Karakteristik Murid Dalam Kitab Minhaj Al-‘Arifin

Pembahasan tema kali ini mengkaji karya sang tokoh hebat namanya pun sangat melegenda di dunia, dan karya-karya pun tetap terus dikaji sampai saat ini. Karena pemikirannya tetap terus relevan dan memberikan kontribusi keilmuan bagi peradaban dunia. Tentunya, tokoh hebat ini bernama Muhammad al-Ghazali Hujjah al-Islam (Sang Pembela Islam).
Salah satu karyanya berjudul Minhaj al-‘Arifin berisi tentang Asrar al-Syari’ah (rahasia-rahasia syariat) berakar pada dimensi tasawuf, walaupun ukuran isinya sangat tipis dan padat namun esensinya sangat dalam , tajam dan sistematis.
Dilihat dari segi judulnya saja Minhaj al-‘Arifin (jalan tempuh para ahli makrifat), makrifat maqam yang sangat tinggi dan puncak dari maqam-maqam yang ada. Berbeda dari salah satu kitabnya Minhaj al-‘Abidin (jalan tempuh para ahli ibadah), ‘Abid merupakan tingkatan maqam pemula dalam aspek tasawuf.
Pembahasan awal mengenai Muridin, yaitu kata jama’ dari murid (orang yang menginginkan), murid berbeda dengan salik. Murid dalam tasawuf adalah orang yang berkehendak menuju Allah sedangkan salik sudah menempuh jalan makrifat namun belum sampai pada tujuannya. Jadi tahapannya murid lalu salik kemudian muhib (orang yang mencintai) dan finisnya ‘Arif.
Pembahasan muhib dan ‘arif nanti akan dibahas bab selanjutnya. Pokok dan inti yang harus dipegang oleh murid ada tiga macam yaitu Khaf (takut) Raja’ (harapan) dan Hubb (cinta). Dan uraiannya sebagai berikut; Pertama, Khaf merupakan cabang dari ilmu. Berbicara ilmu, dalam kitab Ihya ulum al-Din, al-Ghazali membagi ilmu pada dua bagian yaitu Mukasyafah dan Mua’amalah atau bisa juga disebut dengan ilmu Husuli dan Huduri.
Ilmu Mukasyafah disebut juga laduni (batin), yang diperoleh langsung dari Allah tanpa menggali atau mencarinya susah payah. Sedangkan ilmu mua’amalah atau husuli, merupakan pengetahuan yang harus digali melalui potensi manusia yang diberikan oleh Allah juga cara perolehan itu berinteraksi dengan manusia semisal berguru, berdiskusi dan lainnya.
Memang, pada hakikatnya semua ilmu bersumber dari Allah namun cara memperolehnya ada yang langsung dan tidak langsung. Sebagian ulama mengatakan bahwa ilmu Mukasyafah ini hanya diberikan pada para Nabi saja, namun pendapat itu tidaklah kuat, pada umumnya ulama sufi mengatakan, ilmu mukasyafah juga diberikan kepada wali (kekasih) Allah yang perilaku dan hatinya sudah bersih terhindar dari dosa-dosa kecil.
Dan cara memperoleh kedua ilmu tersebut harus mempunyai alat yang harus digunakan. Alat-alat yang dimaksud adalah indera (hisiyah), akal (aql) dan hati (qalbiyah). Dan setiap alat atau potensi yang digunakan itu, akan memperoleh jenis ilmu yang sesuai dengan alat tersebut. Ketika menggunakan akal maka akan melahirkan ilmu pemikiran (aqliyah), seperti ilmu kalam, filsafat dan sebagainya.
Dan Jika yang ditajamkan itu hati sebagai pijakan, ilmu yang dihasilkan adalah ilmu al-adzauq (rasa) seperti ilmu tasawuf. Imam Ghazali melanjutkan bahwa ada tiga cara memperoleh ilmu mukasyafah atau laduni, pertama mendapatkan anugerah dan rahmat Allah, ini khusus diberikan para Nabi dan Rasul.
Kedua, melakukan raiyadhoh, mujahadah dan muqarabah seperti memperbanyak puasa dan shalat sunah, berdzikir dan lainnya. Tingkat kedua ini biasanya diperoleh para wali. Dan ketiga, melakukan tafakur atau berpikir, tegasnya berpikir yang benar bukan melamun belaka, merenungkan segala sesuatu kemudian dinisbatkan pada keanggungan Allah. Tingkatan ini diberikan oleh para filsuf. Dan terkait khauf (takut), merupakan cabang ilmu batin, murid harus menggali dan mengolah batin/hatinya supaya tersibak ilmu-ilmu Allah yang begitu luas. Dan indikasi khauf adalah harab (lari), murid harus lari dari aspek kesemuan belaka (dunia) lalu memfokuskan pada kekekalan sejati (akhirat) karena khauf merupakan ciri orang yang berilmu. Dan orang berilmu juga harus mempunyai takut/ khawatir ilmu yang dimilikinya melaknatnya lantaran tidak mengamalkan sesuai yang diperintah Allah dan Nabi.
Ketiga, raja’ (harapan) merupakan cabang dari yakin, raja/harapan merupakan kesenangan hati untuk menunggu apa yang disukainya. Jadi raja’ adanya yang ditunggu itu merupakan dambaan atau kesenangan berharap menjadi kenyataan, tapi sebaliknya, yang ditunggu itu tidak disukai dan berharap tidak terjadi, itu dinamakan khauf. Lebih lanjut, al-Ghazali mengungkapkan bahwa raja terdiri atas hal (keadaan), ilmu dan amal. Ilmu merupakan motif untuk melaksanakan hal. Sedangkan hal akan membuahkan tindakan (action), jadi raja terdiri dari tiga unsur itu. Dan indikasi raja adanya thalab (usaha), harapan yang tidak ada usaha atau action maka hanya menjadi khayal (angan-angan), karenanya raja’ tidak hanya berharap akan datangnya sesuatu namun senantiasa berusaha atau melakukan agara apa yang diharapkannya terjadi. Tentunya, objek yang hakiki tertuju pada ma’rifatullah.
Pembahasan yang ketiga adalah hub (cinta), setiap orang pun pasti tahu cinta namun sulit mendefinisikannya. Berhubungan dengan cinta, seorang sufi perempuan ternama, Rabiatul ‘Adawiyah, teori tasawufnya yang terkenal tentang mahabbah, ia menutarakan syair mahabbahnya sangat terpesona, katanya;
“Aku mencintaimu dengna dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diriMu, cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatMu. Dan cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan takbir hingga Engkau ku lihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku melainkan bagi-Mu semua pujian.”
Tak kalah hebatnya dengan Ghazali, menurutnya, cinta itu bagian dari makrifat. Dan cinta harus mendahulukan Dzat yang dicintai yaitu Allah. Cinta tanpa makrifat/pengenalan tidaklah mungkin, semisal cintanya sepasang kekasih itu sudah tahu betul karakter dan tingkahlaku yang dicintainya, kalaulah belum tahu secara mendalam atau hanya melihat saja itu bukan cinta tapi hasrat atau nafsu. Cinta melampaui itu semua. Begitu juga cinta kepada Allah harus mengenali-Nya dengan tanda-tanda-Nya atau ciptaan-Nya baik kauniyah (alam semesta) maupun qouliyah (Alquran). Dengan demikian melaksanakan perintah-Nya bukan dengan paksaan tapi dengan rasa cinta. Dari situ akan tersibak ilmu-ilmu Allah yang sulit digapai dengan akal, namun dengan hati/intuisi. Waallah ‘alam bi Sawab.
Penulis: Rifqi Miftahul Amili