Penderitaan Anak-Anak Gaza di Tengah Ramadhan
Anak Palestina

Gaza memiliki jumlah anak yang diamputasi per kapita tertinggi si dunia dan tidak mampu lagi merawat mereka
Oleh: Hadeel Awad (Seorang penulis dan perawat yang tinggal di Gaza).
Di tengah penderitaan yang terus berlanjut ini, sistem perawatan kesehatan di Gaza bahkan tidak dapat mulai pulih, apalagi mengatasi berbagai krisis kesehatan yang melanda penduduk sipil. Salah satu yang terburuk di antaranya adalah jumlah korban amputasi yang mengejutkan akibat penggunaan senjata peledak secara sembarangan oleh Israel selama 15 bulan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, hingga September 2024, 22.500 orang di Gaza telah mengalami cedera yang mengubah hidup sejak 7 Oktober 2023, termasuk cedera anggota tubuh yang parah, amputasi, trauma sumsum tulang belakang, cedera otak traumatis, dan luka bakar parah.
Pada puncak perang genosida, lembaga bantuan dan organisasi medis melaporkan bahwa lebih dari 10 anak kehilangan satu atau dua anggota tubuh setiap hari di Gaza. Banyak yang menjalani operasi tanpa anestesi dan banyak dari anggota tubuh ini dapat diselamatkan jika sistem perawatan kesehatan tidak hancur total.
Pada bulan Desember, PBB mengatakan Gaza memiliki "jumlah anak yang diamputasi per kapita tertinggi di dunia". Pada bulan Juli 2024, saat melakukan kunjungan lapangan ke Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, saya menyaksikan secara langsung bagaimana salah satu rumah sakit terakhir yang berfungsi di Gaza berjuang untuk membantu mereka yang mengalami cedera akibat senjata peledak. Ketika saya tiba di rumah sakit, ada banyak orang yang terluka karena beberapa pemboman.
Saya bergegas membantu karena ada kekurangan staf yang parah. Pasien pertama yang saya tangani adalah seorang gadis yang terluka bernama Tala yang berusia empat tahun. Dia kehilangan salah satu kakinya karena pemboman dan menangis serta menjerit dengan keras. Ibunya, yang juga terluka parah, tidak dapat datang untuk menenangkannya. Saya tidak dapat berbuat banyak untuk gadis kecil itu kecuali mengganti perbannya dan memberinya obat pereda nyeri.
Kemudian saya melihat seorang pemuda bernama Abdallah yang terluka parah dan tidak sadarkan diri. Setibanya di rumah sakit, sisa kakinya diamputasi. Ayahnya memberi tahu saya bahwa nenek Abdallah dan salah satu saudara kandungnya tewas.
Saya kembali ke rumah sakit pada bulan Desember 2024, di mana saya bertemu dengan dua gadis kecil, Hanan, berusia 3 tahun, dan Misk, berusia 1 tahun 8 bulan, yang telah kehilangan anggota tubuh dan ibu mereka dalam serangan Israel beberapa bulan sebelumnya. Kedua kaki Hanan diamputasi, sementara saudara perempuannya Misk kehilangan salah satunya. Bibi mereka, yang saya ajak bicara, menceritakan kepada saya tentang perjuangan merawat mereka.
Meski baru saja belajar berjalan ketika pengeboman melukai kakinya. Hanan sudah cukup dewasa untuk memahami dan memperhatikan kaki anak-anak lain seusianya, dan bertanya mengapa kakinya hilang. Ini hanyalah beberapa kisah dari ribuan anak yang masa kecilnya telah berakhir akibat bom Israel. Mereka tidak dapat berlari dan bermain dengan teman sebayanya, menderita trauma berat di tempat yang bahkan tidak dapat menyediakan perawatan dasar bagi mereka.
Sebelum perang genosida ini, Gaza telah berjuang menghadapi banyaknya orang yang diamputasi, korban perang Israel sebelumnya dan serangan terhadap demonstrasi damai. Namun, ada beberapa fasilitas dan organisasi yang membantu mereka. Rumah Sakit Hamad untuk Rehabilitasi dan Prostesis mampu menyediakan prostetik bagi para orang yang diamputasi. Berbagai inisiatif menyediakan dukungan psikososial dan program penyembuhan untuk mengatasi trauma dan stigma.
Namun, semua itu kini telah hilang. Rumah Sakit Hamad hancur dalam beberapa minggu pertama perang genosida. Rumah sakit yang hancur dan klinik darurat hampir tidak mampu menyediakan perawatan untuk penyakit kronis, apalagi bagi penyandang disabilitas. Perbatasan Rafah kini ditutup, sekali lagi dan tidak ada korban yang dapat melakukan perjalanan untuk berobat. Ada kebutuhan mendesak untuk ribuan anggota tubuh palsu dan alat bantu seperti kruk dan kursi roda, tetapi semuanya belum diizinkan masuk.
Dengan skala kerusakan yang dialami sektor perawatan kesehatan di Gaza, akan butuh waktu bertahun-tahun untuk membangunnya kembali – dan itu pun jika Israel berhenti menghalangi bantuan sebagai bentuk hukuman kolektif. Selama ini, para korban amputasi pasti akan menderita bukan hanya karena kurangnya perawatan dan rehabilitasi, tetapi juga karena trauma psikologis mendalam yang tidak akan pernah sembuh. Ini akan menjadi epidemi yang tidak terlihat di Gaza. (Hadeel Awad, Seorang penulis dan perawat yang tinggal di Gaza, Aljazeera.com, 15 Maret 2025).