Syekh Saif Ali Mohamed al Ashri: Pentingnya Mengelaborasikan Fikih dan Tasawuf dalam Kehidupan

Okt 28, 2023
Syekh Saif Ali Mohamed al Ashri: Pentingnya Mengelaborasikan Fikih dan Tasawuf dalam Kehidupan
Dokumentasi: World Sufi Assembly

Fikih adalah ilmu mengenai hukum-hukum syariah praktis berdasarkan bukti-bukti rinci, yang memiliki kedudukan mulia dan tinggi. Dengan fikih, kita dapat membedakan antara yang halal dan haram, antara yang boleh dilakukan dan yang harus dihindari. Dengan fikih pula, hukum-hukum menjadi teratur, dan individu dapat memahami kewajiban seperti salat dan puasa serta seluruh peraturan Islam lainnya. Dengan pengetahuan fikih, seseorang beribadah kepada Allah dengan pemahaman yang dalam dan berjalan menuju Tuhan dengan jalan yang terang benderang. Ia tidak lagi dibutakan oleh kebodohan dan keliru dalam pengambilan keputusan. Ia keluar dari kegelapan menuju cahaya, dan mendapatkan petunjuk melalui dalil-dalil yang jelas dan nyata. Ia berada di surga dan kebahagiaan, memahami hak dan kewajiban, dan mampu membedakan transaksi yang sah dari yang tidak sah. Ia memiliki pengetahuan tentang semua hukum yang diatur oleh para ahli fikih, yang telah membuka pintu-pintu ilmu dan menyusun dasar-dasarnya.

Adapun tasawuf adalah ilmu untuk memperbaiki hati dan jiwa, membersihkannya dari penyakit dan hawa nafsu rendah. Ini adalah ilmu yang membawa jiwa manusia menuju puncak kesempurnaan manusia, mengangkatnya ke tingkat kesempurnaan dan keindahan. Dengan ilmu ini, jiwa disucikan dari kecacatan dan keterbelengguan, dan didekatkan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Kemudian, ia ditempatkan dalam cahaya, dihiasi dengan kebaikan dan rahasia. Jiwa membebaskan diri dari kesombongan dan kepura-puraan, dan menuju Allah dengan cara yang benar, berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan suci dan murni, tidak tergoyahkan oleh hasrat dan ketakutan, menerima dengan lapang dada takdir Allah. Dengan demikian, batinnya tetap tenang, tidak tergoyahkan oleh pemberian atau penolakan.

Kedua ilmu mulia ini, yaitu fikih dan tasawuf, disebutkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam hadis Jibril ketika ditanya tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Beliau menjelaskan bahwa Islam adalah tindakan pernyataan ketaatan kepada Allah melalui dua syahadat serta melaksanakan perbuatan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, yang merupakan domain para ahli fikih. Kemudian beliau menjelaskan bahwa Iman adalah keyakinan yang benar tentang Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir-Nya, yang merupakan domain para ahli akidah. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, yang merupakan domain para sufi dan ahli tasawuf yang merupakan guru bagi jiwa dan dokter bagi jiwa manusia.

Keterkaitan antara fikih dan tasawuf menghasilkan individu yang lurus dalam akhlaknya, teratur dalam perkataan dan perbuatan, bermanfaat bagi negaranya, menjaga keluarganya, patuh kepada orang tua, mendidik anak-anaknya, menghormati istri, dan menyambut kerabatnya, serta menjalankan kewajiban-kewajibannya, berbuat baik kepada tetangganya, dan menghormati tamunya.

Dia tidak menyakiti orang dengan kata-katanya atau tindakannya, meredakan pikiran dan menghindari risiko. Dia seperti hujan yang membawa kebahagiaan dan sukacita ke mana pun dia pergi. Dia tidak mengungkapkan rahasia orang lain atau menyingkapkan aibnya. Dia tidak berbohong atau jatuh ke dalam dosa. Kehadirannya, pergaulannya dan perilakunya adalah cahaya yang terus menerus bersinar. Apa yang dia katakan adalah kebenaran dan apa yang dia janjikan dia penuhi.

Dengan fikih, dia memahami halal dan haram, memberikan keputusan dalam perselisihan manusia, mengekang para penindas, dan memperjuangkan para tertindas. Sementara dengan tasawuf, dia mengenal kebaikan dan mencapai sifat-sifat yang indah. Dia yang mengikutinya menjadi dermawan dengan harta benda dan rendah hati dengan hak-haknya. Dia memprioritaskan orang lain atas dirinya sendiri dan bersedia mengalah. Dia memuliakan tamu dan memenuhi kewajibannya.

