Ma’rifat dan Cinta kepada Syaikh

1
PUNCAK perjalanan seorang murid dalam suluk thoriqoh ialah ma’rifat & cinta pada Guru Mursyidnya [معرفة ومحبة الشيخ]. Keadaan ruhani demikian merupakan tajalli: manifestasi sekaligus ekspresi dari pencapaian maqom ma’rifat & cinta seorang salik kepada ALLOH ‘azza wajalla [معرفة و محبة الله].
Tingkat dan kadar ma’rifat serta cinta murid kepada Syeikh Mursyidnya berbeda-beda, bertingkat-tingkat. Semua tergantung pada, pertama, rezeki batin masing-masing murid yang telah ditentukan-NYA memang berbeda-beda, kedua, ikhtiar ruhaniyah –amaliyah, riyadhoh, mujahadah– yang dilakukan murid yang beragam: ada sekedarnya, sungguh-sungguh dan ada yang totalitas.
Tingkat dan kadar ma’rifat serta cinta murid menentukan cara ia bersikap, memperlakukan, dan meletakkan kedudukan Syeikh Mursyid dalam kehidupannya.
Semakin tinggi tingkat dan kadar ma’rifat serta cintanya, maka semakin tinggi ia memandang kedudukan Syeikhnya, semakin cinta ia kepada Syeikhnya serta semakin penting peran Syeikh dalam kehidupannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat dan kadarnya, maka semakin biasa-biasa ia memandang kedudukan Syeikhnya, tak ada cinta di hatinya, dan tiada penting Syeikh dalam kehidupannya.
Secara ruhani, Kanjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam telah memberi ilustrasi bagaimanan sejatinya posisi Syeikh dalam tatanan kehidupan seorang Muslim. Di bawah ini beberapa di antara sabda-sabda suci beliau:
الشيخ فى قومه كا النبي فى امته
Al-Shaykh fi qawmihi ka al-nabiy fi ummatihi (Seorang Syeikh di tengah kaumnya seperti seorang Nabi di tengah umatnya).
الشيخ فى اهله كا النبي فى امته
Al-Shaykh fi ahlihi ka al-nabiy fi ummatihi (seorang Syeikh di tengah keluarganya seperti seorang Nabi di tengah umatnya)
الشيخ فى بيته كاالنبي فى امته
Al-Shaykh fi baitihi ka al-nabiy fi ummatihi (Seorang Syeikh di rumahnya seperti seorang Nabi di tengah umatnya) [Lihat al-Sakhawi, n.d.: 187].
Terakhir, ada hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam yang menggambarkan kedudukan Syeikh yang Alim ‘Ulama:
علماء امتي كالانبياء بني اسرائل
‘Ulama’ ummati ka al-anbiya’ bani isra’il (para ulama pada umatku seperti para Nabi kaum Bani Isra’il) [Lihat al-Halli, 1988: 38; al-Ihsa’i, 1403 H.: 77; al-Manawi, 1972: 504].

2
Ada banyak jalan untuk meraih kedudukan ma’rifat & cinta Syeikh Mursyid. Setelah mengambil haq Talqin Dzikir atau berba’iat kepada Mursyidnya, seorang murid mesti menempuh perjalanan mem-fana-kan segala perbuatan ibadah kepada Syeikh [فناء فى افعال الشيخ]. Yaitu, kesanggupan ruhani untuk mengamalkan hanya Amaliyah Syeikh Mursyid dan membuang secara berkala amaliyah lain yang bukan dan yang tidak ada dari Guru Mursyid.
Paling minimal dalam tahap ini, murid memprioritaskan untuk hanya menyantap seluruh Amaliyah Gurunya dulu saja. Jika ada waktu tersisa, disilakan mengamalkan yang sudah jadi kebiasaannya. Namun bila ada ‘tabrakan’ waktu pelaksanaan, murid yang telah menjalani laku فناء فى افعال mesti mendahulukan Amaliyah Gurunya. Amaliyah lain derajatnya hanya tabarukan saja.
