Kliwonan, Habib Luthfi Jelaskan Shiddiq dan Ikhlas Perspektif Tasawuf

Juni 7, 2024 - 18:04
Kliwonan, Habib Luthfi Jelaskan Shiddiq dan Ikhlas Perspektif Tasawuf

Pekalongan, JATMAN Online – Rais ‘Aam Jam’iyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabaroh an Nahdliyyah (JATMAN) Maulana Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan Shiddiq dan Ikhlas dalam Perspektif Tasawuf.

Hal tersebut disampaikan Habib Luthfi bin Yahya saat memberikan Tausyiah Rutinan Kliwonan Majelis Dzikir dan Ta’lim di Kanzus Sholawat Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (07/06/2024). Berikut ini penjelasan dari Habib Luthfi:

Diterangkan di dalam dunia tasawuf tentang bab masalah Shiddiq. Shiddiq itu artinya jujur dan benar. Shiddiqnya orang awam dituntut membenarkan apa yang dibenarkan oleh Allah subhanahu wa taala dan shiddiqnya orang awam harus mengetahui apa yang diterangkan di dalam wajib, mustahil, Jaiz.

Shiddiqnya orang awam harus berani mengatakan yang halal adalah halal, yang haram adalah haram, yang wajib adalah wajib, yang sunnah adalah sunnah, yang mubah adalah mubah dengan i’tiqad secara keimanan itu yang dituntut.

Dan membenarkan akan jadi orang baik salamatul insan fi hifdzil lisan akan menjaga lisannya dari bentuk segala kebohongan-kebohongan yang menambah dosa pada dirinya. Itulah shiddiq fil awam fil ahwal.

Kedua, Shiddiqnya orang-orang khawas (khusus) al khawasil khawas itu keshiddiqannya sudah lebih tinggi daripada orang yang awam baik dari segi tauhidnya dan sebagainya, bisa wushul kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Saya kasih contoh yang simpel saja, bilamana orang makan itu selalu orang-orang dan ulama-ulama pendahulu pakaiannya mesti rapih, sisiran dengan baik, kalau pakai kaos ditutupi dengan sorban. Karena para beliau ta’dziman menghargai dan menghormati kepada si pemberi rezeki.

Yang kedua di dalam makan menghormati apa yang telah diberi oleh Allah Ta’ala berupa rezeki untuk menemukan yang memberikan kenyang dan memberikan pelepas dahaga bukan sekedar makan kenyang tapi tidak kenal yang memberikan kenyang.

Kalau kenal memberikan kepada yang memberikan kenyang akan dibelanjakan kekenyangan itu untuk kebaikan-kebaikan yang meningkatkan darajatnya ubudiahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu maqomti shiddiq. Apalagi orang-orang yang sudah lebih tinggi kita tidak berani menerangkan lebih jauh karena ini tingkatannya para auliaillahi ta’ala.

Kemudian Habib Luthfi menjelaskan mengenai Ikhlas. Ikhlas itu sulit, baru saja yang kita alami sebagaimana Rasulullah mengalaminya, sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib mengalaminya.

Sayyidah Rasul ditinggal oleh sayyidah Khadijah, kenapa tahun itu sampai disebut tahun Am al-Ḥuzn. Dengan adanya Am al-Ḥuzn itu bukan berarti Rasulullah tidak ridha, jangan salah paham ditafsirkan di sini. Begitu pula Imam Ali Bin Abi Thalib ditinggalkan istri tersayang binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam kayak apa hatinya. Tapi yang demikian itu bukan berarti beliau tidak ridha.

Sebagaimana seperti saya sekarang ini ditinggalkannya, saya telah menyatakan ridha dunia akhirat kepada istri saya yang telah dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ini dituntut keikhlasan, tidak mudah. Boleh saja mulut berkata ikhlas tapi praktik daripada ikhlas itu sendiri sangat berat sekali.

Yang kita hadapi tidak hanya ini, kita menghadapi umat, di satu sisi yang lainnya kita berhadapan dengan bangsa, bagaimana kita untuk memajukan umat ini, memajukan bangsa ini, tapi satu sisi harus kita menerima qadhaillah subhanahu wa taala (ketetapan Allah).

Di pundak saya ini, saya rasakan sebagai tingkatan orang awam. Dikatakan berat ya berat tapi alhamdulillah Allah Ta’ala selalu menjaga dan melindungi kita semuanya. Semoga keikhlasan ini akan semakin tambah dan semakin tambah kemudian doakan istri saya min ahlil jannah yang mendapatkan maghfirah dari Allah subhanahu wa ta’ala.