Suluk Maleman ke-139 Bahas Cara Menjadi Manusia

Pati, JATMAN Online – Tema diskusi Ngaji Suluk Maleman edisi ke 137 membahas “Sujud NgAllah” digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Jalan P. Diponegoro 94, Pati, Sabtu (15/07/2023).
Budayawan penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin mengatakan, sujud menuju Allah memiliki banyak makna. Tak hanya sisi batin berupa hubungan dengan Allah, tapi juga sisi sosial dan kultural. Yakni, terbangunnya pola interaksi yang baik dan benar dalam interaksinya dengan segenap makhluk Allah.
“Ibadah atau penghambaan adalah metode paling efektif untuk menemukan kesejatian diri kita. Tapi kalau ibadah lebih ditekankan pada sisi yang mahdhoh atau wajib saja, tentu manusia tak perlu diturunkan ke bumi. Cukup di surga saja,” kata Anis Sholeh Ba’asyin mengawali pengajian malam itu.
Cara beribadah dalam Islam, lanjutnya, memang berbeda dan bukan pemujaan seperti yang telihat di banyak peradaban. Karena prinsip Islam jelas, Allah tak butuh dipuja.
Menurutnya, dalam Islam beribadah dirancang agar manusia menemukan kesadaran atas statusnya, yakni hamba yang diberi amanah sebagai khalifah. Kesadaran itu yang harusnya menuntun manusia mengelola bumi.
“Semua tindakan manusia pada dasarnya adalah bentuk ibadah. Itu prinsip dasarnya, karena memang demikianlah tugas manusia sebagai khalifah,” paparnya.
Anis lantas mencontohkan tentang konsep kerja kebudayaan. Apa saja yang dikerjakan manusia pada dasarnya adalah memenuhi kebutuhan pihak lain, bukan dirinya. Nah, memenuhi atau menyediakan kebutuhan atau jasa ke pihak lain itu adalah perbuatan mulia dan merupakan salah satu bentuk silaturrahim.
Anis menyampaikan meski kemudian ada klasifikasi berdasar tingkat kebutuhannya. Seperti misalnya antara yang menyediakan kebutuhan primer, sekunder dan seterusnya. Tapi pada dasarnya semua sama-sama mulia. Soal hasil dalam bahasa kebudayaan manusia disebut keuntungan, pada dasarnya hanyalah bonus dan bukan tujuan utama.
“Tapi pada kenyataannya manusia dan peradabannya sering zalim, menggelapkan dirinya sendiri. Salah satunya dengan mengubah bonus menjadi tujuan. Mereka bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan pihak lain, tapi lebih berorientasi mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Akhirnya, banyak peradaban yang dikendalikan keserakahan,” tuturnya.
Belum lagi, apabila hubungan tersebut disalahgunakan untuk saling mendukung dan memenuhi kebutuhan yang buruk dan jahat.
“Nah, Islam mengajari kita untuk mengembalikan itu semua pada jalurnya yang benar, pada sunnatullah. Yakni, dengan menghubungkan semua tindakan kita dengan Allah. Dan karena terhubung dengan Allah, maka tak mungkin itu berbentuk keburukan atau malah kejahatan. Itulah yang lantas kita sebut sebagai ibadah,’’ jelasnya.
Itu yang disebut Anis sebagai ngAllah, menuju Allah, menghubungkan dengan Allah atau mengembalikan kepada Allah. Itu juga penerapan makna ilaihi rojiun dalam kehidupan sehari-hari.
“ngAllah sendiri maknanya adalah hubungan dengan semua mahluk yang dilandasi karena Allah. Untuk mewujudkannya, perlu upaya bagaimana menjernihkan hati agar tidak digelapkan oleh yang di jasad,” paparnya.
Terkait hal tersebut, Anis menyebut ruh merupakan satu kesatuan dari empat unsur. Saat ruh kuat, maka hati yang akan menjadi penunjuk jalan di kegelapan, akal yang menerjemahkan dan nafsu yang menjadi tenaga untuk mengaplikasikannya.
Anis menjelaskan, sebelum manusia memutuskan sesuatu, keputusan itu sudah lebuh dulu muncul di jaringan otaknya. Persoalannya, siapa pengendalinya?
“Itulah yang menurut Imam Al Ghazali disebut khuluq, bentuk tunggal dari akhlaq atau dalam bahasa Jawa disebut wadag alus. Lawannya adalah kholaq, atau wadag kasar. Kholaq adalah sesuatu yang sudah jadi. Sementara khuluq adalah sesuatu yang harus dibentuk dalam kehidupan. Ia merupakan hasil dialektika terus menerus antara yang ruh dengan yang jasad,” jelasnya.
Salah satu cara melatihnya adalah dengan meningkatkan ibadah mahdhoh, dan selalu mengaitkan diri dengan Allah dalam muamalahnya. Dengan terbiasa melakukan hal-hal yang baik, maka akan terbentuk khuluq yang baik dan itulah yang akan selalu menuntun kita untuk melakukan kebaikan dalam segala situasi.
“Khuluq yang baik ini ditandai kejernihan kalbu atau hati sebagai unsur terdepan yang menangkap pancaran cahaya ruh. Petunjuk kita ada pada apa yang disebut mata hati. Sehingga apa pun keputusan mau pun apa yang kita lakukan pada dasarnya berdasarkan mata hati,” imbuhnya.
Sebaliknya, bila terbiasa berorientasi pada duniawi, maka khuluq yang terbentuk pun akan mengarah ke sana dan perlahan-lahan mata hati akan terkotori atau bahkan tertutup.
“Sehingga kita akan selalu diarahkan pada keburukan atau bahkan kejahatan dalam setiap kesempatan hidup kita,” ungkapnya.