Mengenal Syekh Abul Fadhol al-Senory, Ulama Kampung yang Go International

September 20, 2023 - 05:36
Mengenal Syekh Abul Fadhol al-Senory, Ulama Kampung yang Go International

Syekh Abu al Fadhol al Senori atau Kiai Fadhol adalah putra dari pasangan ulama KH. Abdus Syakur bersama istrinya Nyai Sumiah yang lahir pada tahun 1917 M. Dilihat dari nasab ayahnya, Kiai Fadhol bukanlah keturunan orang sembarangan. Kakeknya dari jalur ayah, yang bernama Kiai Muhsin adalah ulama dari Karangmangu, Sarang yang merupakan putra dari Mbah Saman bin Yaman, yaitu seorang pejuang dari pasukan Pangeran Diponegoro yang gigih membela negara. Adapun neneknya dari jalur ayah yang bernama Mbah Denok berasal dari keturunan pengusaha Kesultanan Surakarta, yaitu Raden Diloyo.

Mbah Denok merupakan ulama perempuan yang alim dan zuhud. Ia adalah perempuan yang sangat setia dan berbakti kepada suaminya. Berdasarkan cerita dari beberapa sumber, Mbah Denok sangat menginginkan putra yang shalih.  Ketika ia sedang hamil, ia tidak sengaja menumpahkan sebagian beras yang sedang ia cuci. Seketika itu, beras yang tumpah berubah menjadi emas. Kemudian Mbah Denok berkata,

“Ya Allah, saya tidak meminta harta benda, saya minta putra yang alim.”

Dan benar saja. Allah mengabulkan doanya dan menganugerahinya putra putri yang shalih dan shalihah, yaitu Kiai Abdus Syakur, Kiai Chair dan Nyai Sarah yang diperistri oleh Raden Yusuf Mangkudirjo, Putra Bupati Jepara kala itu.

Pada usia yang masih belia, Kiai Abdus Syakur mengikuti pamannya untuk menuntut ilmu ke Haramain selama dua belas tahun lamanya. Di sana, ia berguru kepada berbagai macam ulama terkemuka, di antaranya kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Zaini Dahlan, Syekh Mukri dan juga pengarang kitab I’anah ath-Thalibin, Sayyid Bakri Syatha’. Ia juga bersahabat baik dengan cucu muallif tersebut yang bernama Sayyid Hamzah Syatha’. Selain di Mekkah, Kiai Abdus Syakur juga pernah mengenyam pendidikan agama kepada KH. Ahmad Sholeh Langitan, Kiai Sholeh Darat Semarang dan Syekh Kafrawi Tuban.

Sekembalinya ke tanah air, ia dinikahkan oleh Nyai Sumiah di Sedan Rembang dan menetap di sana. Keduanya dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama Abul Khair dan Abul Fadhol. Selanjutnya, ia mendirikan lembaga pendidikan pesantren dan mengajar santri-santrinya di sana. Di antara santrinya itu, ada yang bernama Kiai Djuned yang akan menjadi besannya kelak.

Kiai Abdus Syakur adalah ulama yang disiplin dan telaten. Dengan kedalaman pengetahuannya, ia sendiri yang mengajarkan ilmu agama  terhadap anak-anaknya terutama Kiai Fadhol. Karena memiiki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, Kiai Fadhol dengan mudah menyerap semua ilmu dari ayahnya. Dalam mengajar, Kiai Abdus Syakur menggunakan metode menghafal dan memaknai kitab, sehingga tidak heran ketika nantinya Kiai Fadhol menjadi salah satu ulama yang produktif dalam mengarang kitab. Maka tidak heran ketika kakaknya sendiri, Kiai Abdul Khair lantas memuji kecerdasan adiknya itu.

“Saya (Kiai Abul Khair) dan Abul Fadhol hanya belajar kepada ayah kami. Akan tetapi, dalam masalah ini, Abul Fadhol kecerdasannya mengungguli saya. Sebab cepatnya menghafal dan menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti sharaf, nahwu, balaghah, manthiq, muqawwalat, ilmu tafsir, ilmu hadis nabawi, arudh dan khafiyah.”

