Menjalani Proses Menjadi Orang Yang Bertaqwa

Habib Luthfi bin Yahya menyampaikan bahwa ayat ke 2 Surat al Baqarah yang berbunyi,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Menjelaskan kedudukan ‘Hudan lil muttaqin’ yang artinya ‘petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa’ ini terbagi menjadi 3 bagian. Tingkatan orang awam berbeda dengan tingkatan orang-orang yang khawash dan tingkatan orang-orang yang khawash tidak sama dengan tingkatan khawas al khawash. Ketiganya itu bukan hal yang terpisah, melainkan tetap bersambung dan saling berkaitan.
Taqwanya orang awam lebih berorientasi pada pahala yang bisa didapatkan sebanyak mungkin dengan mengerjakan amaliyah-amaliyah yang baik. Adapun taqwanya Orang-orang yang khawash, ia akan meninggalkan ganjaran tetapi selalu menjalankan ibadah agar bertambah makrifat dan dekatnya kepada Allah Swt. Sedangkan bagi orang-orang yang khawash al khawash, seluruh hidupnya hanya ntuk berkhidmah kepada Allah Swt. dan tingkat mahabbah-nya kepada Allah melebihi makhluknya. Mahabbah yang dimiliki oleh orang tersebut kemudian menghasilkan tingginya Ridla.
Ridla adalah kesadaran bahwa apa yang diberikan Allah kepada kita adalah yang terbaik. Ketika Allah menciptakan bumi dan kita ridla dengan hal tersebut, maka kita tidak akan bermaksiat karena sadar bahwa yang diinjak adalah milik Allah Swt. dan kita hanya meminjam.
Ksadaran untuk mencapai ridla ini selanjutnya kembali pada individu masing-masing. Ridla berarti juga harus siap dengan segala keputusan Allah. Seberat apapun ujiannya, jika tertutup dengan ridla dan mahabbah, maka hasilnya adalah taqwa dan perasangka yang baik pada Allah Swt.
Tingkatan taqwa ini kemudian berpengaruh pada doa-doa yang kita baca. Contohnya, ketika kita membaca Surat Yasin selama 40 hari berturut-turut untuk mendapatkan faedah tertentu. Ternyata, setelah 40 hari kita belum mendapatkan apa-apa. Maka yang kurang tajam itu pembacanya, bukan doanya apalagi Allah. Namun jika kita memulai doa dengan andap ashor, rendah diri di hadapan Allah Swt. dengan penuh husnuzon, maka apapun yang dikehendaki Allah justru akan membuat kita semakin dekat dan semakin rindu.
Imam Syadzili setiap malam ketika tahajud selalu berdoa, “Ya Rabb, kapan aku bisa bertemu.” Bukan untuk mati, tapi kapan bisa melihat Allah, Nadzhar ila Wajhil Karim, karena sudah rindu. Itulah orang-orang yang sudah maqamatil khawash al khawash.
Untuk mencapai derajat tersebut dan mendapat pembekalan yang baik, yang perlu dilakukan adalah membersihkan hati terlebih dahulu supaya tidak mempunyai ghaflah, yaitu lalai kepada Allah Swt. Kalau kita sudah tidak mempunyai ghaflah, merasa didengar, dilihat oleh Allah Swt. Maka secara otomatis akan dapat mengurangi maksiat. Meskipun tidak secara total tapi setapak demi setapak kita akan sadar, bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan jauh dari Allah Swt.
Semakin kita merasa didengar, semakin dilihat oleh Allah ta’ala, maka shifatul haya’ akan muncul, malu rasanya kepada Allah Swt. Kalau sudah tambah malu kepada Allah, khauf (takut) nya muncul lebih tebal, taqwanya semakin kental, ingin selalu mendekat dan rindu kepada Allah Swt. Dan di sinilah kepentingan thariqah-thariqah manapun terutama bagaimana membersihkan hati agar dapat bercahaya karena bersih dari sifat-sifat tercela.