Salah Kaprah Fiqih dan Syariat

September 22, 2023 - 13:10
Salah Kaprah Fiqih dan Syariat

Islam merupakan agama yang memiliki penganut terbesar di Indonesia dengan lebih dari 100 juta jiwa tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dengan latar belakang sosial, geografi dan politik dari tiap daerah yang berbeda, tentunya menelurkan berbagai macam sudut pandang terhadap agama khususnya dari kalangan orang awam. Tidak sedikit kalangan awam memandang bahwa agama adalah sumber ketenangan, yang mana dari agama mereka mendapatkan ketenangan atas kondisi batin yang berkecamuk di tengah kebisingan kehidupan. Ada juga yang memandang agama lebih dari itu, yakni agama diyakini menjadi sumber keselamatan bagi para pengikutnya yang mengajarkan doktrin eskatologi (hari akhir). Semua yang disebutkan di atas tentunya harus berlandaskan dengan ilmu. Karena bagaimanapun seseorang melakukan suatu ibadah kepada Tuhannya, apabila tidak dilandasi dengan ilmu, maka ibadah tersebut tidak akan mencapai derajat sah.

Dalam agama Islam, ada yang disebut dengan Syari’at. Syari’at adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba – hambanya. Sedangkan sumber dari Syari’at ini adalah Al-Quran dan Hadis. Segala bentuk hukum yang sudah dijelaskan di dalam al-Quran dan Hadis itu disebut sebagai permasalahan Qoth’i atau juga permasalahan yang pasti.

Selain itu, di dalam al-Qur’an dan Hadis juga terdapat berbagai macam kata yang memiliki arti multitafsir. Yakni kata – kata tersebut bisa mengandung makna yang lain. Maka dari itu, para Ulama melakukan Ijtihad (Metode Berpikir Keras untuk Mendapatkan suatu Hukum) untuk menafsirkan kata – kata yang memang berpotensi multitafsir tersebut. Adapun mereka yang berijtihad disebut sebagai Mujtahid. Yang mana pada akhirnya, produk pemikiran para Mujtahid yang melalui jalan Ijtihad yang mengambil sumber dari al-Quran dan Hadis itu disebut fiqih.

Fiqih ini sangat berbeda dengan Syari’at. Karena fiqih membahas berbagai macam persoalan yang bersifat Dzhanny. Sedangkan Syari’at membahas perkara yang Qoth’i. Sebagaimana orang yang haus pasti ia akan mencari minum, akan tetapi minumannya sendiri berbeda-beda bisa berupa kopi, teh, air es, dan lain sebagainya.

Dalam permasalahan yang lain. Contoh dari permasalahan Qoth’i adalah sepakatnya para ulama dan penganut agama islam atas kewajiban menutup aurat. Silahkan anda tanya kepada saudara muslim yang lain. Mereka pasti sepakat atas kewajiban menutup aurat. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi berbeda ketika timbul pertanyaan batasan aurat. Karena para ulama sendiri tentunya berbeda penafsiran antara batasan aurat itu sendiri. Sebagian ada yang mengatakan bahwa aurat itu dari pusar sampai lutut untuk kaum pria, dan seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan untuk kaum wanita. Ada juga yang mengatakan suara perempuan termasuk aurat, ada juga yang mengatakan tidak. Hal ini bisa terjadi karena pembahasan fiqih berada pada ruang lingkup Zhanny (Perasangka). Sehingga sudah cukup jelas pula penjelasan di atas mencakup perbedaan antara Syariat dengan Fiqih.

Ketidaktahuan orang awam atas hal yang disebutkan di atas tentunya menjadi tantangan bagi para pemuka agama di setiap daerahnya. Karena dampak yang ditimbulkan dari ketidaktahuan itu adalah menjadikan orang – orang memiliki pola pikir Jumud (Kaku) dan Tekstualis. Mereka akan beranggapan segala sesuatu yang berbeda dengan tata cara yang biasa mereka lakukan adalah suatu bentuk kesalahan. Sehingga yang paling bahaya adalah tindakan mudah menyalahkan antara satu dengan yang lain.

Hal ini tentunya menjadi sebuah bahan evaluasi dan kritik bagi para Ustad atau Kiai sekaligus para Santri (sebagai kader penggerak dalam kajian agama islam) untuk memberikan keterangan dan pemahaman yang luas bagi para jamaahnya. Tidak sedikit berbagai macam persoalan ditanyakan jawabannya dengan mengatasnamakan “Pandangan Islam”, akan tetapi sebenarnya adalah “Pandangan Fiqih” mengenai permasalahan tersebut. Karena sebagaimana dalam agama islam sendiri ada empat mazhab yang diakui. Maka tidak sepatutnya kebenaran dimonopoli oleh satu golongan saja. Sehingga perlu diusahakan apabila terdapat pertanyaan sebagaimana kasus di atas, perlu dijawab secara arif dan bijaksana sesuai dengan kemaslahatan umat.

Maka dengan hal ini, perlunya bagi orang awam mendapatkan perhatian lebih oleh para ustad mengenai ilmu agama agar memiliki cara pandang yang luas dan tidak sempit. Apalagi isu agama adalah suatu hal yang sangat sensitif bagi sebagian orang, sehingga diperlukan ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi oleh para ustad.

Penulis: Galby Hadziq

(Mahasiswa Universitas Ibnu Khaldun Bogor)