Kecerdasan Kiai Fadhol memang sudah nampak sejak masih kecil. Daya hafalannya sangat kuat. Dengan hanya mendengar penjelasan ayahnya, ia dapat mencerna dan memahami dengan cepat. Maka tidaklah heran, ketika berusia Sembilan tahun, ia sudah sanggup menghafalkan al-Quran 30 juz hanya dalam waktu dua bulan. Kemudian, pada usianya yang kesebelas tahun, ia sudah hafal Alfiyah ibn Malik. Selain itu, ia juga sudah mampu mengarang kitab, khatam kitab Kafrawi dan membaca Fathul Wahab ketika masih muda. Bahkan, saat ia mengkhatamkan kitab Uqudul Juman, tata bahasa Arabnya sudah sangat sempurna. Oleh karena itu, meskipun tidak pernah menuntut ilmu ke Mekkah seperti ayahnya, keunggulan gramatikal bahasa Arab Kiai Fadhol tidak perlu diragukan lagi kefushah-annya. Terbukti ketika banyaknya tamu Kiai Abdus Syakur yang dari negara Arab datang ke rumah, Kiai Fadhol lah yang menjumpai mereka dan berdiskusi dengan mereka.

Selain mahir dalam bahasa Arab, Kiai Fadhol rupanya juga mahir dalam bahasa Belanda. Sejak kecil, ia tak segang untuk bersenda gurau dengan serdadu-serdadu atau siapapun yang berada di markas Belanda tanpa ada rasa khawatir sedikitpun. Tapi dari situlah kemampuan berbahasanya bertambah. Kebiasaan tersebut membuatnya menjadi mahir dalam berbahasa Belanda.

Setelah Kiai Fadhol mendapatkan pemahaman agama yang cukup dari ayahnya, barulah ia diizinkan mengambil sanad keilmuan dari ulama lain seperti kepada Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asyari yang merupakan sahabat ayahnya ketika di Haramain, itupun tidak sampai satu tahun. Melalui sanad keilmuannya dari KH. Hasyim Asyari, Kiai Fadhol mengembangkan Islam yang toleran, bahwa perbedaan hanya terletak dalam soal furu, sedangkan dalam hal pokok, ushul, antar golongan umat Islam memiliki satu pemahaman. Sehingga, banyak santri KH. Hasyim Asyari yang kemudian melakukan propaganda bersama untuk kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang dilakukan dengan mengemukakan perlunya toleransi. Inilah yang sepertinya menjadi buah pikir penulisan kitab Kawakib al Lama’ah, salah satu karyanya yang membahas eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Selepas dari menyelesaikan pendidikannya di Tebu Ireng, Kiai Fadhol dinikahkan dengan perempuan asal Senori bernama Nyai Syari’ati binti Kiai Djuned dan tinggal di sana dengan mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Darul Ulum pada sekitar tahun 1960-an. Senori dulunya adalah daerah abangan. Kemudian datanglah Kiai Khusno dari Kendal bersama putranya Kiai Djuned yang melakukan babat alas di daerah tersebut dan kemudian diteruskan oleh menantunya, Kiai Fadhol. Bersama Nyai Syari’ati, Kiai Fadhol dianugerahi tujuh orang putra dan putri, antara lain:

  • Abdul Jalil
  • Muayyad
  • Shofiyuddin
  • Nashirul Mahasin
  • Khoridatul Anisah
  • Abdul Mafakhir
  • Lum’atud Duror

Kiai Fadhol wafat pada Hari Sabtu, 11 November 1989 yang bertepatan dengan tanggal 12 Robiul Awal 1410 H dan dimakamkan di pemakaman umum di Senori Tuban. Ia wafat karena sakit yang dideritanya. Meskipun sosoknya sudah tidak ada, namun namanya masih tetap harum hingga kini.

Karakteristik dan  Keilmuan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, bahwa Kiai Fadhol bukanlah sosok yang banyak mendapatkan pendidikan dari ulama lain. Meskipun demikian, banyak sekali ulama-ulama besar di bawahnya yang mengambil sanad keilmuan darinya. Kiai Fadhol adalah ulama yang sangat tegas dalam memberikan pendidikan kepada santri-santrinya. Ia tak segan menegur ketika ada yang terlambat dalam memulai majelis ilmu meskipun hanya beberapa menit saja.

