selain itu, ada sifatul Jamal (keindahan), seperti Tuhan Maha Pengasuh, Penyayang. Karena kasih sayangnya, kita diberi makan, minum. Bahkan kita sering melanggar, tapi tetap diberi kesempatan untuk taubat.
Dalam Fatihah pun, sifat Rahman dan Rahim itu diulang dua kali, yakni di ayat pertama dan ketiga. Jadi Tuhan itu lebih menampakkan sifat kasih sayangnya ketimbang kebesarannya. Sedangkan kita kadang-kadang kurang peduli dengan Tuhan. Orang seperti ini biasa disebut dengan agnostik, orang yang percaya Tuhan tapi tidak beragama. Bahkan ada orang yang saking sombongnya, itu tidak mengakui keberadaan Tuhan, padahal hati kecilnya mengakui Tuhan.
Manusia ketika berjaya, kadang-kadang dia tidak butuh pada yang lain, juga kepada Tuhan. Nanti ketika sudah terpuruk, baru merasa butuh kepada yang lain. Seperti halnya Fir’aun, ia diberi kekuasaan, kelebihan fisik, harta, akhirnya ia sombong bahkan jadi merasa jadi Tuhan. Nabi Musa mengingatkan tapi tidak digubris. Tapi ketika peristiwa membelah lautan dan Fir’aun sudah hampir meninggal ketika tenggelam, ia baru mengucapkan beriman kepada Allah.
Oleh karena itu, kita disuruh banyak merenung, supaya kita tahu keberadaan dan kekuasaan Tuhan, serta kelamahan kita. Dari situ kita akan merasa takzim dan takut kepada Allah. Ketika kita tahu bahwa Allah itu maha baik, kita akan mencintai-Nya.
Seperti tadi, Allah itu punya sifat Jalal dan sifat Jamal. Sifat Jalal itu menakutkan. Tapi sifat Jamal itu menyenangkan. Sebenarnya Tuhan itu Jamilun, Tuhan itu Indah. Tapi sayangnya Tuhan itu tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Keindahan Tuhan itu hanya bisa dilihat dengan mata hati atau mata batin. Ketika mata hati ini tumpul, hanya mata kepala yang melihat, maka kita tidak akan bisa melihat keindahan Tuhan. Sehingga kecintaan itu tidak akan timbul.
Disinilah pentingnya membersihkan mata hati kita, sehingga kita bisa tahu keindahan Tuhan sehingga mencintainya. Lalu bagaimana membersihkannya?
Cara Menjernihkan Mata Hati
Segala sesuatu harus tahu ilmunya. Menjernihkan mata hati diawali dengan taubat (ini sudah masuk perjalanan ibadah), lalu zuhud (melawan nafsu) atau tidak menyenangi kesenangan duniawi, kemudian sabar, raja’ (harap), khauf (takut) dan tawakkal. Lalu ketika kita mengenal Tuhan, kita akan mencintai Allah. Buah dari cinta atau Mahabbah ini adalah asy-Syauq (Rindu). Seperti selalu ingin shalat, zikir, dan lain-lain.
Tapi ini perasaan. Kalau perasaan harus dikendalikan oleh akal. Kalau hilang kesadaran itu sudah lain lagi. Oleh karena itu melaksanakan tasawuf bukan hanya dibarengi syariat, tapi melaksanakan tasawuf sebenarnya syariat itu sendiri. Jadi jangan dipilah-pilah.
Selanjutnya buah dari Mahabbah itu ada al-unsu (senang bersama Tuhan), lalu ar-ridla (ridla kepada apapun hal yang berkaitan dengan Tuhan), meskipun menurut orang lain itu tidak senang.
Perihal aturan dari Tuhan, senang atau tidak, tetap harus kita lakukan. Tapi lebih baik dengan senang, perlu diusahakan. Jadi, Mahabbah dari makrifat, makrifat dari belajar kepada guru atau merenungi ciptaan-Nya.
Setelah kita tahu kenal Tuhan dan tahu cara-cara mendekat pada-Nya adalah melalui ibadah, maka kita perlu bertaqarrub. Bagaimana caranya?
Mendekat bukan berarti secara fisik. Memang, kedekatan secara hakiki itu bukan secara fisik. Tak ada gunanya meski fisik kita dekat, tapi tidak kedekatan batin. Semisal ada dua orang duduk bersama, tapi sedang bermusuhan atau tidak menyapa. Oleh karena itu hubungan itu harus dijaga. Untuk merawat itu butuh pengorbanan dan kesabaran dan harus saling menyesuaikan.
