Memahami Hakikat Puasa, Sejak Nabi Adam as. Hingga Nabi Muhammad saw.

September 20, 2023
Memahami Hakikat Puasa, Sejak Nabi Adam as. Hingga Nabi Muhammad saw.

Puasa pada dasarnya sudah Allah wajibkan sejak zaman Nabi Adam as. Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Qs. Al-Baqarah ayat 183, perintah berpuasa telah ada jauh sebelum Nabi Muhammad saw. di utus sebagai rasul.

Dalam Kitab Bahjatul Anwar dijelaskan, kewajiban puasa bagi umat muslim sebanyak 30 hari itu merujuk pada kewajiban puasa atas Nabi Adam as. yang diperintahkan oleh Allah karena memakan buah khuldi, di mana buah tersebut masih berada di dalam perutnya sampai hari ke- 30.

Ketika Nabi Adam as. bertobat, Allah menyuruhnya agar berpuasa selama 30 hari 30 malam untuk menahan diri dari makan, minum, jimak dan tidur, yang menjadi penghalang antara hamba dengan Allah Swt. Namun, kewajiban ini berkurang kuantitasnya setelah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., di mana keberlakuan puasa hanya ada di siang hari dan diperbolehkan kembali untuk makan, minum dan jimak di malam hari.

Menjalani puasa pada dasarnya adalah melatih diri dari mengikuti hawa nafsu dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Itulah mengapa Allah menghadiahkan Ramadan sebagai waktu yang tepat untuk menjalani latihan tersebut. Kebolehan makan, minum dan lain-lain ketika berbuka puasa dimaksudan dalam batas wajar. Namun, latihan ini akan percuma jika hanya dilaksanakan di siang harinya saja sedangkan ketika malam datang, seseorang tetap mengikuti kesenangannya dengan mengenyangkan perutnya sendiri dan memperbanyak makanan lezat.

Apa yang orang tersebut lakukan sebetulnya masih mengikuti syahwat, padahal kebahagiaan berpuasa dan rahasianya adalah melemahkan keinginan-keinginan setan. Sedangkan ketika ia bisa mengkondisikan dirinya sendiri dari hal tersebut, maka ia akan masuk dalam sifat-sifat malaikat yang sebelumnya terhijab darinya.

Pada hakikatnya, Allah menjadikan puasa sebagai benteng bagi para kekasihnya dari godaan setan. Rasulullah saw., sendiri yang menjelaskan bahwa puasa adalah separuh dari kesabaran, karena di dalamnya seorang hamba diharuskan menahan nafsu dari segala hal-hal yang berbentuk duniawiyah. Selain itu, puasa juga melatih kejujuran seseorang untuk dirinya sendiri dan untuk Allah. Sebab, dalam berpuasa terdapat banyak rahasia yang orang lain tidak tahu kecuali hanya pelakunya dan Allah saja. Atas dasar itulah Allah mengapresiasi pahala puasa dengan tidak sama dengan pahala-pahala ibadah yang lainnya.

Dalam kitab Durrotun Nasihin dijelaskan alasan mengapa ibadah puasa lebih utama dari ibadah lainnya. Berbeda dengan shalat dan sedekah, di dalam puasa tidak ada potensi syirik dan riya’yang dapat menghalangi antara hamba dengan Tuhan-Nya. Allah berfirman dalam Hadis Qudsi,

 فالصوم لي وانا الذي اجزي به

“Puasa adalah milikku, dan aku sendiri yang akan membalasnya.”

Janji Allah yang akan membalas langsung pahala orang yang berpuasa menunjukkan jika Allah tidak ingin melibatkan siapapun dalam memenuhi hak hamba-Nya. Dalam Kitab Muhtashar ar-Raudhah dikatakan, bahwa pemberian pahala puasa berupa pertemuan dengan Allah, di mana Allah akan memandang dan berbicara secara langsung kepada hambanya tanpa perantara. Inilah yang dimaksud Allah membalasnya tanpa takaran. Karena pertemuan dengan Allah adalah puncak segala balasan. Hal ini senada dengan hadis Rasulullah yang artinya,

“Orang yang berpuasa itu memiliki dua kebahagiaan; kebahagiaan yang pertama yaitu ketika berbuka dan kebahagiaan kedua yaitu ketika bertemu Tuhannya.”

Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Kalimat ‘hal-hal yang membatalkan puasa ini’ rupanya memiliki hierarki yang berbeda pada setiap orang. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu puasanya orang awam (صوم العموم), hal-hal yang membatalkan puasa adalah makan, minum dan jimak.

Lain halnya dengan tingkatan kedua, yaitu puasanya orang khusus (صوم الخصوص). Pada tingkatan tersebut, hal-hal yang bisa membatalkan puasaya adalah yang berkaitan dengan inderawi, seperti melihat hal-hal yang buruk, mengucap perkataan yang buruk, mendengar kalimat yang buruk dan menggunakan anggota badan lainnya untuk melakukan kemaksiatan.

Sedangkan pada tingkatan tertinggi, yaitu puasanya orang yang teramat khusus (صوم الخصوص الخصوص), hal-hal yang membatalkan puasa adalah apapun yang berasal dari bisikan hati dan pikiran-pikiran yang bersifat duniawiyah dan menyebabkannya lalai dari Allah.

Semua larangan-larangan yang dapat membatalkan puasa itu tentu ada faedahnya jika benar-benar dijalankan. Karena ketika seseorang menahan dirinya dari hal-hal yang tidak bermanfaat, ia tidak akan menyibukkan hatinya dan tidak dilalaikan dari mengingat Allah.

Sebagaimana dijelaskan di awal, puasa sejatinya bukan hanya berlaku pada siang hari. Nabi Muhammad saw. sendiri sudah mewanti-wanti kita dalam hadis yang artinya,

“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apapun dari puasanya kecuali lapar dan haus.”

Karena kebanyakan orang pada hakikatnya menjalani puasa hanya ketika sedang berpuasa. Adapun ketika berbuka puasa, mereka berlaku tamak dengan memperbanyak makanan halal. Padahal, hal itu juga dapat mengundang kemurkaan Allah. Puasa diperuntukkan untuk memerangi hawa nafsu, lalu apa faedahnya ketika berbuka ia justru memenuhi syahwatnya dengan hal-hal yang sebelumnya dilarang meskipun itu halal. Maka, puasa yang tidak dilakukan secara totalitas, hasilnya pun akan setengah-setengah. Sikap seperti inilah yang menjauhkan kita dari tujuan puasa sebenarnya, yaitu menambah Khauf dan Raja’ kepada Allah agar menjadi orang-orang yang dekat dengan-Nya dan orang yang bertakwa.