Moderasi Beragama Berbasis Tasawuf Falsafi
Agama adalah menyangkut dengan perbuatan, kemauan, keyakinan, pendirian, ketetapan pandangan dan kepatuhan.

Agama adalah menyangkut dengan perbuatan, kemauan, keyakinan, pendirian, ketetapan pandangan dan kepatuhan. Perbuatan tidak terlepas dari regulasi ilahi [hukum syara]. Kemauan tidak terlepas dari hudhur hati kepada Allah. keyakinan tidak terlepas dari dogma/aqidah kepada Allah. Pendirian, keyakinan, ketetapan pandangan dan kepatuhan tidak terlepas dari makrifat yang benar. Semua ini ada pada diri kita yang tidak terlepas dari tuntutan agama. Bilamana kita tidak mengetahui, mengamalkan dan merasakan dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam ibadah dan muamalah maka kita belum dapat dikatakan sebagai orang yang beragama.
Prof. Dr. H. Zainal Abidin, guru besar UIN Datokarama Palu Agama memiliki 5 fungsi sosial:
1. Fungsi edukatif, terkait dengan upaya pemindahan dan pengalihan (transfer) nilai norma keagamaan kepada masyarakat. Memberi orientasi dan motivasi serta membantu untuk mengenal dan memahami sesuatu hal yang dianggap “sakral”
2. Fungsi penyelamat, terkait dengan bentuk-bentuk rasa kedamaian, ketenangan, kasih sayang, dan bimbingan serta pengarahan manusia untuk memperoleh kebahagiaan.
3. agama memberikan batasan (limitation) dan pengkondisian (conditioning) terhadap tindakan atau perilaku individu atau masyarakat.
4. Fungsi sosial control, agama memberikan batasan (limitation) dan pengkondisian (conditioning) terhadap tindakan atau perilaku individu atau masyarakat.
5. Fungsi transformatif, agama memiliki daya ubah terhadap tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik
Agama seringkali mendapat penilaian negatif dalam pandangan global. Kebenaran dan kearifan universal yang diusung oleh beberapa tokoh pun dirasa kurang mampu untuk mengentaskan masalah yang amat fundamental terhadap agama itu sendiri. Kekuatan umat manusia yang mayoritas beragama ini sebenarnya memiliki andil yang besar dalam perdamaian dunia. Namun kerap kali agama masuk dalam ranah kepentingan diplomatis yang syarat akan nilai-nilai politis di dalamnya. Perdamaian merupakan ciri utama dari setiap ajaran agama. Bentuk perdamain inilah yang sudah semestinya teraktualisasikan dalam suatu pergerakan yang nyata. Karena pada prinsipnya agama-agama dunia mengajarkan tentang bagaimana kita hidup dengan rukun satu sama lain dengan tidak meng kotak- kotakan agama dalam kerangka kerukunan antar umat beragama. Konflik atas nama agama, pada umumnya terjadi bukan karena ajaran agama itu sendiri tetapi disebabkan adanya faktor dan aktor yang memanfaatkan isu agama demi kepentingan tertentu.
Dalam sebuah masyarakat yang multireligi seperti Indonesia, fungsi sosial agama tersebut hanya akan efektif manakala semua agama dapat menjalin kerja sama dan saling mendukung satu sama lain dalam suasana yang toleran dan harmonis. Untuk dapat mewujudkan jalinan kerja sama antar penganut agama, maka yang perlu dielaborasi lebih jauh adalah dimensi esoterik (substansi) dari ajaran agama karena pada dimensi ini semua agama dapat bertemu. Sudah saatnya umat diajarkan beragama secara subtantif, bukan keberagamaan formalistik simbolik, yang sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu di luar kepentingan agama bahkan bertentangan dengan spirit agama.
Maka gagasan pemerintah mengenai konsep moderasi beragama, sangat penting dengan tujuan untuk membendung kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama atau agama dijadikan alat untuk tujuan negatif yang memenuhi keinginan egoisme kelompok sehingga menimbulkan radikalisme dan ekstrimisme dalam agama.
