Kisah Ibrahim bin Adham yang Rela Meninggalkan Kekayaan Demi Kesufian
Ibrahim bin Adham bin Manshur (161 H/778 M) berasal dari Balkh. Ia merupakan putra dari seorang raja. Suatu hari ia keluar untuk berburu kelinci. Dalam perburuannya ia mendengar sebuah bisikan, “Hai Ibrahim, apakah untuk itu engkau diciptakan? Apakah dengan itu engkau diperintah?” Kemudian bisikan itu muncul kembali, “Tidak untuk itu engkau diciptakan, dan tidak pula untuk tindakan itu engkau diperintahkan.”
Ibrahim langsung turun dari kendaraanya. Ia kemudian menemui penggembala yang bekerja pada ayahnya untuk meminta baju wol dan dipakai. Sementara kuda dan apa yang dipakainya diberikan kepada penggembala itu. Ia pergi melintasi padang pasir hingga masuk ke Kota Mekkah. Di sana ia berguru pada Sufyan ats-Tsaury dan al-Fudhail bin ‘Iyadh. Akhirnya ia bermukim di Syam dan meninggal di sana.
Ibrahim makan dari hasil jerih payahnya sendiri, seperti bekerja sebagai tukang kebun dan lain-lain. Ia juga sering memanjatkan doa, “Ya Allah, pindahkanlah diriku dari kehinaan maksiat kepada-Mu menuju taat kepada-Mu.”
Suatu ketika ia pernah berkata kepada seseorang yang sedang thawaf, “Ketahuilah, anda tidak akan memperoleh derajat orang-orang shalih sampai anda melampaui enam langkah ini,
3. Anda menutup pintu istirahat dan membuka pintu ketekunan
6. Anda menutup pintu angan-angan dan membuka pintu persiapan kefakiran
Suatu hari Ibrahim sedang menjaga tanaman anggur. Lalu seorang tentara lewat dan meminta anggur tersebut, “Berikanlah kami anggur itu.” Ibrahim menjawab, “Pemiliknya tidak menyuruhku memberikan kepada anda.” Seketika itu pula tentara tersebut memukul Ibrahim dengan cemetinya. Namun demikian, Ibrahim justru menyodorkan kepalanya sembari berkata, “Pukullah kepala yang selalu maksiat kepada Allah Swt. ini.” Tentara itu pun lunglai dan pergi berlalu begitu saja.
Sahl bin Ibrahim berkata, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham, lantas aku sakit. Ia lalu memberikan nafkahnya untuk diriku. Suatu saat aku sangat menginginkan sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku meminta penjelasannya, ‘Hai Ibrahim, mana kudanya?’ Ia menjawab, ‘Saudaraku, engkau bisa naik di atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga pos ia menggendongku.”