Laku kesufian tahap ini sekaligus merupakan manifestasi sikap ruhani yang wajib dijalani seorang murid kepada Syeikh Mursyidnya, yaitu Robithoh [رابطة]. Yaitu, ketika hati murid slalu mengikatkan hatinya kepada Mursyidnya. Secara sederhana, robithoh dimengerti ‘ingat Guru Mursyid’. Ingat Guru bukan hanya mengingat wajahnya tapi mengingat seluruh ajaran yang jadi amalannya.
Ciri seorang murid mengingat ajaran amalan Guru Mursyidnya ia mengamalkan amalannya, melakukan perintahnya, mengerjakan apa yang biasa dikerjakannya. Sebaliknya tidak mengamalkan apa yang tidak diamalkannya, tidak melakukan yang tidak diperintahkannya, dan tidak mengerjakan yang tidak dikerjakannya.
Nah, setelah cukup sempurna menjalani tahap ini maka ia akan lebih mudah atau akan mendapatkan buah dari Amaliyahnya ke dalam perangai keseharian. Atau, boleh dikatakan, kualitas murid dalam tahap ini akan amat menentukan kualitas murdi dalam menjalani laku tahap selanjutnya yakni, ….
3
Tahap فناء في افعال الشيخ dalam perjalanan meraih keadaan ruhani Ma’rifat dan Cinta kepada Syeikh juga merupakan bagian dari manifestasi laku Shohbah [صخبة]. Di dalam Shohbah ada tiga laku kesufian yang mesti dijalani, yakni, berkumpul, bermujalasah bersama Syeikh [اجتماع], mendengar petuah, nasihat, irsyadat dari Syeikh [ استماع] dan puncaknya yakni ikut ucapan dan perbuatan Syeikhnya [اتباع].
Penting bagi seorang murid dalam fase فناء في افعال untuk mengetahui detail apa saja dan bagaimana Syeikhnya menunaikan Amaliyah Shufiyyah dalam kesehariannya –sebagai bagian ikhtiar Makrifat. Tidak cukup hanya membaca panduan buku Amaliyah tapi juga penting mengetahui bagaimana mempraktekannya melalui penjelasan maupun pelaksanaan saat-saat bersama Syeikhnya secara fisik –dari mulai cara thoharohnya, sholatnya, dzikirnya, khotamannya, pelaksanaan Manaqib dan sholat-sholat sunnahnya. Inilah fase صخبة الصغرى, belajar langsung dari the living book, kitab yang hidup.
Dengan sering bersama Syeikh, selain akan mendapat limpahan berkah dan karomah [فيضة], maka murid akan banyak pengetahuan tentang bagaimana detail Amaliyah Syeikhnya, demikian, ia bisa mengikuti Sunnah-sunnah Mardhiyah [سنن المرضية] Syeikhnya saat ia secara dhahir tak lagi bersama Syeikhnya. Jika murid slalu menyamakan frekuensi Amaliyahnya di mana pun dan kapan pun dengan Syeikhnya maka ia memasuki fase tertinggi cinta, yakni: ikut [اتباع]. Dengan ikut maka ia akan slalu ‘terbawa’. Fase ini sekaligus ia telah dan slalu dalam keadaan صخبة الكبرى kepada Syeikhnya.
Setiap apa yang dilakukan Syeikh itu dalil shohih bagi bagi murid dalam tata laksana peribadahan [الشيخ هو الدليل]. Mengapa? Karena apa yang dilakukan seorang Syeikh pasti segalanya semuanya dari gurunya dari gurunya dari gurunya dari gurunya hingga tersambung sanadnya kepada hadrot Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam. Seluruh perbuatannya adalah perbuatan seluruh اهل السلسلة yang puncaknya adalah Rosululloh Shollalohu ‘alihi wasallam.
