Mengenal Rahmah El Yunusiyah, Perempuan Pertama Bergelar Syekhah dan Sang Nasionalis Sejati

September 20, 2023 - 10:12
Mengenal Rahmah El Yunusiyah, Perempuan Pertama Bergelar Syekhah dan Sang Nasionalis Sejati

Biografi dan Latar Belakang Pendidikan

Rahmah adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus Al-Khalidiyah dan Rafiah yang memiliki dua kakak perempuan dan dua kalak laki-laki. Keluarga ini penganut Islam yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. la bekerja sebagai kadi (Hakim) di Pandai Sikek, 5 km dari Padang Panjang. Sedangkan ibunya, Rafiah, punya hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama, pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19.

Ketika berusia enam tahun, Rahmah ditinggal wafat ayahnya pada usia 60 tahun. Sehingga untuk tetap mendapatkan pendidikan, keluarganya memilihkan salah seorang murid ayahnya sebagai guru mengaji Rahmah bersama dua kakaknya yang pernah belajar di sekolah desa dan mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin.

Menginjak usia 10 tahun, Rähmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. la mengambil perbandingan dari kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di Padang Panjang.

Rahmah dan beberapa temannya juga mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) di Surau Jambatan Basi. Mereka tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jambatan Basi, sebagaimana dicatat oleh Hamka.

Hamka dalam Ayahku: Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982) menggambarkan sosok Rahmah El Yunusiyah sebagai perempuan muslim revolusioner dan pantang menyerah. Rahmah biasanya tak sendirian. Ia kerap datang bersama tiga sahabatnya, yakni Rasuna Said, Siti Nansiah, dan Djawana Basyir. Di antara mereka berempat, ia tampak sebagai pemimpinnya.

“Boleh dikatakan bahwa sebelum itu, belumlah ada kaum perempuan yang belajar agama, nahwu-sharaf, fiqih, dan ushul-nya, Sebelum itu, kaum perempuan baru belajar dalam pengajian umum,” demikian tulis Hamka.

Konsistensi Rahmah dalam Menutup Aurat

Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Anggota Konstituante Zamzami Kimin menulis bagaimana Rahmah memberi perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara yang satu lagi menutupi jualannya dengan rapi, takut dihinggapi debu yang beterbangan.

“Kalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli,” tulis Zamzami menirukan ucapan Rahmah.

Selain itu, Rahmah telah menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas diniyah, kerudung putih yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. “Bila masyarakat melihat gadis atau wanita memakai mudawarah, baju kurung membalut tubuh, sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid Rahmah El Yunusiyah,” tulis Zamzami.

Berdirinya Madrasah Perempuan Pertama di Nusantara

Pada tanggal 1 November 1923, sejarah mencatat berdirinya perguruan untuk perempuan Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah Puteri (al-Madrasah ad-Diniyyah lil Banat) di Padang Panjang, Sumatra Barat.

Tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang la kembangkan adalah, “Membentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah Air atas dasar pengabdian kepada Allah Swt.”

Dua teman Rahmah, Siti Nansiah dan Djawana Basyir, termasuk guru terawal. Sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya ada 71 orang murid yang kebanyakan ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Sekolah Diniyah Puteri berkembang pesat, jumlah muridnya pun makin lama kian bertambah banyak. Tercatat, pada tahun 1928 Diniyah Puteri memiliki sedikitnya 200 murid.

Pada 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Puteri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis.

Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah Puteri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal. Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang peserta.

Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung tak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan secara gotong royong. Dalarn buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Puteri dicatat, para murid Diniyah Puteri bersama-sama pelajar dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu dari sungal yang berjarak 2,5 kilometer dari sekolah untuk membangun fondasi gedung.

Sayangnya, ketika Diniyah Puteri baru berumur tiga tahun, ujian berat datang mendera. Ini sekaligus untuk melihat bagaimana sikap dan komitmen Rahmah terhadap gagasan dan cita-citanya. Ujian itu adalah pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padang Panjang, meruntuhkan gedung lama beserta fondas gedung baru yang sedang dibangun. Siti Nanisah, salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan. Gempa ini tercatat sebagai gempa cukup dahsyat melanda Padang Panjang dan sekitarnya.

Gempa bumi mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar Diniyah Puteri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padang Panjang, seluruh murid Diniyah Puteri mengungsi keluar kota. Rahmah menyaksikan orang-orang meninggalkan Padang Panjang mengungsi ke daerah sekitar yang lebih aman. Praktis kegiatan belajar mengajar terganggu.

