Wafatnya Al-Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur, Tokoh Thariqah Alawiyah Yaman

September 18, 2023 - 11:01
Wafatnya Al-Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur, Tokoh Thariqah Alawiyah Yaman

Dunia Islam sejak tadi malam (Rabu malam Kamis) diramaikan dengan informasi wafatnya ulama panutan umat Islam dari Negeri Timur Hadramaut Yaman hingga Nusantara. Sosok tersebut adalah Al-Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur, seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Hadramaut.

Menurut beberapa sumber di media sosial, penyebab meninggalnya Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur karena perjuangan panjang melawan penyakit yang  dideritanya. Ulama yang masyhur bukan hanya di majelis-majelis ilmu bahkan hingga Universitas ternama di penjuru dunia tersebut wafat pada usia ke 75 tahun, di sebuah rumah sakit di ibu kota Yordania, Amman.

Wafatnya ulama adalah hilangnya ilmu umat manusia. Meninggalnya ulama juga merupakan musibah yang tak tergantikan dan sebuah lubang yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam.

Ulama yang wafat, hanya bisa digantikan dengan kelahiran ulama baru. Dengan kealiman serta akhlak muridnya akan dapat melanjutkan estafet keulamaan gurunya.  Dalam satu hadis disebutkan,

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ, وَنَجْمٌ طُمِسَ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“Meninggalnya satu suku lebih mudah bagiku dari pada meninggalnya satu orang ulama (HR. Imam al-Thabrani)”

Hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa hidupnya, kita dapat mendapatkan ilmu dari mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Perkara inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.

‎خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ

“Ambillah (Pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya, ‘Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu boleh pergi (hilang)?’ Rasulullah ‎Saw. menjawab, ‘Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR Ad-Darimi, At-Thabrani No 7831 dari Abu Umamah).

Habib Abu Bakar dikenal sebagai mufakkir atau pemikir dikarenakan kecerdasan intelektualnya mengenai peradaban zaman yang melampaui pemikir lainnya. Keuletannya dalam mencari ilmu nampak dari karya-karyanya, terutama dalam Fiqh Tahawwullat. Kiprahnya dalam berdakwah juga telah masyhur di berbagai penjuru negeri, baik Timur Tengah, Eropa hingga Asia. Banyak santri didiknya berasal dari Indonesia. ia dilahirkan di lembah Ahwar Provinsi Aden pada tahun 1366 H/1947 M.

Sejak belia, Habib Abu Bakar dididik ilmu syariat agama oleh kedua orang tuanya. Tak heran jika dirinya mampu menghafal seluruh isi al-Qur’an di masa muda. Ia juga sudah bertalaqqi (tatap muka) ke berbagai guru ternama di zamannya, baik di Aden maupun di Hadramaut. Bahkan, sejak usia 14 tahun, dirinya telah mendapatkan mandat dari sang ayah untuk menyampaikan khutbah Jum’at di masjid-masjid sekitar.

Keberhasilan Habib Abu Bakar tak luput dari peranan kedua orang tuanya. Merekalah yang telah membangun karakter Habib Abu Bakar hingga menjadi figur ternama seperti sekarang. Dalam tuturnya dia mengakui,

“Keseluruhan hidupku tak terlepas dari peran orang tuaku, ayah dan ibuku. Ayahku sosok yang sangat disiplin mengatur waktu. Baginya, pendidikan dan akhlak adalah prioritas utama. Seringkali aku menangis setiap mendengarkan lantunan l-Qur’an yang ayah baca pada sepertiga malam.”

Beranjak ke usia remaja, Habib Abu Bakar meneruskan pendidikan formalnya di Universitas Aden, dengan mengambil prodi Bahasa Arab. Tak lama setelah kelulusannya, negeri Yaman menjadi tak bersahabat, disebabkan banyak terjadi kekacauan dan fitnah yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Menyikapi hal ini, akhirnya ia beserta keluarga memutuskan untuk hijrah ke negeri Hijaz.

Sesampainya di negeri Hijaz, terbesit dalam hati dan pikirannya untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar. Namun setelah Habib Abu Bakar mengungkapkan hasratnya kepada orang tua, dirinya malah mendapat penolakan, dan mereka menyarankan agar melazimi belajar kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf hingga menjadi murid yang istimewa karena kecerdasan dan kewara’annya.

Sejak saat itu, Habib Abu Bakar merasakan irtibath (hubungan) yang kuat dengan sang murabbi. Ia memperoleh curahan ilmu lahir sekaligus ilmu batin. Baginya, Habib Abdul Qadir Assegaf adalah figur ulama yang patut dijadikan sebagai suri tauladan di akhir zaman.

Setelah menjadi tokoh ternama di Jazirah Arab, Habib Abu Bakar kembali ke negeri kelahirannya Hadramaut. Ia menetap di daerah yang bernama Husaisah, kota mati yang menjadi tempat disemayamkannya kakek moyang para habaib di Hadramaut, ialah Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib.

Habib Abu Bakar mendirikan Rubath (Pondok Pesantren) Al-Muhajir yang kemudian berkembang pesat dan diubah menjadi Universitas Al-Wasathiyah pada tahun 2010. Didirikannya lembaga tersebut adalah semata-mata demi memenuhi perintah Nabi Saw. yang disampaikan kepadanya melalui mimpi.

Popularitas Habib Abu Bakar dan ilmu Fiqih Tahawwulat merupakan hal yang tak asing di kalangan para cendekiawan Islam di Timur Tengah. Fiqih Tahawwulat ialah keyakinan bahwa mengetahui tanda-tanda hari kiamat merupakan rukun agama (ruknu ad-din) ke-4.

Dalam hal ini, beliau bertolak belakang dengan opini mayoritas ulama yang mengatakan rukun agama ada tiga (Iman, Islam dan Ihsan). Meski begitu, ideologi dan ijtihad Habib Abu Bakar tidak menjadikannya keluar dari agama Islam, karena tidak setiap perbedaan dalam syariat menunjukan adanya kekufuran.

Lantas, hal apa yang mendasari Habib Abu Bakar sehingga berpendapat dan mengambil kesimpulan bahwa rukun agama ada 4, dan yang ke-4 ialah mengetahui tanda-tanda kiamat?

Jawabnya ialah karena ia mengambil dalil dari hadits Jibril, yaitu hadits pertama yang termaktub pada Hadits Arbain Nawawi. Singkatnya, seusai malaikat Jibril bertanya perihal Iman, Islam, dan Ihsan kepada Nabi, Jibril kembali bertanya mengenai kapan hari kiamat. Lalu Nabi menjawab, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.” kemudian Jibril melanjutkan pertanyaannya, “Lantas apakah tanda-tanda dari kiamat itu sendiri?” sontak Nabi pun langsung menjelaskan tanda-tanda kiamat.

Manfaat lahirnya istilah Fiqih Tahawwulat ialah membuktikan kebenaran hadits Nabi perihal munculnya tanda-tanda kiamat di akhir zaman. Fiqih Tahawwulat tidak terlahir begitu saja, namun terlahir setelah mengkaji dan menelaah tasfir ayat-ayat Al-Qur’an, Sunnah Nabi, serta Atsar para sahabat Nabi Muhammad Saw.

Semoga Allah Swt terima amal dan ibadahnya, menempatkannya di surga tertinggi, serta menjadikan wafatnya sebagai wasilah turunnya banyak rahmat dan hidayah untuk kita semua. Aamiin

Penulis : Abdul Mun’im Hasan
Editor: Khoirum Millatin