Selain itu, ulama kharismatik tersebut memiliki gaya hidup yang sangat sederhana namun nyentrik. Menurut KH. Abdullah Faqih Langitan, yang merupakan salah satu santrinya mengatakan bahwa gurunya itu tak pernah memungut bayaran sedikitpun selama proses belajar-mengajar. Bahkan ia menghidupi dirinya sendiri dengan sambil berjualan, sehingga ketika ada yang membeli, proses pembelajaran tersebut dijeda sebentar.

Selain KH. Abdullah Faqih Langitan, masih ada banyak lagi ulama besar yang pernah menimba ilmu darinya, seperti KH. Maimoen Zubair Sarang, KH. Hasyim Muzadi, KH. Kafabihi Mahrus Lirboyo, KH.  Muhammad Zayadi Zain Pendiri Ponpes Zainul Islah Probolinggo, KH. A Mujib Imron, SH. dari Pondok Pesantren Al Yasini, Pasuruan dan banyak lagi. Kebanyakan para santri-santrinya tersebar di wilayah Jawa Barat seperti Cirebon dan Kuningan.

Kiai Fadhol adalah ulama yang zuhud. Hal ini tampak dalam penampilannya sehari-hari. Bahkan, pernah suatu ketika Kiai Fadhol bertakziyah ke Ayahanda KH. Maimoen Zubair yaitu KH. Zubair Dahlan. Pada saat itu, tak ada seorangpun yang mengenalnya, karena pakaian yang dikenakan tidak seperti ulama kebanyakan. Kopiahnya sudah berwarna merah dan bajunya lusuh. Namun ketika KH. Maimoen Zubair menyambut dan mencium tangannya, barulah orang-orang sadar bahwa yang datang itu bukanlah orang sembarangan. Selain itu, menurut Nyai Lum’atud Duror, Kiai Fadhol kerap tirakat dan hanya makan sehari sekali. Ia juga jarang tidur dan lebih sering melakukan wirid.

Sebagaimana manusia pada umumnya, Kiai Fadhol juga perlu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia pernah menjalani profesi seperti menjadi penjahit, penjual benang dan kain serta membuka bengkel. Bahkan, pada tahun 70-an, Kiai Fadhol sudah sudah mampu membuat bronfit, memodifikasi motor dan sepeda. Padahal, ia sebelumnya sama sekali tidak pernah belajar otomotif. Apalagi ia hidup di daerah pedesaan yang jauh dari arus teknologi. Selain itu, ia juga pandai mereparasi barang-barang elektronik seperti radio, televisi, kipas angin dan lain-lain. Padahal, ia juga tidak pernah belajar elektronik. Namun yang unik dari ulama tersebut adalah setiap kali pekerjaan yang ditekuni itu mulai maju, ia segera beralih ke profesi lain. Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Fadhol bekerja bukan karena tujuan harta, melainkan sebagai bentuk ikhhtiar kepada Allah. Karena itu, bekerja adalah ibadah lain di samping rutinitasnya mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Ulum.

Selain menjadi pengasuh pondok pesantren, Kiai Fadhol juga merupakan pengurus Nahdlatul Ulama Provinsi Jawa Timur yang sangat aktif dan bahkan merupakan sebagai seorang pendiri Nahdlatul Ulama di Senori Tuban. Pada tahun 1960-an, KH. Abul Fadhol pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU cabang Tuban Selatan (Kecamatan Senori-Bangilan) yang pada saat itu menggantikan KH. Masyhuri. Meskipun pada saat itu usianya sudah tak lagi muda, tetapi KH. Abul Fadhol tetap aktif di NU dan menjabat sebagai Dewan Mustasyar Jawa Timur hingga akhir hayatnya.

