Ponpes Thariqah Sulaiman; Padepokan Suluk Naqsabandiyah Khalidiyah Madiun

Pondok Pesantren Thariqah Sulaiman terletak di Desa Lebakayu, Kec. Sawahan, Kabupaten Madiun. Nama pesantren tersebut dinisbatkan pada pendirinya, Kiai Sulaiman yang merupakan santri dari Syekh Umar Kudus. Dari gurunya ini, Kiai Sulaiman juga mendapatkan ijazah mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah. Adapun sanadnya adalah Kiai Sulaiman dari Kiai Umar Kudus dari Kiai Sholeh Pati dari Syekh Sulaiman Zuhdi dari Syekh Sulaiman al-Gharimi dari Syekh Abdul Affandi dari Syekh Khalid Baghdadi.
Pada tahun 1904, Kiai Sulaiman pindah ke Madiun karena diambil mantu oleh Kiai Sanawi. Keduanya lalu membangun sebuah mushala kecil yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pada tahun 1910.
Kemudian setelah mushala tersebut berdiri, Kiai Sulaiman mulai melakukan kegiatan katarekatan dan mulai mengangkat beberapa khalifah. Tercatat pada saat itu ada 28 orang yang diangkat sebagai khalifah untuk mewakilinya di berbagai daerah dari Jawa Tengah hingga Jember.
Sejak berdirinya Pondok Pesantren Sulaiman, lokasi tersebut memang dikhususkan untuk santri-santri yang ingin memperdalam thariqah. Pada masa Kiai Sulaiman, santri yang ingin berbaiat harus malakukan khalwat selama empat puluh hari di ruang yang sudah disediakan oleh pondok. Barulah setelah itu dilakukan pembaiatan setiap malam Jumat.
Pada tahun 1936, Kiai Sulaiman wafat dan diteruskan oleh putranya Kiai Muhammad Ngadnan hingga tahun 1940. Kemudian dilanjutkan lagi oleh keponakannya, Kiai Imam Muhyiddin hingga tahun 1983. Setelah Kiai Imam Muhyidin wafat, estafet kemursyidan dipegang oleh Kiai Ngadiyin Anwar hingga saat ini.
Setelah lama menggunakan metode khalwat selama 40 hari untuk melakukan suluk, ketika kemursyidan dipegang oleh Kiai Ngadiyin Anwar, rupanya cara itu dirasa sangat berat. Di samping kebutuhan thariqah yang meningkat, kewajiban terhadap pekerjaan juga menjadi hambatan untuk melakukan metode tersebut. Sehingga, secara teknis dari sisi pelaksanaannya mengalami perubahan-perubahan. Akhirnya, ada beberapa alternatif yang bisa dipilih di antaranya, dipersiakan bagi yang ingin mukim selama 40 hari, selama seminggu dan juga boleh bagi yang hanya seminggu sekali datang karena berkaitan dengan tugas yang lain.
Sempat ingin ada perubahan konsep dalam pendidikan di Pesantren Sulaiman yang dari awal sudah berbasis tarekat, yaitu memasukkan pengajian kitab syariat. Sayangnya, perubahan itu tidak berlangsung lama. Ada saja kendala yang terjadi. Akhirnya sampai hari ini diputuskan memang pesantren fokus pada kethariqahan saja. Kecuali pada Bulan Ramadan bisa dikhususkan untuk ngaji pasaran yang diampu oleh Gus Kafi, putra terakhir Kiai Ngadiyin Anwar dari tujuh bersaudara. Sekaligus juga memperingati Haul Kiai Sulaiman di tanggal 18 Ramadan.
Sampai hari ini, santri yang mukim di pesantren hanya kurang dari 50 orang. Kebanyakan dari mereka merupakan santri-santri yang sudah pernah mondok di pesantren besar. Sedangkan di Pesantren Sulaiman khusus untuk tabarukan saja. Mereka rata-rata berasal dari Magetan, Ngawi dan wilayah sekitaran pesantren.
Di Pesantren Sulaiman juga sering digelar kegiatan-kegiatan JATMAN, antara lain Musker, Sidang Pleno, Manakib Karesidenan, dan beberapa kali Kegiatan Syu’biyyah.