Tidak ada yang bisa melukai orang dengan lisannya atau merugikan dengan perbuatannya. Dia dapat mengendalikan pikiran-pikiran negatif dan mencegah risiko-risiko buruk. Dia seperti hujan lebat yang membawa tawa dan kebahagiaan ke mana pun dia pergi. Dia tidak membongkar rahasia orang lain, tidak mengungkapkan kesalahan orang, dan tidak berbohong atau terlibat dalam perilaku buruk. Dalam segala aspek kehidupannya, dia adalah cahaya yang terus bersinar. Dia selalu berkata jujur dan memenuhi janji-janji.

Dengan fikih, dia dapat memahami halal dan haram, memutuskan perkara-perkara antara manusia, menghentikan penindasan, dan menyelamatkan yang tertindas. Sementara dengan tasawuf, dia mengenal puncak-puncak kesempurnaan dan mencapai sifat-sifat yang indah. Mereka yang mengikuti tasawuf akan menjadi dermawan dan rendah hati dalam memenuhi hak-hak orang lain, berharap sedikit dalam urusan dunia, dan hanya puas dengan dasar yang paling sempurna.

Para ulama Islam memahami perlunya hubungan erat antara fikih dan tasawuf, dan bahwa keduanya saling melengkapi. Mereka berkata bahwa seseorang yang mengikuti tasawuf tanpa memahami fikih mungkin akan sesat. Sebaliknya, seseorang yang memahami fikih tanpa mengamalkan tasawuf mungkin akan tersesat. Hanya mereka yang menggabungkan keduanya yang benar-benar mencapai pemahaman yang mendalam.

Oleh karena itu, ulama-ulama kami telah berhasil menggabungkan fikih dan tasawuf dalam karya-karya mereka. Sebagai contoh, Imam Al-Ghazali, selain menulis karya-karya fikih seperti "Al-Mustasfa," "Al-Wasit," dan "Al-Wajiz," juga menulis karya-karya tasawuf seperti "Ihya Ulum al-Din," "Minhaj al-Abidin," dan "Bidayat al-Hidayah." Oleh karena itu, seseorang yang mencari kebenaran dan jalan akhirat tidak bisa mengabaikan salah satu dari dua ilmu ini.

Keluarga, dalam struktur dan filosofi mereka, tidak dapat didirikan tanpa dasar yang kuat dan jalan yang lurus, kecuali jika mereka berada di bawah payung fikih dan tasawuf. Keduanya membuat individu yang kuat dalam keluarga, yang mendahulukan kehormatan yang lemah, menghindari kezaliman dan kejahatan, dan tumbuh dengan kasih sayang dan cinta yang ditanamkan oleh tasawuf, serta pemahaman yang mendalam tentang halal dan haram yang diajarkan oleh fikih.

Di bawah bayangan fikih dan tasawuf, seorang ayah menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai yang baik, perkataan yang baik, tindakan yang baik, dan niat yang baik. Dia mendidik mereka dalam budaya, ilmu dan pengetahuan, serta mengajari mereka tatacara yang baik dan kesadaran akan Tuhan dalam segala hal. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda,

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkanmu beberapa kata: Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu akan menemukannya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk memberikan manfaat padamu, mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, dan jika mereka berkumpul untuk menyakitimu, mereka tidak akan bisa menyakitimu kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu. Pena-pena telah diangkat dan halaman-halaman telah kering,” (HR. At-Tirmidzi).

Dalam fikih dan tasawuf, anak-anak mengerti hak-hak mereka, termasuk hak-hak orang tua. Mereka tidak akan memprotes atau merasa kesal, tetapi mereka akan berlaku baik dan penuh kasih sayang. Anak akan berusaha keras untuk melayani orang tua mereka, tunduk pada perintah mereka, dan berusaha untuk membuat mereka bahagia. Mereka tahu bahwa orang tua adalah jalan menuju surga, sesuai dengan firman Allah,

"Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya karena rahmat dan ucapkanlah, 'Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’,” (Qs. Surat Al-Isra: 23-24)

Mereka juga patuh kepada perintah Allah dalam Al-Quran yang menyuruh untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Anak-anak berusaha untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka kepada orang tua mereka dengan harapan memperoleh pahala yang besar. Rasulullah saw. pernah bersabda,

"Sungguh, Allah telah melarangmu untuk durhaka kepada ibu dan bapak, untuk menyakiti anak perempuan, dan untuk menolak zakat. Dan Dia membenci untukmu tiga hal: banyak bicara, meminta-minta, dan menghambur-hamburkan harta," (HR. Muslim).

Mereka juga memahami hak-hak kerabat dan tetangga mereka, berperilaku dengan kebaikan, kejujuran, dan kejujuran, tanpa tipu daya, kebohongan, atau pengkhianatan.

