Mengapa Shalat Kita Tidak Pernah Khusyu’?

Perintah menunaikan shalat dalam al Quran memiliki beberapa diksi. Ada yang menggunakan kata “Qadha” dan ada juga yang menggunakan kata “Iqamah”. Keduanya jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia memiliki makna “melaksanakan”. Kedua kata tersebut dapat kita temukan dalam Surat An Nisa’ ayat 103:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Dalam Bahasa Arab, kosa kata yang maknanya mirip bukan berarti memiliki makna yang sama. Pada ayat di atas, kata shalat diawali dengan kata “qadha” dan “iqamah”. Kata qadha memiliki arti menuntaskan atau menyelesaikan sedangkan iqamah memiliki arti didirikan dan terpenuhi sempurna. Kata iqamah (mendirikan) disandingkan pada kata ad daar (rumah) apabila pembangunan rumah sudah sempurna secara keseluruhan. Bukan hanya dari segi bangunannya saja melainkan juga instalasi, sarana, ornament dan lain-lain. Begitu pun penyematan kata iqamah pada shalat dalam al Quran jika shalat yang didirikan sudah terpenuhi secara dzahiran (fisik) wa batinan (psikis). Maksudnya adalah shalat bukan hanya sebagai kegiatan jasmani belaka tetapi juga kegiatan ruhani. Sehingga apabila hanya dilakukan sebagai rutinitas sehari-hari tanpa mendalami hakikatnya, maka akan sia-sia shalatnya dan tidak berdampak pada apapun dalam diri hamba.
Analoginya, jika kita melihat sinetron yang tayang di televisi dan menggambarkan kejadian kebakaran, sebetulnya itu adalah api yang sama dengan yang kita lihat di dunia nyata. Tapi apakah pada waktu itu kita merasakan panasnya api tersebut di tempat kita menonton televisi? Tentu tidak. Itu yang disebut dengan shurah bi laa haqiqah (gambar yang tidak nyata). Begitu pula shalat yang hanya dilaksanakan secara dzahir dan shalat yang dilaksanakan dengan melibatkan batin. Secara kasat mata, keduanya sama-sama sedang menjalankan Rukun Islam yang kedua. Tapi mengapa shalat yang pertama tidak berbekas dalam perilaku kita?
Sebetulnya, ketika Allah Swt. Berfirman dalam al Quran bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, tentu sangatlah benar. Kepastian kalimat al Quran itu tidak mungkin ada margin of error nya. Tapi untuk mendapatkan intisari dari shalat, sangat mustahil jika mendirikannya hanya sebagai ritual belaka. Ketika kita dapat merasakan haqiqatus shalat, niscaya kita tidak akan tertarik untuk melakukan maksiat. Dan itu hanya terjadi apabila melaksankan shalat dengan khusyu’ secara dzahir dan batin. Sedangkan jika masih tertarik dengan yang haram, periksa kembali shalat kita dan benahi sampai benar-benar terpenuhi apa yang disebut adab shalat.
Bagaimana Cara Agar Shalat Menjadi Khusyu’?
Shalat merupakan ibadah yang membutuhkan kekhusyu’an karena uregensinya dalam berkomunikasi kepada Allah Swt. Tiap-tiap kalimat yang ada dalam shalat itu menjadi pintu masuknya muhadatsatu sirri ma’allah. Adapun khusyu’ pada level pemula itu seiringnya ucapan dan pikiran. Orang yang sudah khusyu’ shalat dengan batinnya akan mencapai maqam raf’ul hijab. Sehingga Allah Swt. akan menguraikan sendiri makna-makna lain dari bacaan-bacan shalat.
Ibnu ‘Ajib al Hasani mengatakan, mengapa orang shalat tidak bisa khusyu’? Karena banyaknya lintasan-lintasan batin selain yang diridhai oleh Allah Swt. Lalu mengapa banyak lintasan-lintasan batin? Karena ada nafsu yang hidup dan dipicu oleh bisikan syaitan sehingga bergejolaklah hati hamba tentang apapun yang berhubungan dengan keduniawian.