Jadi ketaatan, ikutnya murid kepada Syeikhnya, merupakan perwujudan اتباع النبي صل الله عليه و سلم dan ini merupkaan sebentuk cinta kepada ALLOH [محبة الله] –sekaligus jalan meraih kasih sayang dan ampunan-NYA, berdasarkan firman ALLOH ‘azza wajalla.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Ali Imran : ayat 31)
قُلْ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْكَٰفِرِينَ
Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.(QS Ali Imran : ayat 32)
4
SHOHBAH merupakan elemen laku kesufian terpenting penting dalam suluk thoriqoh. Shohbah itu bukan sekedar frekuensi kebersamaan fisik murid dengan Syeikh Mursyid tapi terjalinnya relasi persahabatan seperti Kanjeng Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dengan para Sahabatnya [الشيخ فى قومه كا النبي فى امته].
Demikian harus terpenuhi syarat sebuah persahabatan. Hadrotus Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Qs menegaskan, Syarat persahabatan itu tidak ada perdebatan di sepanjang kebersamaan. Ikut, sabar, dan tidak bertanya apalagi mempertanyakan : شرط الصخبة ترك المخالفة.
Untuk mendapat ilustrasi Shohbah, beliau sering merujuk kepada kisah Nabi Musa AS yang diperintahkan Alloh untuk mencari dan berguru kepada Nabi Khidir AS yang tertuang di dalam al-Qur’an Surat al-Kahfi ayat 60 – 82.
Ketika akhirnya dipertemukan, Nabiyulloh Khidir diawal sudah menyampaikan syarat, tidak boleh bertanya –apalagi mempertanyakan. Sejak awal bahkan Nabi Khidir AS sudah membaca bahwa Nabi Musa tidak akan kuat, tidak akan bersabar menjalani kebersamaan dan ternyata benar.
Peristiwa yang slalu menjadi rujukan kaum Sufi-thoriqoh sekaligus ilustrasi tentang apa makna, peran, dan model pendidikan yang dilakukan Mursyid kepada murid-muridnya serta bagaimana sikap jiwa murid saat berguru kepada Guru Mursyid.
Dari kisahkan yang tertuang dalam Surat dan ayat-ayat tersebut, dapat diperoleh gambaran –sebagai ikhtiar kontekstualisasi al-Qur’an, bahwa:
- ALLOH di setiap masa slalu menunjuk hamba yang dikehendaki-NYA –sebagai sosok transformasi Nabi Khidir AS– untuk memiliki dan mengajarkan pengetahuan/informasi tentang rencana serta iradah-NYA terhadap suatu peristiwa –Ilmu Laduni– sebagai materi pendidikan untuk perbaikan kualitas hidup manusia di setiap masa. Tampil menjadi Guru yang mengurus dan membimbing ruh manusia-manusia.
- Alloh memberikan perintah kepada Musa-musa zaman now –konteks masa itu diwakili oleh Nabi Musa AS– untuk mencari, menemukan, dan meluangkan waktu untuk belajar ilmu-ilmu ALLOH kepada hamba-hampa pilihan-NYA yang ada di setiap masa. Yaitu, ilmu-ilmu yang tidak dianugerahkan kepada orang sekelas Nabi Musa AS sekalipun.
- Ketika bertemu dengan sosok tajalli Nabi Khidir AS maka siapapun mesti mengikuti prosedur peraturan dalam proses pembelajaran ilmu-ilmu ALLOH darinya. Yaitu, ikut, sabar dan tidak bertanya. Mumpung tidak mengerti, ikut saja! Karena segala ucapan dan perbuatan Guru Ma’rifat ini pasti mengandung hikmah dan pelajaran, sekaligus, merupakan petunjuk serta telah mendapat guidance dari ALLOH ‘azza wajalla. Itulah sikap jiwa yang mesti dimiliki seseorang ketika ketemu dan berguru kepada Guru Mursyidnya.