Dua tahun pasca-gempa, Allah memberikan hikmah yang luar biasa. Perkembangan Diniyah Puteri mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tercatat muridnya sudah mencapal 200 orang Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh Dellar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungan sekolah ke Sumatra dan Jawa (1931).

Selanjutnya ia juga mendirikan Freubel School (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat HIS). Sekolah Diniyah Puteri sendiri diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat ibtidaiyah (4 tahun) sampai tsanawiyah (3 tahun). Pada tahun 1937 berdiri program Kulliyyatul Mu’allimat al Islamiyyah 3 tahun yang diperuntukkan bagi calon guru.

Perempuan Agamis Yang Nasionalis

Pernah suatu ketika pemerintah kolonial hendak menawarkan subsidi pada lembaga yang didirikan Rahmah, akan tetapi dengan tegas dan berani, dia menolaknya. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak ingin menjadi bawahan penjajah dan terikat pada aturan mereka. Rahmah sangat membenci penjajahan dan la adalah nasionalis sejati. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam berbagai aktivitas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Sampai hari ini Diniyah Puteri telah melahirkan ribuan perempuan yang pintar sekaligus membuktikan jika dalam urusan belajar, laki- laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapat perhatian luas. Ketika pemerintah kolonial berencana memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah kolonial ditutup, Rahmah memimpin panita penolakan di Padang Panjang pada 1933. Dia dituduh membicarakan politik sehingga membuatnya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Puteri. Tiga orang guru Diniyah Puteri: Kanin RAS, Chasjiah A.R., dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar dengan kesalahan yang dicari-cari.

Pada 1938, la hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja. Aceh. la dipandang oleh ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di pulau Sumatra

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cao Sangs In Muhammad Sjafiri, Rahmah segera mengerek bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Puteri. la tercatat sebagal orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatra Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkobar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok kota dan luar daerah.

Menjadi Perempuan Pertama Bergelar ‘Syekhah’

Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji la mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan ‘Syekhah’ dari Universitas Al-Azhar. Itu untuk pertama kalinya Al-Azhar memberi gelar kehormatan syekh pada perempuan. Hamka mencatat, Diniyah Puteri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyah Lil Banat, bagian Universitas Al- Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962.

Hadirnya sosok Rahmah adalah refleksi ideal seorang muslimah untuk setiap zaman. la adalah pejuang yang memiliki cita-cita tinggi. progresif, dan visioner. la berharap kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat tak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak atau keturunan, juga terangkatnya derajat kaum perempuan ke tempat yang lebih proporsional.

Rahmah membuktikan bahwa perempuan mampu memberi peran dan kontribusi terhadap peradaban. Dia harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, dan sebagai anggota masyarakat. Kaum perempuan harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam. Semuanya harus melalui pendidikan dan pengajaran. Perempuan harus terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitarnya. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, nasibnya tak akan berubah. Karena itu Rahmah berpendapat, perempuan harus mendapatkan akses pendidikan yang sama sebagaimana kaum laki-laki. Hak untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah setara.

Dari kisah kehidupannya dapat disimpulkan bahwa Rahmah El Yunusiyah merupakan sosok pejuang perempuan dengan motivasi yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pendidikan kaumnya. Perjuangannya berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah.

Rahmah El Yunuslyah adalah tokoh ulama perempuan Nusantara yang telah jelas melakukan perjuangan dalam pendidikan perempuan Dengan menelaah pemikiran pembaharuannya dapat memberi gambaran bahwa perempuan juga dapat berkiprah dalam ranah publik dan lingkungan sosial tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai istri maupun ibu.

Menjelang Wafatnya

Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Puteri.

Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah menemui alumni Diniyah Puteri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi Datin Sakinah, alumni Diniyah Puteri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang merupakan menteri besar Kelantan. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang semakin menurun.

Perjuangan seorang Rahmah El Yumusiyah dalam memajukan pendidikan kaumnya adalah perjuangan yang menuntut konsistensi tingkat tinggi. Walau menderita penyakit cukup berat, sehari menjelang ajalnya ia masih sempat menemui Gubernur Sumatra Barat waktu itu Harun Zain, berharap pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, “Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai di leher. Tolonglah Pak Gubernur Sekolah Diniyah Puteri dilihat-lihat dan diperhatikan.”

Keesokan harinya setelah selesai mengambil air wudhu untuk shalat Magrib, ia kembali kepada Sang Pencipta, la wafat pada 26 Februari 1969, dalam usia 69 tahun, Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya di sisi barat Asrama Diniyah Puteri yang beliau dirikan.

Setelah Rahmah wafat, kepemimpinan Diniyah Puteri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Puteri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006.

Sumber: Ensiklopedi Ulama Nusantara