Keharusan Ngaji Kepada Pewaris Nabi Menurut Syeikhul Azhar Imam Al-Syanwani

September 18, 2023 - 08:41
Keharusan Ngaji Kepada Pewaris Nabi Menurut Syeikhul Azhar Imam Al-Syanwani

Nama lengkapnya Muhammad bin Ali al-Syafi’i al-Syanwani. Lahir di Mesir di sebuah desa bernama Syanwan. Beliau belajar fikih madzhab Syafii kepada Syeikh Isa al-Barawi, pengarang Hasyiyah Minhaj, kemudian di al-Azhar dan Jami’ah Fakihani di Mesir.

Setelah Syeikh al-Azhar Imam al-Syarqawi yang merupakan guru al-Syanwani berpulang pada tahun 1227 H, al-Syanwani pergi meninggalkan kota Mesir karena enggan -merasa tidak pantas- diangkat menggantikan gurunya menjadi Syeikh al-Azhar (Guru Besar al-Azhar). Tetapi sebab beliau dianggap layak oleh otoritas kampus tertua di dunia itu akhirnya beliau dijemput oleh para ulama lalu didaulat menjadi Syaikh al-Azhar.

Imam al-Syanwani wafat tahun 1233 H dan dimakamkan di samping kampus al-Azhar. Imam al-Syanwani adalah seorang ulama besar bermadzhab Syafi’i di abad ke XIII. Beliau merupakan sosok alim yang produktif. Di antara karya-karyanya ialah Hasyiah al-Syanwani ala al-Mukhtasar Abi Jamrah dan Hasyiah Syarah Abd al-Salam.

Imam Abi Jamrah dalam Mukhtasharnya menyadur sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari tentang ilmu, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين وانما العلم بالتعلم

“Barang siapa yang Allah kehendaki baik, maka Allah akan memberi pemahaman (ilmu) agama kepadanya, dan sesungguhnya ilmu itu dengan mengaji.”

Al-Syanwani selaku komentator kemudian membedah hadis tersebut, ungkap beliau,

“Sabda Nabi –shallallah alaihi wa sallam– “al-ta’allum” artinya seseorang tersebut belajar dari orang lain, yakni kepada para arif (kaum cendikia). Bukan dengan membaca buku-buku (otodidak). Jelasnya, ilmu yang mu’tabar (dianggap benar) tidak diperoleh kecuali dari para Nabi dan pewarisnya dengan cara mengaji.”

Demikian itulah tradisi yang dilakukan oleh para al-salaf al-shalih dari para sahabat, tabi’in serta tabi’it tabi’in dan juga ulama di generasi berikutnya. Misalnya saja, Imam al-Syafi’i –rahimahullah-. Meski Imam al-Syafi’i diberkahi kecerdasan yang luar biasa dan memiliki ilmu pemberian langsung dari Allah (al-faydh al-ilâhiyy) -atau lazim disebut ilmu laduni- beliau tetap berguru kepada ulama.

Imam Malik mengisyaratkan adanya ilmu itu pada diri al-Syafi’i yang saat itu masih belia dengan berkata,

اني أرى ان الله قد ألقى على قلبك نورا فلا تطفئه بظلمة المعصية

“Sungguh aku melihat kalau Allah Swt. telah menaruh dalam hatimu cahaya (ilmu), maka jangan engkau padamkan cahaya itu dengan kemaksiatan.”

Hal ini juga dirasakan sendiri oleh Imam al-Syafi’i yang kemudian beliau adukan kepada gurunya, Imam Waki’,

شكوت الى وكيع سوء حفظي

فأرشدني الى ترك المعاصي

وأخبرني بأن العلم نور

ونور الله لا يهدى لعاصي

Ku adukan kepada Syeikh Waki’ buruknya hafalanku

Tinggalkan saja maksiat katanya

Ilmu itu cahaya

Nur Allah tak mau menyinari pendosa

Begitu halnya dengan para ulama lain seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Haramain, al-Ghazali, al-Nawawi, Jalaluddin al-Suyuthi, dan lainnya. Bahkan al-Suyuthi, sebagaimana hitungan Iyadh Khalid al-Thabba’, guru hadisnya saja berjumlah 195 ulama.

Dalam berguru pun tentu saja tidak boleh kepada sembarang orang sebab ilmu agama adalah ilmu warisan Nabi –shallallah alaihi wa sallam– yang diwahyukan oleh Sang Pemilik ilmu kepadanya. Ia bukan ilmu yang dihasilkan dari berpikir falsafi, pengalaman, atau eksperimen sebagaimana pengetahuan umum atau sains.

Al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengungkapkan perihal karakteristik ilmu agama ini,

العلم تركة وميراث نبوي

“Ilmu agama adalah peninggalan dan warisan Nabi”

Oleh sebab itu, ilmu agama harus diambil dari jalur pewarisnya. Siapa mereka? Tentu saja dalam hal ini adalah ulama yang memiliki “nasab” (sanad pengetahuan) yang bersambung kepada Rasulullah –shallallah ‘alaihi wa sallam– dan mewarisi perilaku mulia beliau.

Mengenai pentingnya memperhatikan transmisi pengetahuan ini Imam Ibn Sirin ra. memperingatkan,

إن هذا العلم دين فانظروا عن من تأخذون دينكم

“Sesungguhnya ilmu ini merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”.

Wallâhu a’lam bi al-shawâb

Oleh : Habibiy Hasbullah (Wakil Sekretaris LTN PCNU Brebes)