Syekh Prof. Dr. Banamour Rezky, guru besar Universitas Oran, Aljazair, mengartikan moderasi beragama adalah:
مصطلح الاعتدال الديني مصطلح سياسي يقصد به الاهتمام بالعبادات الفردية والجماعية في إطار يضمن السلم الأهلي أي نوع من الاسلام الذي لا يعارض الحكومة ويسهل التدين .. الاعتدال الديني المفروض أنه يقبل تعدد الطوائف ولا يكفر بقية الطوائف الاسلامية وحتى الديانات الأخرى.. وقد يقصد به عدم تدخل الدين في السياسة والاكتفاء بأداء العبادات
Istilah moderasi beragama merupakan istilah politik yang berarti memberikan perhatian terhadap ibadah individu dan kolektif dalam kerangka yang menjamin perdamaian sipil, yaitu jenis Islam yang tidak menentang pemerintah dan memfasilitasi keberagamaan. sekte dan tidak menyalahkan sekte Islam yang lain bahkan agama lain. Bisa berarti tidak campur tangan. Agama dalam politik dan kecukupan dalam menjalankan ibadah.
Sebagai Negara yang multikultur-multireligi, moderasi beragama sangat penting dalam menopang dan memperkokoh nilai-nilai kebangsaan. Moderasi agama akan mewujudkan kehidupan umat beragama yang harmonis dalam ikatan kebangsaan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, moderasi beragama ditandai oleh empat indicator utama:
1. Komitmen kebangsaan
2. Toleransi
3. Anti kekerasan
4. Penerimaan terhadap budaya lokal
Dalam Islam, agama terdiri dari aqidah yaitu keyakinan kita kepada Allah dengan mengenal sifat-sifat-Nya, serta hukum syara yaitu melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya dengan melaukakannya hudhur hati kepada Allah di dalam bathin yang disebut Ihsan. Adapun Ihsan sendiri adalah tasawuf sebagai ruh agama.
Dalam hal ini, Prof. Dr. Rubaidi guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, menjelaskan; “Tasawuf mengajarkan ajaran Islam tidak hanya bertumpu kepada Islam saja, tetapi juga Iman dan Ihsan. Istilah lainnya adalah tidak hanya syariat saja, tetapi juga tarekat, hakekat, dan makriat. Ruh Islam terdapat pada satu kata, yakni Akhlaq atau Budi Pekerti. Dalam kata akhlaq itu mencakup berbagai dimensi perilaku positif, termasuk menghargai orang lain, pluralisme, multikulturalisme, atau moderasi berislam itu sendiri.”
Moderasi beragama tidak mungkin dibangun hanya menggunakan fundasi keislaman berbasis syariat saja, Sebaliknya, moderasi beragama dapat dibangun takala seseorang telah mulai memahami dimensi rukun iman, lebih-lebih rukun dimensi ihsan.
Syekh Ibnu Ajibah al-Hasani dalam Iqazhul Himam fi Syarh Al-Hikam, menjelaskan;
من بلخ إلى حقيقة الإسلام لم يقدر أن يفتر عن العمل، ومن بلخ إلى حقيقة الإيمان لم يقدر أن يلتفت إلى العمل بسوى الله، ومن بلخ إلى حقيقة الاجسام لم بقد، أن يلتفت إلى أحد سوى الله.
Barangsiapa yang telah sampai pada hakikat Islam niscaya ia Tidak merasakan penat atau surut dalam beramal. Barangsiapa yang telah sampai pada hakikat iman), niscaya ia tidak akan mampu berpaling beramal dari selain Allah. Dan Barangsiapa yang telah sampai pada hakikat Ihsan niscaya ia tidak akan kuasa lagi berpaling dari selain Allah.
Kajian Ihsan adalah tasawuf, adapun tasawuf sendiri dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu, pertama Tasawuf akhlak merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkugan tempat tinggalnya. Jadi tasawuf akhlak dapat terealiasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah dibuktikan dalam kehidupan social. Kedua, Tasawuf Amali dalam pengertian umum dapat dimaknai sebagai tasawuf dalam bentuk praktek-praktek amaliah sebagai tarbiyah al-Ruhiyah (pendidikan spiritual) atau disebut juga thariqah al-Sufi yah. Dalam praksisnya, tarbiyah al-Ruhiyah di bawah pengawasan dan bimbingan seorang guru sufi dalam tasawuf disebut mursyid atau syekh. Seseorang yang telah masuk dalam tarekat dan berbaiat kepada mursyid dinamakan murid atau salik. Ia mendapatkan bimbingan ruhani dari mursyid. Ketiga, tasawuf falsafi, adalah ajaran yang menggabungkan antara Irfani kaum Sufi dengan pandangan-pandangan filsafat. Pemilik aliran ini memadukan dzuq al-Sufiyah, Kasy al-Ilahiyyah dengan meminjamkan konsep dan bahasa filsafat untuk menggambarkan dan mengungkapkan hasil dari rasa ruhani (dzauq), dan penyingkapan rahasia (kasyf) yang merupakan hasil dari para riyadah (olah batin), dan mujahadah kaum sufi . Sebagian proses pencapaian kasf didapatkan melalui suatu jalan yang disebut jadzbah (tarikan Allah) dalam bentuk anugerah-Nya yang dinamakan ilmu ladduni atau ilmu al-Asrar.
