Karakteristik Akhlak dalam Islam

Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam –yang menjadi rujukan akhlak santri, kyai (guru) dan wali santri– memiliki cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Di antara ciri-ciri khas atau karakteristik akhlak Islam  yang membedakan dengan moral dan etika

Agustus 30, 2023 - 04:30
Karakteristik Akhlak dalam Islam

Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam –yang menjadi rujukan akhlak santri, kyai (guru) dan wali santri– memiliki cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Di antara ciri-ciri khas atau karakteristik akhlak Islam  yang membedakan dengan moral dan etika adalah sbb.:

  1. Bersumber dari wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah. Akhlak Islam bersumber dari wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki kebenaran mutlak dan berlaku sepanjang masa, dimana saja dan kapan saja. Hal ini berbeda dengan moral dan etika yang bersumber dari adat istiadat suatu masyarakat yang bersifat relatif dan boleh jadi berbeda standartnya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
  2. Berhubungan erat dengan aspek Aqidah dan Syari’ah. Akhlak dalam Islam tidak berdiri berdiri, tetapi berhubungan erat dengan aspek aqidah (keimanan) dan syari’ah (hukum-hukum Islam yang bersifat praktis, baik dalam bidang ibadah, mu’amalah, jinayah maupun lainnya).  
  3. Bersifat Universal. Akhlak dalam Islam, bersih dan bebas dari tendensi (kecenderungan) rasialisme. Apa yang berlaku bagi umat Islam berlaku pula bagi non muslim.Mencuri hukumnya haram, baik terhadap harta orang muslim maupun harta non muslim. Zina hukumnya haram, baik terhadap orang Islam maupun non muslim. Seorang muslim dan non muslim sama-sama berhak mendapatkan keadilan di depan pengadilan.
  4. Bersifat Komprehensif (menyeluruh). Akhlak dalam Islam mencakup akhlak terhadap diri sendiri; hubungan dengan Allah SWT; dengan sesama manusia dan alam lingkungan. Hal ini berbeda dengan moral dan etika yang hanya menekankan hubungan baik dengan sesama manusia dan lingkungannya. Dalam pandangan masyarakat Barat, mengkonsumsi minuman keras, berjudi dan berzina tidaklah melanggar moral dan etika, sepanjang hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan paksaan (perkosaan). Sebaliknya, dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut selain melanggar hukum (syari’ah), juga tidak sesuai bahkan bertentangan dengan  al-akhlak al-karimah.  
  5. Bersifat Tawazun (keseimbangan). Islam menghendaki agar umatnya tidak melampaui batas dalam segala hal. Keseimbangan merupakan sifat dasar ajaran Islam, baik keseimbangan antara jasmani dan rohani; keseimbangan antara hubungan dengan Allah (hablun min Allah) dan hubungan sesama manusia (hablun min al-nas); maupun keseimbangan antara urusan dunia dengan akherat. Keseimbangan mencakup hak dan kewajiban, tidak boleh memberikan kepada individu hak–hak yang berlebihan yang mengakibatkan kebebasan tanpa batas, juga tidak boleh memberikan kewajiban kepada individu yang berlebihan sehingga sangat memberatkan. Keseimbangan dan keserasian, merupakan sifat dasar akhlak dalam Islam.
  6. Sesuai dengan Fitrah. Islam datang dengan membawa ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, karena agama Islam datang dari Allah, sedangkan manusia dengan segala macam fitrahnya juga diciptakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sangat mustahil jika ajaran-ajaran agama Islam bertentangan dengan fitrah manusia. Islam mengakui eksistensi manusia apa adanya dengan segala dorongan kejiwaannya, kecenderungan fitrahnya; Islam menghaluskan fitrah dan memelihara kemuliaan manusia dengan hukum–hukum dan ketentuan-ketentuannya. Jika manusia melampui hukum–hukum dan ketentuan-ketentuan Allah SWT, maka dapat dipastikan mereka akan terjerumus ke dalam lembah yang hina. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Attin (QS. 95 : 45) : 

    “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik – baiknya kemudian Kami kembalikan dia ke tempat serendah – rendahnya”.

    Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu bersih dan cenderung kepada hal-hal yang baik, sebagaimana diungkapkan oleh hadits Nabi SAW:

    “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (Islam). Maka ibu-bapaknya lah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

    Dalam konteks inilah, ketika Rasulullah SAW ditanya mengenai apakah kebaikan itu ? Beliau menjawab sbb. :

    “Tanyakanlah kepada hatimu! Kebaikan adalah sesuatu yang menentramkan jiwa dan menenangkan hati, sedang dosa (keburukan) ialah sesuatu yang mengacaukan jiwa dan menimbulkan kebimbangan di dalam hati”.

    Kecenderungan manusia kepada kebaikan ini terbukti dengan adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban. Misalnya, semua peradaban manusia sejak zaman dahulu menganggap hubungan seks dengan sesama anggota keluarga (incest) adalah sesuatu yang buruk. Demikian pula mengenai kebohongan, kesombongan, sikap pengecut, iri hati, dan lain-lain. Sebaliknya, semua peradaban dunia memandang kejujuran,  sikap tawadlu’ (low profile), dan ksatria sebagai suatu sikap yang baik. Akan tetapi, ketika berhubungan dengan lingkungan, norma-norma moral kemudian berinteraksi dengan ruang dan waktunya masing-masing. Masyarakat di Eropa dewasa ini mungkin memandang bahwa hubungan seks di luar nikah adalah sesuatu yang lumrah adanya. Demikian pula hubungan antara orang tua dengan anak. Oleh sebab itu, moral atau akhlak harus memiliki suatu rujukan yang bersifat universal dan abadi. Rujukan yang universal dan abadi tersebut adalah agama Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat ar-Rum ayat 30 :

    “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

     Yang dimaksud Fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki naluri beragama, yaitu agama tauhid. Oleh karena itu, kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

    Dengan demikian, fungsi agama (Islam) dalam konteks ini adalah untuk memelihara fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT di dalam diri manusia supaya tidak menyimpang karena adanya interaksi dengan ruang dan waktu.
  7. Bersifat positif dan optimis. Islam mengajarkan, bahwa kehidupan adalah sebuah anugerah Allah yang harus diisi dengan amal shaleh. Oleh karena itu, manusia harus mengaktualisasikan dan memanfaatkan segala macam potensi yang dianugerahkan oleh Allah SWT untuk melakukan amal kebaikan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat luas, dengan penuh keyakinan dan optimisme, serta melawan pesimisme (keputusasaan), kemalasan dan segala bentuk penyebab kelemahan.Rasulullah SAW berpesan kepada umatnya agar bekerja keras untuk memakmurkan kehidupan sampai detik terakhir usia dunia. Beliau bersabda :  “Jika kiamat telah (hampir) terjadi sedangkan di tangan salah seorang di antara kamu sekalian ada anak pohon yang ingin ditanamnya, maka hendaklah dia menanamnya hingga  kiamat benar-benar terjadi”.

    Islam mencela sikap frustasi, pasif dan apatis. Oleh karena itu, kita harus tetap tegar dalam berjuang menghadapi kerusakan sosial, dekadansi moral dan segala bentuk ketidak adilan. Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk kepada kita, bila kita melihat kemungkaran kita wajib memberantasnya dengan tangan (kekuasaan). Bila tidak mampu dengan tangan maka dengan lisan, jika tidak mampu dengan lisan maka dengan hati, dan ini adalah selemah–lemahnya iman. Umat Islam pantang putus asa. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Yusuf QS. 12 : 87 :

    ”Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali umat kafir”.