5
Kesediaan jiwa seorang murid untuk ikut Amaliyah [ فناء فى الافعال الشيخ] dan bershohbah bersama Mursyidnya maka keadaan demikian akan menariknya ke atas, naik ke jenjang fana dalam sifat-sifat Syeikhnya [ فناء فى الصفات او فى الاحوال الشيخ]. Yaitu, ketika amaliyah yang diamalkannya secara istiqomah berbuah muamalah yang berkualitas.
Amaliyah adalah ikhtiar ruhani membangun relasi vertikal dengan Khooliq [حبل من الله]. Sementara muamalah adalah ikhtiar membangun relasi horizontal dengan sesama makhluq-nya [حبل من الناس]. Rumus ilahiyah-nya ialah siapa yang relasi vertikalnya baik maka akan baik dan memperbaiki relasi horizontalnya.
Dengan ungkapan lain, barangsiapa berkualitas dalam amal ritual kesufiannya maka akan berkualitas amal aktual kehidupan sosialnya. Berkualitas amaliyahnya maka berkualitas akhlaq kesehariannya. Bahkan puncak yang dituju dari amal kesufian itu adalah akhlaqul karimah [اخلاق الكريمة]. Dalam bahasa TANBIH Syeikh Abdulloh Muabarok bin Nur Muhammad, tujuan tertinggi ajaran yang jadi amalan kesucian jiwa ialah BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA (Cageur Bageur) –dalam bahasa Jawa: waras-bergas.
Akhlaqul karimah pada saat yang sama menjadi prasyarat sekaligus penanda seseorang telah sampai dan bersama ALLOH [الواصل الى الله]. Hadrotus Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs menyampaikan,
لا يصل المخلوق الى الخالق الا بالاخلاق
Tidak akan sampai makhluq kepada khooliq kecuali dengan akhlaqnya. Dalam kalamnya yang lain, Pangersa Abah Aos menegaskan, sosok الواصل الى الله itu tandanya ialah ia yang akhlaq ucap dan perbuatannya telah, sedang dan slalu mencerminkan akhlak TANBIH sebagai 9 Pilar Peradaban Dunia.
Ini bersambung dengan perintah dari Nabi Muhammad ص م kepada umatnya agar berakhlak dengan akhlak dan sifat-sifat ALLOH.
…اتّصفوا بصفاة الله
…تخلّقوا باخلاق الله
Dan untuk mengetahui perwujudan akhlak paling sempurna ALLOH (tajalli) pada diri manusia ialah akhlaknya Nabi Muhammad ص م sendiri, seperti dilukiskan isteri tercinta Sayyidah Aisyah Ra, وكان خلقه القرئن. Dan keadaan akhlaq Nabi adalah semuanya segalanya selamanya al-Qur’an.
Statemen ini bukan hanya berlaku kepada Nabi Agung akhir zaman Ahli Silsilah ke-3 tapi juga berlaku pada para Aulia ALLOH yang ditunjuknya sebagai penerus sekaligus pewaris ajaran di setiap masa, termasuk masa sekarang ini.
MEREKA adalah sekaligus penjelmaan insan kamil yang hadir dan “diutus” di setiap masa. Merujuk kepada tafsir Syeikh Abdul Karim al Jilli dalam karyanya الانسان الكامل bahwa sosok insan kamil ini adalah the living Qur’an atau الكتاب. Kitab al Qur’an hidup, berjalan, sosok yang harus diikuti. Sosok bacaan dan tulisan –yang tiada keraguan di dalamnya [ذالك الكتاب لا ريب فيه]– untuk memandu perjalanan kehidupan manusia.
Ikutilah sang Insan Kamil, karena ikut adalah bukti nyata nan sempurna dari cinta. Cinta kepada-NYA, cinta pada Nabi-NYA, dan cinta pada seluruh kekasih-NYA dalam rantai spiritual خلفاء الراشدين. Berdasarkan,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 3:31). Sekian.