Dengan fikih dan tasawuf, orang tua dapat mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang baik dan menjadi contoh yang baik. Jika orang tua memberi perintah atau melarang, anak-anak tidak akan melanggar kata-kata orang tua mereka. Orang tua mendidik anak-anak mereka dengan lembut, bukan dengan kekerasan, dengan kata-kata yang baik, bukan dengan tindakan kasar. Mereka memberikan dorongan positif, bukan ancaman. Ini adalah cara Nabi mendidik sahabat-sahabatnya. Anas bin Mali ra., mengatakan, "Saya melayani Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Dan sungguh, dia tidak pernah mengatakan kepada saya, 'Ah,' atau mengkritik saya atas sesuatu," (HR. Muslim).

Orang tua memilih nama-nama yang baik dan teman-teman yang baik untuk anak-anak mereka, karena teman adalah pengaruh yang kuat. Seorang teman yang baik adalah lebih baik daripada perjalanan yang jauh. Nabi yang mulia pernah bersabda,

"Contoh seorang teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti contoh pengusir kuda dan pandai besi; Jika kamu tidak membeli kuda yang bagus, kamu akan menemukan bengkak dari besinya, atau akan mendapati bengkak darinya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang diberkahi akan menjadi cahaya, kebaikan, dan rahmat bagi orang tuanya, keluarganya, kerabatnya, tetangganya, masyarakatnya, dan negaranya.

Dalam bayangan fikih dan tasawuf, suami berperilaku dengan penuh penghormatan dan rasa hormat terhadap istrinya. Dia berlaku adil dan berbuat kebajikan. Keadilan diperoleh dari fikih, yang melibatkan memberikan hak dan melakukan kewajiban. Kebajikan berasal dari tasawuf, yang melibatkan melakukan lebih dari kewajiban dan hak, seperti berbuat baik, memberikan kemurahan, dan penghormatan yang lebih besar.

Dalam bayangan fikih dan tasawuf, seorang istri menghormati dan memuliakan suaminya, mematuhi hak-haknya, dan berperilaku dengan baik. Dia bersikap sopan dan indah, menjaga dirinya baik saat suaminya ada atau tidak, mengelola harta dan kekayaannya dengan cermat, bersyukur atas kebaikan dan pemberian suaminya, dan bersabar dalam kesulitan dan situasi buruk. Dia tidak bersikap kasar atau berbicara dengan kata-kata yang buruk. Dengan demikian, kehidupan mereka dipenuhi dengan kebahagiaan, cinta, dan kecerahan.

Ketika keluarga diselaraskan dan berjalan dengan baik, masyarakat juga menjadi lebih baik, karena masyarakat hanyalah kumpulan dari keluarga-keluarga.

Dalam kerangka fikih dan tasawuf, seseorang yang sudah memahami akan melaksanakan tugasnya di tempat kerja dan menjaga aset negara dan lembaga di mana dia bekerja dengan integritas. Dia bersikap ramah dan sopan saat berhadapan dengan orang lain, memilih kata-kata dengan hati-hati, tidak menunda pekerjaan, tidak mendiskriminasi orang lain, dan tidak menerima suap.

Jika seseorang adalah seorang pedagang, dia akan jujur dalam jual beli, tidak menipu, dan tidak bersumpah palsu saat menjual barang-barangnya. Pedagang yang jujur akan mendapatkan berkah dalam bisnisnya, seperti yang disebutkan dalam hadis: "Dua penjual dapat memilih untuk membatalkan transaksi mereka selama mereka tidak berpisah. Jika keduanya jujur dan mengungkapkan kebenaran, berkah akan ada dalam transaksi mereka. Tetapi jika mereka menyembunyikan informasi dan berbohong, berkah transaksi mereka akan terhapus."

Dan dia berharap untuk mendapatkan ganjaran dari Allah Swt. Nabi kita yang mulia pernah bersabda,

"Orang mukmin yang paling sempurna dalam keimanan adalah orang yang memiliki akhlak terbaik. Dan orang yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik dalam perlakuannya terhadap istri-istrinya." (HR. At-Tirmidzi).

Juga, dalam riwayat At-Tirmidzi, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda,

"Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik bagi keluarganya, dan saya adalah yang terbaik di antara kalian bagi keluargaku."

Ketika individu hidup sesuai dengan ajaran fikih dan tasawuf, mereka akan memiliki tanggung jawab, integritas, dan perilaku yang baik. Keselarasan antara fikih dan tasawuf adalah hal yang sangat penting, dan pendekatan holistik seperti ini sangat diperlukan dalam pendidikan, lembaga keagamaan, dan perguruan tinggi Islam. Selain itu, para imam dan pemimpin agama harus menyebarkan pengetahuan dari dua disiplin ilmu ini kepada masyarakat melalui ceramah, kuliah Jumat, dan seminar, sehingga orang bisa mendapatkan manfaat maksimal dari keduanya.

Tulisan merupakan makalah dari Syekh Saif Ali Mohamed al Ashri yang dipresentasikan dalam kegiatan World Sufi Assembly di Pekalongan, 2023