Memahami Konsep Martabat Tujuh dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Mursalah

Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby dikarang oleh Muhammad Ibnu Syekh Fadhlullah al-Burhanfuri Al-Hindi. Ia adalah seorang sufi dari Gujarat (w. 1620 M). Ajaran Martabat Tujuhnya berdasarkan atas paham dari Imam Muhiyiddin Ibn Arabi (w. 1240 M) dan Syekh Abdul Karim al-Jili (w. 1422 M). Ia sebagai pelopor Martabat Tujuh di Nusantara.

September 15, 2023
Memahami Konsep Martabat Tujuh dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Mursalah

Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby dikarang oleh Muhammad Ibnu Syekh Fadhlullah al-Burhanfuri Al-Hindi. Ia adalah seorang sufi dari Gujarat (w. 1620 M). Ajaran Martabat Tujuhnya berdasarkan atas paham dari Imam Muhiyiddin Ibn Arabi (w. 1240 M) dan Syekh Abdul Karim al-Jili (w. 1422 M). Ia sebagai pelopor Martabat Tujuh di Nusantara.

Ajaran Martabat Tujuh yang muncul dari Gujarat ternyata segera mempengaruhi perkembangan pemikiran mistik Islam di Aceh. Pada abad 17 ada empat orang tokoh pemikir sufi di Aceh mengembangkan ajaran Martabat Tujuh dari paham Syekh al-Burhanfuri yaitu Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (w. 1630 M), Abdul Rauf dari Singkel (1617-1690 M) dan Nuruddin Ar-Raniri.

Syekh Al-Burhanfuri menjelaskan bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut Martabat Tanzîh (lâ ta‘ayyun atau martabat tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut Martabat Tasybîh (ta‘ayyun atau terinderawi). Dalam hal ini Syekh al-Burhanfuri mengklasifikasikan martabat-martabat tersebut antara lain:

1. Martabat Ahadiyah

“Martabat lâ Ta’yun” atau “Martabat al-ilthlâq” atau “Martabat Adz-Dzat Al-Bakht (Martabat Dzat Yang Mutlak). Ini tidak bermakna pembatasan kemutlakan dan pemahaman meniadaan ta’yun (entitas yang ada) ada tetap di dalam martabat itu. Sebaliknya hal itu bermakna bahwa Al-Wujud di dalam martabat itu (martabat lâ ta’yun) suci dari yang ikutan-ikutan dan sifat-sifat, dan suci dari setiap ikatan sampai pada ikatan kemutlakan juga. Dan martabat ini dinamakan “Martabat Al-Ahadiyah”, yaitu Kunhu al-Haqq Subahanu wa Ta`ala, dan tidak ada martabat lain di atasnya, sebaliknya setiap martbat ada di bawahnya.

2. Martabat Wahdah

Martabat kedua, “Martabat At-Ta’yun al-Awwal” adalah ibarat dari Ilmu-Nya Allah Ta`ala bagi Dzat-Nya dan Sifat-Nya dan semua al-maujudât dalam sudut global dengan tanpa pembedaan sebagian atas sebagian yang lain. Dan martabat ini dinamakan “Martabat al-Wahdah” dan “Al-Haqiqah al-Muhammadiyah”

3. Martabat Wahidiyah

Martabat ketiga “Martabat At-Ta’yun Ats-Tsani” adalah ibarat dari Ilmu-Nya Allah Ta`ala kepada Dzat-Nya, sifat-Nya, dan semua al-maujudât dari sudut perincian dan pembedaan sebagiannya dari sebagian yang lain. Dan martabat ini disebut “Martabat Al-Wahidiyah” dan “Martabat Al-Haqiqah Al-Insaniyah.” Ketiga martabat ini (Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah) semuanya adalah ada dalam Ilmu Allah, belum dilahirkan dalam bentuk ciptaan, dan taqdîm dan ta’khîrnya (dalam melihat ini) adalah `aqlî, tidak pada masa (tidak dalam pengertian waktu).

4. Martabat `Âlamul Arwah

Martabat keempat adalah “Martabat `Âlamul Arwah”, ibarat dari sesuatu al-kauniyah (yang dijadikan Allah), yang mujarrod (tunggal), yang terbentang/simpel, yang tampak pada bagian-bagian dzawatya (dzat-dzat dari kauniyah) dan amtsal-nya. 

5. Matabat `Âlamul Mitsal

Martabat selanjutnya ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, halus, tidak lagi menerima pembagian dan pembedaan sebagian atas sebagian yang lain, tidak menerima pemecahan (al-kharq)

6. Martabat `Âlamul Ajsam

Martabat ini ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, tampak, menerima pembagian dan pembedaan (dengan yang lainnya).

7. Martabat al-Insan

Dan martabat ketujuh adalah martabat yang menghimpun keseluruhan bagi semua martabat yang disebutkan, berupa jismâniyah, nuraniyah, Wahdah, Wahidiyah, tajalli Ilahi yang yang akhir dan pakian-pakaian akhir (bagi tajalli Al-Haqq), yaitu al-Insan. Dan ketujuh martabat ini, yang paling utama adalah “Martabat li Zhuhûrin” (yang menyebabkan yang lain tampak), dan enam yang tersisa adalah martabat-martabat penampakan keseluruhannya. Martabat terakhir, yaitu martabat al-Insan (dapat terjadi) apabila seseorang mendaki dan tampak di dalam (penyaksiannya) martabat-martabat seluruhnya tersebut. Dan yang paling sempurna terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw. dan karena ini Nabi menjadi Khataman Nabiyyin.

Dan tidak boleh mengatakan pada “Martabat al-Ulûhiyah” (tiga martabat dalam Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah) sebagai martabat al-Kaun dan al-Khalq; demikian pula tidak diperbolehkan (menyebut) nama-nama martabat al-Kaun kepada “Martabat Uluhiyah”. Karena sesungguhnya Al-Wujud itu keduanya sempurna, salah satunya adalah disebut “Kamâlun Dzâtiyun” (sempurna Dzat-Nya) dan “Kamâlun Asmâ’iyun” (sempurna Asma-Nya).

Demikianlah pembahasan mengenai martabat tujuh yang perna berkembang di bumi Nusantara pada abad ke 16. Dan masuknya islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan oleh ajaran martabat tujuh ini yang dibawahkan oleh ulama-ulama sufi yang bernuansa tasawuf falsafi. Akan tetapi, seiring dengan masuknya kolonialisme Belanda ke Nusantara (Indonesia) dan Inggris ke Malaysia maka ajaran martabat tujuh mulai memudar dan akhirnya tergilas habis dengan berkembangnya tasawuf ‘amali ala Imam Al-Ghazali menitikberatkan kepada syariat. Sehingga oleh ulama-ulama syariat yang ada di berbagai pesantren Nusantara melarang untuk mengajarkan dan mengembangkan ajaran martabat tujuh ini. Namun demikian, ajaran martabat tujuh telah membawa sumbangsih terbesar dalam mengokohkan aqidah dan memperkuat tauhid masyarakat Islam di Nusantara ini

Penulis: Budi Handoyo
Editor: Khoirum Millatin