Mengenal Anre Gurutta (AG) Prof. Dr. K. H. Muhammad Nur

Anre gurutta wafat pada tanggal 29 Juni 2011, bertepatan isra’ mi’raj 27 Rajab 1432 H. Sosok keulamaan AGH Muhammad Nur telah banyak mewarnai tradisi keilmuan kaum pesantren perkotaan melalui Ma`had Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah (MDIA) yang didirikannya.
AGH Muhammad Nur dilahirkan 7 Desember 1932 di desa Langkean Kab. Maros, tercatat sebagai tokoh kharismatik Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan (NU SULSEL) yang sepanjang hayatnya berkiprah pada dunia pendidikan dan dakwah, serta pernah menjadi anggota DPR Provinsi. Sebelum rihlah ilmiyah ke tanah suci, Anre Gurutta belajar kepada ulama di daerahnya, kemudia ditahun 1947 sampai 1958 memilih mukim di Mekkah untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama hingga menerima sanad hadis yang bersambung langsung dengan Nabi.
Proses pendidikannya di Mekkah dimulai dengan menghafal Al Quran hingga 30 juz di Madrasah Ulumul Qur’an, Mekkah diselesaikan tahun 1375 Hijriah. Kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Fakhriyah Usmaniyah dan Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah tahun 1958 dengan memperoleh gelar Asy-Syekh Fadhil dan mendapat sertifikat untuk mengajar di almamaternya, Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah, Mekkah.
Keilmuannya sangat menonjol di bidang hadis, meski keilmuannya di bidang lainpun sangat dikuasainya seperti tafsir, fikih, tauhid, ushul fiqhi hingga tasawuf. Dalam bidang hadis berhasil memperoleh sanad hadis yang bersambung hingga rasulullah.
Ijazah silsilah hadis diperoleh dari sejumlah ulama Mekkah, tempatnya mengaji mendalami hadis di antaranya melalui; Asy-Syekh Hasan Al-Yamani, Asy-Syekh Sayyid Muhammad Amin Al-Kutuby, Asy-Syekh Alwi Abbas Al-Maliky, Asy-Syekh Ali Al-Maghriby Al-Maliky, Asy-Syekh Hasan Al-Masyath dan As-Syekh Alimuddin Muhammad Yasin Al-Fadany. Dari jalur ijazah silsilah ini kemudian diberi gelar Al-Allamah Al-Jalil KH. Muhammad Nur Al-Bugisy.

Basis keilmuannya di bidang hadis, juga mengantarkannya mendapatkan gelar bergensi sebagai pakar ilmu hadis yang diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan di Mekkah. Gelar keilmuan yang diperolehnya adalah Al-Allamah Nashirusunnah yang berarti pembela sunnah nabi yang mendapat pengakuan sejumlah ulama, pemberian gelar tersebut menguatkan bahwa AGH. Muhammad Nur seorang ulama besar yang kapasitas keilmuannya diakui sejumlah ulama Mekkah.
Sejak pulang dari Mekkah dan bermukim di Makassar, AGH Muhammad Nur kemudian berkiprah di bidang pendidikan agama dengan merintis pengajian kitab kuning sejak akhir tahun 1950-an. Salah satu lembaga pendidikan Islam yang berhasil dirintisnya dan melahirkan sejumlah ulama dan cendekiawan muslim, yakni Yayasan Pendidikan Taqwa yang menaungi Pesantren MDIA Taqwa hingga akhir hayatnya.
Selain itu, Allahu yarham memperoleh ijazah sebagai mursyid tarekat Al-Muhammadiyah dari Syeikh Sayyid Muhammad Amin Al-Kutuby, sehingga sesampainya di Makassar juga membaiat tarekat Al-Muhammadiyah, sehingga jamaah tarekat yang pernah dibaiat oleh Allahu yarham hingga sampai daerah Kalimantan dan lainnya.
Baca juga: Haul Prof. Dr. K. H. Muhammad Nur Ke-10
Beberapa tokoh besar, ulama, cendekiawan pernah mengecap ilmunya. Sebut di antaranya, Prof Dr Alwi Shihab, MA (mantan menteri luar negeri RI), Prof. Dr. Sayyid Aqiel Al-Mahdaly (Rektor Universitas Kedah Malaysia), Prof Dr Nasaruddin Umar MA, (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), Prof Dr. Muhammadiyah Amin MA. (Rektor STAIN Gorontalo), dan lain-lain.
Sejumlah murid lainnya telah berkiprah di berbagai tempat yang tentunya masih menjaga tradisi keilmuan Gurutta. Bahkan salah seorang muridnya memberi gelar guru besar (professor) dan Doktor dianugerahkan tahun 2010 oleh rektor Universitas Insani Kedah Malaysia, Prof Dr Sayyid Aqiel al-Mahdaly yang juga muridnya dari MDIA Taqwa Makassar. Pemberian gelar DR. honoris causa (HC) tersebut merupakan penghargaan keilmuannya sekaligus penghormatan sang murid terhadap gurunya.
Dalam sambutan HAUL ke-10, Dr.Sayyid Muhammad Bin Muhammad Aqiel Al-Mahdaly Lc. MA. menyampaikan:
“Tidak di pungkiri lagi AG. hingga akhir hayat Beliau semangat dalam menyebarkan Ilmu kepada orang lain, maka atas dasar semangat inilah Beliau di karuniakan dari Universitas A-Azhar Assyarif melalui Univerisitas Insaniah Kedah Darul Aman Malaysia gelaran Professor dan Dr. kehormat, (sebelum Beliau wafat) yang mana gelaran ilmiah ini di tanda tangani oleh Ulama-Ulama Azhar, di antaranya Prof. Dr. Dato Dr. Sayyid Muhammad Aqiel Bin Ali Al-Mahdaly, yang merupakan Rektor Universitas Insaniah ketika itu, dan perlu di ketahui bahwa Universitas Insaniah ini adalah cabang dari Universitas Al-Azhar Assyarif di rantau Asia.”
Ulama kharismatik lulusan haramain mewariskan keilmuannya melalui pesantren yang dibinanya. Menelusuri jaringan keilmuan ulama di SULSEL melalui pesantren sangat penting membangun kesadaran keagamaan masyarakat. Hal lebih penting, justru karena masing-masing ulama besar di SULSEL memiliki pokok-pokok ajaran yang sama, mengusung ajaran Ahlussunnah waljam’ah sehingga hampir tidak terjadi benturan pemikiran.
Sementara AGH Muhammad Nur masih sempat berguru di Mekkah pada sejumlah ulama besar yang juga gurunya AGH Muhammad As’ad (Pendiri Pondok Pesantren As’adiyah), termasuk Syeikh K. H. Maimun Zubair di jawa. Syeikh Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki ketika berkunjung ke Makassar sangat dekat dan akrab dengan Allahu yarham, Allahu yarham memperkenalkan identitas Sayyid Muhammad Alwi kepada Habaib di Makassar, tanggal 13 Maret 1983 di kediaman Habib Abu Bakar Hasan Al-Aththas. Ulama besar K. H. Sahal Mahfudz ketika Muktamar NU di Makassar, pernah menginap semalam dirumah Allahu yarham, dan ulama dari luar negara pernah datang mengunjungi beliau untuk mengambil sanad ijazah hadis dan sanad barzanji.
Menelusuri hubungan keilmuan ulama-ulama SULSEL akan mempertemukan sanad-sanad ulama nusantara, hubungan guru murid yang berkesinambungan dengan pokok ajaran ASWAJA. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pemahaman dan pengalaman keagamaan masyarakat di SULSEL, masyarakat Indonesia pada umumnya. [Hardianto]