Adapun dengan Tuhan, kitalah yang menyesuaikan. Tuhan itu sudah banyak memberi kita. Maka kalau kita tidak bersyukur dan berkorban mendekati Allah, seakan kita tidak tahu diri.
Bagaimana Kita Taqarrub kepada Allah?
Dalam sebuah hadis qudsi diterangkan :
ما تقرب إلي المتقربون بمثل أداء ما افترضت عليهم، ولا يزال العبد يتقرب إلى بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصربه، ولسانه الذي ينطق به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها
Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku m’njadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.”
Sebenarnya mendekat pada Tuhan itu mirip-mirip dengan mendekati manusia, yakni mengerjakan sesuatu yang diminta atau yang disenangi Tuhan.
Kalau kita melaksanakan sesuatu yang disenangi orang lain, berarti kita menunjukkan penghargaan pada orang itu. Sementara Tuhan harus lebih dari itu. Tuhan lebih banyak pemberiannya pada kita. Kita tidak mungkin bisa membalas, sehingga kita diminta melaksanakan perintahnya. Itupun demi kebaikan kita. Bukan untuk Tuhan.
Perintah-perintah Tuhan itu ada yang wajib, disenangi, dan lain-lain. Lalu bagaimana klasifikasinya?
Dimulai dari yang wajib dahulu. Seperti halnya yang tertuang dalam poin pertama trilogi santri, yakni memperhatikan kewajiban-kewajiban fardlu ain.
Kedua, meninggalkan dosa-dosa besar. Adapun dosa kecil, tetap tidak boleh dianggap kecil, karena lambat laun akan menjadi dosa besar. Karena kita memang sulit lepas dari dosa kecil.
Jadi ada kaidah dalam ilmu tasawuf itu,
الاصرار على الصغائر كبيرة
“Terus menerus melakukan dosa kecil dengan sengaja itu sama saja dengan dosa besar”.
Oleh sebab itu hindari tempat-tempat yang rawan, karena khawatir tidak bisa mengendalikan diri.
Jadi taqarrub itu mendekat pada Allah, dimulai dari yang wajib, terutama fardlu ain. Kalau kita mendapat tugas fardlu kifayah, apalagi ketika memang tidak ada lagi yang melaksanakannya, maka status kewajibannya menjadi fardlu ain. Jangan dibalik.
Kalau kita ingin tetap melanjutkan taqarrub kepada Allah, kita bisa melaksanakan perkara-perkara yang sunah sebagaimana yang tertera dalam hadis qudsi.
Kalau seorang sudah melakukan perkara wajib, tetap mendekat kepada-Nya dengan melakukan perkara sunah. Atau tidak jelas-jelas sunah tapi disukai oleh Allah, hingga Allah mencintai dia. Kalau Allah sudah mencintainya, maka Dia akan mengawal terus hambanya dalam segala kondisi.
Apa yang Dimaksud Selalu dalam Pengawalan Allah ?
Ia selalu dalam jalur yang benar dan baik. Jadi ada kecintaan di situ. Sehingga tidak berat menjalankan perintah Allah. Semua dimulai dengan latihan terlebih dahulu. Awalnya memang berat, tapi lama-lama bisa sendiri. Itu yang oleh orang disebut Wali. Wali itu orang yang dicintai dan didampingi oleh Allah.
Wali itu bukan nabi. Kalau nabi itu ma’shum (terjaga dari dosa). Keliru bisa, dosa tidak. Apa bedanya keliru dengan dosa? Dosa itu sengaja, sedangkan keliru tidak sengaja. Nabi pernah melakukan seperti itu, tapi tidak dosa.
Pernah sewaktu mengimami shalat yang jumlahnya empat rakaat, pada rakaat kedua Nabi langsung salam. Oleh para sahabat ditanya, “apakah shalatnya diqashar atau anda lupa rakaat?”
Dijawab oleh Nabi, “keduanya tidak terjadi”.
Lalu shalatnya dilanjutkan. Shalatnya tidak batal, karena tidak sengaja dan tidak dosa. Padahal seandainya disengaja, maka batal dan dosa karena itu shalat fardlu. Keliru itu bisa dilakukan oleh Nabi, apalagi selain Nabi. Tapi tidak dosa. Hanya saja kekeliruan yang dilakukan Nabi terkait tugas kerasulan, pasti diingatkan. Karena Nabi itu dikawal oleh Allah.
