Hakikat Segala Perbuatan, Toleransi Sosial, dan Melatih Kepasrahan

September 20, 2023 - 00:04
Hakikat Segala Perbuatan, Toleransi Sosial, dan Melatih Kepasrahan

Kebaikan dan keburukan adalah siklus yang selalu dilalui setiap manusia. Tak mungkin manusia itu selamanya baik atau selamanya buruk. Tuhan menciptakan dinamika kebaikan dan keburukan agar tercipta alur kehidupan yang penuh makna dan hikmah. Ketika terlalu berlebihan mencintai suatu perkara, maka perkara yang lain akan tertutup. Hal ini akan menimbulkan fanatisme dan ketidakadilan. Begitu pula berlebihan dalam membenci sesuatu, maka segala kebaikan pada sesuatu tersebut tidak akan terlihat dan yang tampak hanyalah keburukan. Hal inilah yang sering menimbulkan keresahan sosial. Maka cara pandang dan sikap yang tengah-tengah sangat dibutuhkan untuk membangun toleransi sosial sehingga tercipta kemaslahatan bagi kehidupan bersama. Hal tersebut juga perlu dimulai dengan memahami kembali hakikat segala perbuatan manusia.

Abdul Karim al-Jili dalam kitab al-Insanul Kamil mengatakan:

تجلي الحق سبحانه وتعالى في أفعاله عبارة عن مشهد يرى فيه العبد جريان القدرة في الأشياء، فيشهده سبحانه وتعالى محركها ومسكنها بنفي الفعل عن العبد وإثباته للحق، والعبد في هذا المشهد مسلوب الحول والقوة والإرادة، والناس في هذا المشهد على أنواع.

Tampaknya Allah Swt. dalam segala perbuatan-Nya adalah ibarat tentang cara pandang yang mana seseorang melihat jalannya kuasa Tuhan dalam segala sesuatu. Maka seseorang akan melihat al-Haq sebagai Dzat yang menggerakkan segala sesuatu dan mendiamkan segala sesuatu dengan menafikan (meniadakan) perbuatan manusia dan menetapkan perbuatan hanya pada al-Haq. Maka seseorang dalam cara pandang ini adalah sebagai sosok yang terpasung daya, kekuatan, dan kehendaknya.”

Dalam hal ini, ulama lain juga mengemukakan berbagai macam pendapat:

فمنهم من يشهده الحق إرادته أولا ثم يشهده الفعل ثانيا، فيكون العبد في هذا المشهد مسلوب الحول والفعل والإرادة، وهو أعلى مشاهد تجليات الأفعال.

“Sebagian adalah orang yang Allah tampakkan pada kehendak-Nya di awal kemudian Allah tampakkan perbuatan-Nya, maka hamba dalam pandangan ini, ia terpasung daya, kekuatan dan kehendaknya, hal ini merupakan puncak cara pandang manusia tentang tampaknya (tajalli) segala perbuatan.”

ومنهم من يشهده الحق إرادته ولكن يشهده تصرفاته في المخلوقات وجريانها تحت سلطان قدرته.           

Sebagian dari mereka adalah orang yang Tuhan tampakkan pada kehendak-Nya, tetapi ia melihat Tuhan dalam segala pemberian-Nya pada semua makhluk dan berjalannya makhluk dibawah singgasana kekuasaan Tuhan.

ومنهم من يشهده فعل الله به في الطاعات ولا يشهد جريان القدرة به في المعاصي، فهو مع الله تعالى من حيث تجلي أفعاله في الطاعات، وإنما حجب الله تعالى عنه فعله به في المعاصي رحمة به لئلا تقع منه المعصية وذلك دليل على ضعفه، لأنه لو قوي لشهد فعل الله تعالى به في المعاصي كما شهده في الطاعات ويحفظ عليه ظاهر شرعه.

“Sebagian adalah orang yang menyaksikan al-Haq pada perbuatan-Nya dalam setiap ketaatan dan tidak melihat jalannya kekuasaan Tuhan dalam segala kemaksiatan. Maka dia bersama Allah dari arah tampaknya perbuatan Tuhan dalam ketaatan, akan tetapi Allah menghijab dia dengan perbuatan-Nya dari kemaksiatan sebagai rahmat supaya tidak terjadi kemaksiatan dari dalam dirinya. Dan itu merupakan tanda atas lemahnya cara pandang seseorang, karena jika cara pandang (masyhad)-nya kuat, maka ia akan melihat perbuatan Tuhan padanya ketika maksiat sebagaimana ia melihatnya dalam ketaatan, dan dhohir syariatnya tetap terjaga.”

ومنهم من لا يشهد أعني لا يتجلى له فعل الحق به إلا في المعاصي ابتلاء له من الحق فلا يشهده في الطاعات، ومن يكون بهذا الوصف فهو أحد رجلين: إما رجل حجب الله عنه في الطاعات لكونه يحب أن يكون مطيعا ويقدم الطاعة على غيرها، فاحتجب الله تعالى عنه فيها وظهر له في المعاصي ليشهد الحق فيها فيحصل له بذلك الكمال الإلهي، وعلامة هذا أن يعود إلى الطاعات ولا يدوم على المعصية، وإما رجل استدرج إلى أن تمكن من المعاصي فاحتجب الحق عنه فبقي فيها ودامت عليه، نعوذ بالله من ذلك.

“Sebagian adalah orang yang tak melihat, yakni tidak tampak padanya perbuatan Tuhan kecuali dalam kemaksiatan yang merupakan ujian dari Allah untuknya, maka ia tidak melihat perbuatan Tuhan dalam ketaatan.”

Seseorang yang tergolong karakter seperti yang disebutkan di atas adalah salah satu dari dua macam orang:

– Adakalanya seseorang dihijab oleh Allah dalam ketaatan, karena ia mendambakan menjadi orang taat, dan mendahulukan taat melebihi selainnya. Maka Allah membuat penghalang baginya dalam ketaatan dan tampak padanya (Perbuatan Tuhan) dalam kemaksiatan, maka dengan hal tersebut akan menghasilkan kesempurnaan hikmah Ketuhanan, dan tanda dari hal ini adalah jika seseorang kembali pada ketaatan, dan tidak langgeng pada kemaksiatan

– Adakalanya seseorang masuk hingga menetap pada kemaksiatan, maka Tuhan membuat hijab darinya dan ia tetap dalam kemaksiatan dan maksiat terus hinggap padanya, na’udzu billah min dzalik.

Lalu apa kaitannya dengan kepasrahan? Kepasrahan bukan berarti menafikan ikhtiyar lahir. Karena hal itu adalah upaya menata kondisi hati agar tak mudah gundah gulana dan tak dicekam oleh keresahan dan ketakutan. Anggota badan tetap ikhtiyar tapi juga tetap berupaya mencapai sakinah fil qolbi atau hudhurul qolbi ila Rabbi.

Dalam Syarh al-Hikam dijelaskan:

(ما توقف) اي تعسر (مطلب) من مطالب الدنيا والآخرة (أنت طالبه بربك) أي ملاحظا في حال طلبه ربك حاضر القلب معه معتمدا عليه في تيسير ذلك المطلب (ولا تيسر مطلب أنت طالبه بنفسك) بأن كنت غافلا عنه معتمدا على حولك قوتك فمن أنزل حوائجه بالله والتجأ إليه وتوكل فى أمره كله عليه كفاه كل مؤنة وقرب عليه كل بعيد ويسر له كل عسير

“Tidak terhenti dan tak sulit suatu tujuan yang dicari, baik tujuan atau kebutuhan dunia dan akhirat ketika engkau mencarinya bersama dengan Tuhanmu. Yakni dengan terus ingat dan memperhatikan Tuhanmu ketika dalam proses mencari tujuan yang ingin dicari dengan hati yang hudhur bersama Allah dan dengan bergantung kepada-Nya untuk memudahkan sesuatu yang hendak dicapai tersebut. Dan tidak mudah suatu tujuan ketika engkau mencarinya dengan mengandalkan dirimu sendiri, dimana ketika engkau menjadi lalai dari Allah dan hanya mengandalkan daya dan kekuatanmu. Maka seseorang yang melepaskan kebutuhan-kebutuhannya dengan Allah dan berlari untuk kembali pada al-Haq serta tawakal kepada al-Haq dalam segala urusannya, maka Allah akan mencukupi segala kebutuhan dan Dia akan mendekatkan segala yang jauh serta memudahkan segala hal yang sulit.”

Begitu pula ketika seseorang hanya mengandalkan kemampuannya saja, dijelaskan juga dalam lanjutan Syarh al-Hikam:

ومن سكن إلى علمه وعقله واعتمد على حوله وقوته وكله الله تعالى إلى نفسه وخدله فلم تنجح مطالبه ولم تتيسر مآربه

“Seseorang yang terhenti pada ilmu dan akalnya dan hanya bergantung pada daya dan kekuatannya maka Tuhan akan menyerahkan dan membebankan (segala urusan) pada diri orang tersebut dan Allah akan menelantarkan orang tersebut, dan segala tujuan yang ingin diraihnya tak akan sukses dan segala kebutuhannya menjadi tidak mudah.”

Setelah merenungkan berbagai masyhad (cara pandang) para sufi tersebut kita akan lebih bijaksana dalam memandang realitas dan akan tercipta toleransi sosial dalam hubungan antar sesama manusia. Di sisi lain kita juga akan mampu untuk lebih pasrah dan tawakal dalam segala usaha untuk menggapai cita-cita dan harapan. Wallahu a’lam

Sumber:

  • Kitab al Insan Kamil, Juz 1, hal. 94-95
  • Kitab Syarah al Hikam, Juz 1, hal. 25

Penulis: Fadhila Sidiq Permana

(Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin IAIFA Kediri)