Karya-karya

Kiai Fadhol adalah ulama yang sangat produktif hingga akhir hayatnya. Karya-karyanya bahkan tidak hanya dikaji di Pesantren-pesantren di Nusantara, namun juga di luar negeri seperti Malaysia, Mesir dan Turki. Berdasarkan keterangan Kiai Juwaini, karya Kiai Fadhol terbagi menjadi dua katagori: Pertama, kitab-kitab yang ia terjemahkan ke dalam Bahasa Jawa pegon yaitu kitab-kitab yang bukan tulisannya sendiri melainkan karya ulama-ulama terdahulu seperti ilmu nahwu, sharaf dan lain-lain. Kedua, kitab-kitab yang merupakan karyanya sendiri dan ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab. Pada katagori kedua ini, Kiai Fadhol menolak untuk menterjemahkan karyanya ke dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia, karena khawatir menghilangkan I’jaz. Menurutnya, jika kitabnya diterjemahkan, maka keistimewaannya akan hilang. Kitab-kitab tersebut banyak dikaji di pesantren-pesantren milik santrinya terdahulu sebagai ngaji pasaran selama Bulan Ramadhan.

Adapun karya-karya Kiai Fadhol meliputi ilmu tafsir, ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu bahasa dan ilmu sejarah. Adapun beberapa karyanya yang masih dikaji di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Kitab Tafsir Al-Ayat al-Ahkam

Kitab ini merupakan karya Kiai Fadhol dalam bidang tafsir dengan menggunakan metode tematik yang menyangkut hukum-hukum syariat, ubudiyah dan muamalah. Hal ini dibuktikan dengan adanya klasifikasi ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema, kemudian ditafsirkan dengan pendekatan fikih serta analisis bahasa. Kitab ini tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali dibuat, namun pengajaran kitab tersebut pertama kali dilakukan pada tahun 1971. Namun dalam pembuatan kitab tersebut, ada indikasi belum selesai ditulis sebab tidak adanya bagian akhir bab yang biasanya berisi penutup. Padahal, kitab tersebut memiliki muqaddimah (pendahuluan).

  • Kitab Kawakibu al-Lama’ah

Kitab ini merupakan karya Kiai Fadhol dalam bidang tauhid. Kitab ini selesai pada tahun 1381 H dan didedikasikan kepada NU sebagai argumen-argumen Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kitab ini juga pernah dikaji dalam muktamar NU di Solo, kemudian isinya disepakati di Jombang pada tahun 1383 H atau 1964 M. Namun karena ada sebagian masyarakat yang tidak memahami kandungan kitab tersebut, maka Kiai Fadhol membuat syarh nya yang berjudul Syarah Kawakibu al-Lama’ah. Kitab tersebut bukan hanya diajarkan kepada santri, tapi juga masyarakat secara umum. Bahkan Syarah Kawakibu al-Lama’ah disimpan dengan baik di salah satu perpustakaan di Istanbul, Turki.

  • Kitab Kasyf Tabarihfi Bayan Salat al-Tarawih

Salah satu karya Kiai Fadhol yang menerangkan tentang fiqih adalah kitab Kasyf Tabarihfi Bayan Salat Al-Tarawih. Kitab tersebut ditulis karena problematika umat yang mempermasalahkan pelaksanaan shalat tarawih apakah 20 rakaat atau 8 rakaat. Oleh sebab itu, kitab ini ditulis sebagai jawaban atas keresahan masyarakat.

  • Kitab Tashil al-Masalik

Dalam bidang bahasa, Kiai Fadhol banyak sekali mensyarahkan kitab-kitab ulama terdahulu seperti kitab Tashil Al-Masalik sebagai syarh Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini terdiri dari tiga jilid yang ditulis oleh Kiai Fadhol untuk mempermudah santri-santrinya dalam memahami gramatikal bahasa Arab, khususnya di bidang Nahwu. Sebab, tidak semua orang dapat memahami intisari dari Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1002 bait-bait nadzom. Sehingga perlu penjelasan dari guru, salah satunya melalui hadirnya kitab ini.

  • Kitab Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-Asyrah

Kitab Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-Asyrah adalah satu-satunya karya Kiai Fadhol di bidang sejarah. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1381 H dalam Bahasa Arab yang menjelaskan tentang perjalanan wali sepuluh. Bahkan, menurut Kiai Juwaini, karya Kiai Fadhol yang satu ini merupakan satu-satunya kitab sejarah yang ditulis menggunakan bahasa Arab.

Penulis: Khoirum Millatin