Berbeda dengan pandangan kaum rasionalisme muslim dapat memahami moderasi beragama, gagasan para sufi falsafi diantanya Syekh Ibnu Arabi, Syekh Abdul Karim al-Jili dan ulama sufi lainnya yang sepaham dengan mereka menekankan pada gagasan Kesatuan Eksistensi [Wahdatul al-Wujud], penyatuan atas dasar cinta. Gagasan ini memanag sulit untuk dirumuskan dengan kata-kata, dengan bahasa apapun. Namun ia ada dan eksistensial. Secara singkat pendekatan ini dapat dirumuskan dalam sejumlah prinsip. Ahmad Amin dalam karyanya, Zhuhr al-Islam, menyebutkan sepuluh prinsip dalam tasawuf falsafi. Lima diantaranya;
1. Tidak ada Tuhan Kecuali Satu, Dia Abadi. Tidak Tuhan Kecuali Dia.
2. Tidak ada Penguasa Kecuali Penguasa Yang Satu [Allah]
3. Semua agama adalah jalan menuju Allah, sebagian lebih maju daripada yang lain sejalan dengan perkembangan zaman. Semua agama membimbing manusia menuju Tuhan. Meskipun ritus-ritus [cara-cara kebergamaan] agama-agama manusia berbeda-beda, semua dituju kepada Tuhan.
4. Tidak ada persaudaraan kecuali persaudaraan yang menghimpun seluruh prinsip kemanusiaan. Manusia menyatu dengan yang lain; pertama-tama dalam hubungan keluarga, kemudian hubungan umat, dan akhirnya hubungan kemanuisaan secara universal.
5. Tidak ada aturan etika [moral/akhlak] kecuali satu, yaitu cinta. Meski ada sejumlah etika, tetapi yang paling esensial adalah cinta.
Esensi Moderasi beragama dalam pandangan sufistik Sebagai mana syair Syekh Ibnu Arabi dalam kitab Tarjuman al-Asywaq yang berbunyi:
لقد صار قلبي قابلا كلا صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثان وكعبة طائف
والواح توراة ومصحف قرأ
أدين بدين الحب أني توجهت
ركائبه فالدين ديني وايماني
Hatiku telah siap menyambut segala realitas.
Padang rumput bagi rusa kuil para rahib.
Rumah berhala-berhala
Ka'abah orang tawaf
Sabak-sabak taurat
Lembar-lembar Alqur'an
Aku mabuk cinta
Kemana pun Dia bergerak
Disitu aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku
KH. Husein Muhammad, menjelaskan semua penulis dan para pembaca Ibnu Arabi biasanya mengomentari syair-syair diatas sebagai sikap dan pandangan dasar sang Gnostik Besar ini tentang toleransi dan kesatuan agama-agama. Mereka memahami kata-kata tersebut menurut makna literalnya. Pernyataan ini boleh jadi memang benar adanya konsekuensi lebih lanjut dari doktrin Wahdatul al-Wujud nya. Semua penganut agama, dengan nama yang berbeda-beda dan cara peribadahan dan penyembahannya masing-masing, pada hakikatnya hendak mengekspresikan kecintaan kepada Tuhan. Semua pemeluk agama bergerak menuju Tuhan yang satu dan sama itu. Mereka sama-sama mencintai, mendambakan Cinta-Nya, mendekat dan ingin menyatu dalam dekapan-Nya, karena Dialah Pencipta segala yang ada dan Dia Mencintai semuanya.
Dengan demikian, basis moderasi beragama dalam tasawuf dengan landasan cinta sebagaimana untaian syair Syekh Ibnu Arabi diatas, apabila di hati setiap umat beragama khususnya Islam telah tertanam rasa cinta [mahabbah] sehingga dalam pandangannya ia bersikap anti kekerasan dalam hal ini adalah tidak menyakiti dengan tindakan maupun perkataan (kekerasan verbal). Intinya adalah tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan rasa sakit yang akhirnya menimbulkan kebencian dan konflik. Dalam konteks kehidupan beragama, anti kekerasan atau tidak menyakiti adalah tidak berpikir, berkata, dan berbuat tentang suatu hal yang dapat mengganggu kerukunan, kedamaian, dan kebebasan setiap orang dalam menjalankan aktifitas beragamanya.
*Budi Handoyo, SH., MH. merupakan Dosen Prodi Hukum Tatanegara, Jurusah Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh