Penjelasan Zuhud, Definisi dan Tokohnya

September 20, 2023 - 10:56
Penjelasan Zuhud, Definisi dan Tokohnya

Zuhud adalah fase awal untuk menempuh jalan tasawuf. Sedangkan untuk bisa menapaki posisi ini, para sufi mengerahkan kemampuannya dengan melakukan hal- hal sebagai berikut:

– Menempatkan dunia pada perkara yang fana’, akan hilang dan sima seperti bayangan
– Menyadari bahwa ada tempat yang lebih mulia dibandingkan dunia, yang kekal abadi yaitu akhirat
– Meyakini bahwa apa yang diusahakan untuk memperoleh dunia akan menjadi penghalang mereka untuk mendapatkan apa yang sudah ditetapkan Allah di akhirat.

Harun Nasution mengemukakan tentang asal-usul zuhud kemudian menghimpunnya menjadi lima pendapat. Pertama, mengatakan bahwa bahwa zuhud terinspirasi dari cara hidup rahib-rahib kristen. Kedua, menyebutkan bahwa zuhud dipengaruhi oleh phytagoras yang mengharuskan menginggalkan kehidupan dunia untuk membersihkan roh-roh. Ketiga, bahwa zuhud dipengaruhi oleh ajaran Plotinus agar bisa menyatu dengan tuhan dan penyucian jiwa yang kotor. Keempat, berasal dari ajaran Budha yang mengharuskan untuk menjalani kontemplasi untuk mencapai nirwana. Kelima, diadaptasi dari amalan Hindu yang mengajarkan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman maka harus meninggalkan dunia dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Namun meskipun pada praktiknya zuhud banyak ditemukan pada ajaran pokok setiap agama, Namun dalam Islam, anjuran untuk berlaku zuhud juga memiliki dasar dalil yang kuat.

Definisi dan Dasar Zuhud

Zuhud (زهد) berasal dari kata زهد – يزهد – زهدا yang secara bahasa artinya menolak. Adapun secara istilah makna zuhud disetarakan dengan yang artinya membenci sesuatu dan meninggalkannya. Dalam konteks tasawuf, zuhud berarti membenci perkara dunia dan meninggalkannya.

Zuhud menurut Ibrahim bin A’dzham adalah mengosongkan hati dari perkara duniawi, bukan mengosongkan tangan. Zuhud yang demikian adalah tingkatan para ahli ma’rifat (‘Arifin) sedangkan posisi yang lebih tinggi dari itu disebut tingkatannya para muqarrabin yang tidak membutuhkan apapun selain Allah dan hanya menginginkan wushul dan dekat kepada Allah.

Adapun menurut Al Ghazali adalah memalingkan dari kesenangan duniawi dan tidak pula membenci duniawi bahkan tidak mengharap ganjaran akhirat. Zuhud adalah menginginkan dekat dengan Allah semata.

Dasar anjuran berperilaku zuhud dijelaskan secara tekstual dalam al Quran. Allah Swt. Berfirman:

المال والبنون زينة الحياةِ الدُّنْيَا والباقيات الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sist Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Selain itu tergambar pula dari hadits riwayat Sahal bin Ibn Sa’ad as Sa’idi Ra. Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku sebuah amalahn yang apabila aku mengerjakannya maka Allah dan manusia akan mencintaiku. Kemudian Rasulullah bersabda:

ازهد في الدنيا يحبك الله وازهد فيما في أيدي الناس يحبوك

“Berzuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan berzuhudlah terhadap perkara manusia, niscaya mereka akan mencintaimu (HR. Ibnu Majah)

Zuhud dan Tokohnya

Salah satu tokoh yang dianggap mewakili maqam zuhud adalah Al Ghazali. Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al Ghazali. la dilahirkan di Thus, Khurasan pada tahun 450 H/1058 M. Sejak kecil ia sudah banyak menguasai pemikiran dan sastra sufi kemudian ketika usianya mencapai dua puluh tahun ia meneruskan pendidikannya di Nisyapur untuk memperdalam ilmu Islam.

Selama di Nisyapur, ia belajar teologi Islam kepada Syekh al Juwaini. Di Universitas Nizamiyah, la juga sangat terbuka dengan tasawuf sehingga ia sering berkunjung ke zawiyah-zawiyah dan menerima pendidikan sufistik dari Abu Ali Fadhl bin Muhammad bin Ali al Farmadhi.

Setelah al Juwaini wafat, Al Ghazali diminta untuk menjadi guru besar di Universitas Nizamiyah. Di tengah karimya yang gemilang, ia merasa ada ruang kosong yang membuatanya menemui kegelisahan. Sebelum meneliti tasawuf, Al Ghazali lebih dahulu mengabdikan dirinya untuk meneliti ilmu kalam, filsafat dan aliran bathiniyah. Namun seluruhnya itu tidak dapat memenuhi hasratnya. Saat itulah ia melakukan uzlah ke berbagai wilayah seperti Damaskus, Palestina, Mesir, Makkah dan Madinah.

Di Makkah, ia bersimpuh dibawah makam Nabi Ibrahim As. Dan bermunajat kepada Allah. Sejak saat itu ia memilih menjadi sufi dan menempuh riyadhah serta mujahadah dan mulai melakoni hidup zuhud.

Al Ghazali membagi tingkatan zuhud menjadi tiga tingkatan:

Tingkatan pertama yang disebut zuhud terendah yang dilakukan oleh pemula yaitu seseorang yang hatinya masih cenderung kepada dunia namun nafsunya berpaling darinya dan ia berusaha untuk mencegah dari hal tersebut Tingkatan ini disebut Mutazahhid

Tingkatan kedua yaitu zuhud dengan meninggalkan dunia karena menganggapnya perkara yang hina kemudian menuju sesuatu yang diinginkannya yaitu balasan di akhirat

Tingkatan ketiga yang disebut zuhud sempurna yaitu zuhud disebabkan terpautnya jalinan makrifat. Zuhud pada maqam ini tidak akan memandang kesenangan dan kesengsaraan. Ia hanya mencari yang disembah yaitu Allah Swt. Karena mencari selain Allah termasuk Syirik khafi.

Dalam mengimplementasikan kezuhudannya, dirinya dipengaruhi oleh pola hidup Ibrahim al A’dzham yang meninggalkan segala kemewahan dunia seperti apa yang dikisahkannya dalam ihya Ulumuddin,

“Ada seorang lelaki yang menemui Ibrahim al A’dzham dengan membawa sepuluh ribu dirham. Kemudian ia menolaknya. Lelaki tersebut tersinggung karena pemberiannya ditolak. Lalu Ibrahim berkata kepadanya, “Apakah kamu menginginkan namaku dihapus dari deretan nama orang fakir dikarenakan pemberian sepuluh ribu dirham darimu? Sungguh aku tidak akan melakukan itu selamanya”.

Dari hal ini al Ghazali menyimpulkan bahwa hati manusia bisa terhijab dikarenakan: 1). Bahagia dengan yang dimilikinya, 2). Menderita karena hilang sesuatu darinya, 3). Senang dipuji orang lain.