Suatu ketika Nabi pernah kedatangan oleh tokoh-tokoh Mekkah yang belum masuk Islam. Nabi ingin menyenangkan hati mereka supaya mereka mau masuk Islam. Waktu itu ada orang yang buta datang kepada Nabi tapi tidak dihiraukan oleh Nabi karena beliau masih Melayani tokoh-tokoh Mekkah itu. Lalu Nabi ditegur karena kurang memperhatikan orang buta tadi. Kisah ini tertuang dalam Surat ‘Abasa.
Kembali ke pembahasan awal, kalau bukan Nabi dan sudah mencapai tingkatan Mahabbah, ia bukan ma’shum, tapi -istilah ulama- “ Mahfudz”, artinya terjaga. Terjaga itu artinya meskipun ia melakukan kesalahan, tapi dosanya tidak terlalu banyak. Karena belum tentu orang yang takut pada Allah, lantas tidak melakukan dosa. Karena namanya manusia tentu pernah melakukan khilaf (kesalahan).
Dahulu, ada sahabat yang pernah khilaf dengan berzina. Setelah melakukan zina, ia ketakutan dan melapor pada Rasul. Padahal, konsekuensi yang ia lakukan adalah rajam karena ia berzina dalam keadaan sudah menikah. Rajam itu seseorang dipendam sampai lehernya, lalu dilempari batu kecil sampai ia mati.
Jadi orang yang berbuat salah belum tentu orang yang jelek. Kebetulan waktu itu salah, artinya setelah melakukan kesalahan ia merasa menyesal sekali.
Akhirnya, setelah dibuktikan bahwa ia berzina, ia pun dirajam dan meninggal, lalu dimandikan, dikafani oleh para sahabat. Lalu ketika shalat, Nabi ikut menshalati sahabat tersebut.
Sahabat sempat ada desas-desus, mengapa Nabi mensholati pelaku zina ini. Nabi mendengar pembicaraan tersebut dan berkomentar, bahwasanya orang ini telah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Seandainya taubatnya diberikan kepada seluruh penduduk Madinah, niscaya cukup.
Jadi taubat itu sebesar apapun dosa kita, asalkan sungguh-sungguh dan tulus, dimulai dengan penyesalan, merasa bersalah, menghentikan perasaan bersalahnya, meminta maaf kepada Tuhan dan kepada manusia (bila memang kepada manusia), bertekad tidak mengulangi lagi, pasti diampuni.
Hanya masalahnya, apakah taubat kita sungguh-sungguh atau tidak? Kalau taubat tapi masih mengulang lagi, dan begitu seterusnya, bisa jadi ia tidak sungguh-sungguh. Kalau kita bermain-main dengan taubat, bagaimana mendapat cinta Tuhan?
Untuk mendapatkan Mahabbah ini, kita harus betul-betul dimulai dengan ketundukan pada Allah, menjalani perintah dan menjauhi larangan, dengan tujuan mendekat (taqarrub). Bukan tujuan apa-apa, tapi memang bertujuan mendekat dan mencari ridla Allah, bahkan Mahabbah dari Allah.
Jadi Mahabbah adalah pencapaian tingkatan tertinggi. Kalau kita beribadah didasari Mahabbah, ibadah itu menjadi ringan bahkan menyenangkan. Namun untuk mencapai itu tidak mudah. Pertama dengan kesadaran penuh melalui perenungan, pikiran tentang kebesaran dan kebaikan Tuhan. Sesudah itu dengan tunduk kepada Tuhan. Barulah nanti akan disenangi Tuhan.
Kalau Tuhan sudah senang, kita akan diberikan Mahabbah. Allah mencintai mereka, dan mereka juga mencintai Allah. Sebagaimana ayat,
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (QS. Al-Maidah: 54).
وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165)
Dari segala kecintaan pada makhluk, Allah lah yang jadi prioritas. Ketika bertentangan atau berhadapan antara Tuhan dengan selain Tuhan, maka dahulukan Tuhan.
Tapi ini jangan dipahami secara dangkal. Kalau kita mencintai Allah, bukan berarti tidak mencintai selain Allah. Kalau kita mencintai Allah, kita harus mencintai makhluk-makhlukNya. Sebab menyayangi sesama, menggembirakan orang lain itu perintah Allah.
Contoh sempurna dalam mencintai Allah adalah Nabi kita. Beliau mencintai Allah, tapi bagaimana sikap Nabi kepada keluarga, bahkan anak kecil. Beliau terkadang bermain menemani anak kecil tanpa gengsi.
Penulis: JATMAN Kraksaan
Editor: Khoirum Millatin