Ibnu ‘Ajib al Hasani juga menggambarkan nafsu seperti pohon, sifat buruk seperti buah-buah yang ranum sedangkan syaitan seperti burung. Keadaan khusyu’ yang hening tidak mungkin terjadi ketika ada buah yang ranum. Karena dengan sendirinya buah itu telah mengundang burung-burung untuk melintasi dan mematuknya. Maka sangat tidak mungkin pula kita menghendaki kekhusyu’an dalam shalat sedangkan masih ada sifat buruk di dalam batin. Oleh sebab itu, khusyu’ dapat dicapai apabila kita sudah mampu membersihkan sifat buruk. Karena semakin sedikit sifat buruk, semakin mudah bagi hamba untuk khusyu’.
Proses Menuju Khusyu’
Apakah khusyu’ itu selalu sama intensitasnya? Tidak. Allah Swt. tidak selalu memberikan kesadaran kehadiran ilahiyah yang sama dengan hamba-Nya karena ketika Allah Swt. membuka Hadarat Ilahiyahnya, maka hanya ada dua kemungkinan yang dialami hamba yaitu gila atau mati. Menjalankan shalat dengan khusyu’ dan menghadirkan Allah Swt. di dalamnya bukanlah perkara mudah dimana dalam shalat mata kita terbuka dan bacaannya selalu berubah. Sedangkan khusyu’ menuntut kita untuk fokus. Oleh sebab itu, memunculkan kekhusyu’an dan menghadirkan Allah Swt. itu perlu proses melalui mujahadah dan riyadhah dengan zikir. Dengan zikir, hati yang dipenuhi sifat buruk akan cepat menjadi bersih sebagaimana membersihkan karat pada baja dengan menggunakan pisau bukan dengan sabun. Adapun Imam ghazali mengibaratkan syaitan adalah anjing, nafsu adalah tulang dan daging sedangkan zikir adalah hardikan. Maka sekencang apapun kita berteriak jika tulang itu masih dibawa, maka anjing itu tidak akan pergi karena apa yang diinginkan masih kita pegang. Tapi jika kita membuang tulangnya, tanpa diusir pun anjing itu akan pergi.
Orang Thariqah, melatih kekhusyu’an dan menghilangkan sifat buruk dalam batin dengan zikir laa ilaaha illallah dimana pada waktu zikir, khususnya zikir sirri atau khafi, matanya terpejam, panca indera ditutup, batin fokus kepada Allah Swt. Sayangnya, lagi-lagi untuk fokus kepada Allah Swt. itu sangat sulit sedangkan dalam proses tersebut, hamba membutuhkan objek agar tetap fokus.
Imam Ghazali menjelaskan dalam Ihya Ulumiddin, jika seorang hamba sudah makrifat kepada Allah Swt., maka ia tidak memerlukan Rasulullah Saw. sebagai perantara. Karenanya, Junaid al Baghdadi mengatakan, “as shufi an takuuna ma’allah bila ‘alaqah”. Permasalahannya, kita belum bisa pada posisi tersebut sehingga masih membutuhkan orang yang pernah sampai pada Kehadirat Allah Swt. yang sempurna yaitu Rasulullah Saw. Tapi jika kita tidak bisa sampai untuk menghadirkan Rasulullah Saw., maka cukup membayangkan wajah guru mursyid. Karena jika tidak, ketika membaca laa ilaaha illallah, yang muncul dalam imajinasi adalah perkara buruk yang meramaikan batiniyahnya. Sebab itu, mursyid menganjurkan untuk menampakkan wajahnya sebagai bentuk kehati-hatian. Adapun posisi mursyid saat zikir sama halnya posisi imam dalam shalat. Sehingga sebelum berangkat menuju Allah Swt., ditetapkanlah imam ruhani yaitu mursyid yang kemudian mengajari cara menghadirkan Allah Swt.
Lantas, kapan kita masuk pada Kehadirat Allah Swt.? Yaitu ketika batin sudah bersih dari nafsu dan Allah Swt. menyingkap hijabnya sampai pada posisi al ma’rifah al ghaibiyah al ghairiyah biwujudil wahdaniyyah. Wallahu a’lam.