Melihat Transformasi Sifat Allah dari Madzhahirul Jamal hingga Madzhahirul Jalal

Februari 22, 2024 - 11:52
Februari 22, 2024 - 13:21
 0
Melihat Transformasi Sifat Allah dari Madzhahirul Jamal hingga Madzhahirul Jalal

Allah memiliki banyak sifat di antaranya sifat Allah Al-Jamal (Yang Maha Indah) dan Al-Jalal (Yang Maha Agung). Keduanya Allah tampilkan pada periodesasi yang berbeda. Di Bulan Syaban, Allah menampakkan wujud-Nya dengan Madzhahirul Jamal. Sehingga berdampak pada banyaknya keberkahan yang diturunkan Allah di bumi.

Pada bulan tersebut, semua merasakan vibes yang menyenangkan. Allah senang, Malaikat-Nya senang, Rasul-Nya senang, dan semua makhluk-Nya juga ikut senang. Kesenangan ini salah satunya berupa ekspresi cinta kepada Rasulullah saw. Sebab itu, pada bulan ini pula Allah menurunkan Surat Al-Ahzab ayat 56 yang berbunyi:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya menerangkan ada tiga keutamaan yang terkandung dalam surat tersebut yang berkaitan dengan bulan Syaban. Pertama, Allah sendiri yang telah menurunkan rahmat dan ridla-Nya kepada Rasulullah saw dan memberi hormat kepadanya. Kedua, Allah memerintahkan langsung kepada malaikat-Nya untuk juga melakukan apa yang Allah lakukan, yaitu memberi hormat Rasulullah saw. Ketiga, Allah juga memerintahkan semua makhluk-Nya, termasuk nabi-nabi lain juga memberi hormat kepada Rasulullah saw. Maka, bulan ini adalah bulan yang paling pas untuk memperbanyak membaca shalawat.

Sementara itu, ketika Allah menampakkan wujud-Nya dengan Madzahirul Jalal, yang digambarkan dalam akhir Surat Al Baqarah,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

Pada saat itu, tidak ada satupun makhluk yang berani menghadap Allah kecuali Rasulullah saw. Di masa-masa ini pula Allah banyak menurunkan penyakit dan ujian. Namun, dalam kondisi tersebut, ulama sufi menekankan kepada kita untuk tetap memegang teguh pada dua hal; Tidak berburuk sangka kepada Allah dengan tetap mengakui qadla dan qadar-Nya serta menerima apapun yang sudah kita lakukan hari ini sebagai amal ibadah.

Adapun seorang murid yang bisa sampai pada maqam makrifatillah, ia akan ditampakkan di antara dua hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Qadir al Jilani. Ketika yang ditampakkan adalah Madzhahirul Jamal-Nya, maka efek batinnya orang itu akan selalu bahagia. Ia akan ditunjukkan dengan maqamnya, dipertemukan dengan Rasulullah saw. Batinnya seperti lapangan yang begitu luas (basth). Akibatnya, ia akan banyak tersenyum dan tertawa.

Sedangkan ketika yang ditampakkan adalah Madzahirul Jalal-Nya. maka efek batinnya orang itu akan merasa kecil, merasa hina, seolah-olah dalam perasaan batinnya, ia digenggam dan dicengkeram oleh kekuasaan Allah Swt. (Qabdh). Akibatnya, ia akan menangis terus-menerus.

Lalu sebagai orang awam, bagaimana seharusnya kita bersikap? Dua sifat Allah Swt. ini sebetulnya harus menjadi acuan kita dalam berinteraksi dengan orang lain sebagaimana cara mursyid ketika mengajar muridnya. Di mana dalam kondisi-kondisi santai, guru mursyid akan seperti orang biasa, termasuk sering guyon dengan murid-muridnya. Tapi ketika sedang mengajarkan perkara yang serius, guru mursyid pasti akan menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang pembimbing. Hal itu dilakukan agar marwahnya sebagai guru tetap terjaga di hadapan murid-muridnya.