Kedudukan Akhlak dalam Islam

Akhlak mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Bahkan tujuan utama terutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh manusia dan jin adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (al-akhlak al-karimah). Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih :

“Sesunguhnya aku diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

Bahkan, akhlak merupakan pondasi sekaligus puncak dari keimanan dan keislaman seseorang. Hadratus Syeh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menyatakan, bahwa pada hakikatnya, orang yang tidak beradab (berakhlak) adalah orang yang tidak beriman dan tidak bertegang teguh pada syari’at agama Islam. Beliau mengutip ucapan sebagian ulama sbb. :

“Sebagian ulama berkata; ‘Tauhid (mengesakan Allah SWT) mengharuskan adanya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka tidak ada tauhid baginya. Iman mengharuskan adanya syari’at. Barangsiapa tidak memiliki (mengamalkan) syari’at, maka tidak ada iman dan tauhid baginya. Syari’at mengharuskan adanya adab (akhlak). Oleh karena itu, barangsiapa tidak berhias diri dengan adab (akhlak), maka pada hakikatnya ia tidak mengamalkan syari’at, juga tidak memiliki iman dan tauhid”.[1]

Tujuan Mempelajari & Mengamalkan Ilmu Akhlak

Di antara tujuan mempelajari dan mengamalkan Ilmu Akhlak bagi para santri, kyai (guru) dan wali santri adalah sbb. :

  1. Agar para santri, kyai (guru) dan wali santri menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin). Berbeda dengan moral dan etika yang hanya mengatur hubungan sosial antar sesama manusia, akhlak dalam Islam, selain mengatur hubungan sosial (hablun min al-nas); juga mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (hablun min Allah), bahkan terhadap diri sendiri dan makhluk lain di sekelilingnya, termasuk flora dan fauna. Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin) yang selalu berusaha melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya, karena mereka yaqin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT melihat dan memperhatikan hati, ucapan dan amal perbuatan setiap manusia. Dengan menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (al-muttaqin), maka dapat dipastikan para santri, kyai (guru) dan wali santri akan meraih berbagai kemudahan hidup, termasuk dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan meraih rizki dari jalan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Thalaq ayat 2- 3:

    ”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”.

    Demikian juga difirmankan dalam surat al-Thalaq ayat 4 :

    ”Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
  2. Agar para santri, kyai (guru) dan wali santri dapat menjalani hidup dengan damai, tenang dan harmonis. Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak dalam Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri berhias diri dengan al-akhlak al-karimah sehingga memiliki hati yang suci dan jiwa yang bersih yang tercermin dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang terpuji. Kata-kata yang meluncur dari lidahnya selalu jujur dan benar serta memberikan kesejukan dan kedamaian bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mereka selalu berusaha menghindari kata-kata bohong, tidak benar dan kasar atau kata-kata yang menimbulkan ketersinggungan atau sakit hati orang lain. Mereka selalu berusaha untuk bersikap dan berprilaku yang baik dan terpuji. Mereka selalu berusaha mendamaikan orang-orang yang sedang bermusuhan, bukan sebaliknya mengompori orang-orang yang damai agar bermusuhan dengan menyebarkan fitnah dan berita hoax. Mereka saling menyayangi dan menghormati; saling tolong menolong dan bantu membantu sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dengan cara demikan, dapat dipastikan para santri, kyai (guru) dan wali santri dapat menjalani hidup di dalam pondok pesantren dengan damai, tenang dan harmonis, penuh dengan kasih sayang. Mereka saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, menahan emosi serta saling memaafkan jika terjadi kesalahan.
  3. Agar para santri meraih ilmu yang bermanfaat, para kyai (guru) meraih pahala yang mengalir dari ilmu yang ditransformasikan kepada para santrinya; dan para wali santri memiliki anak sholeh yang sealalu mendokan kepada kedua orang tuanya.  Dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu akhlak dalam Islam secara utuh dan sempurna, maka diharapkan para santri, kyai (guru) dan wali santri meneladani akhlak Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in dan para al-salaf al-shalih sehingga para santri akan meraih ilmu yang bermanfaat serta meraih sukses dalam melaksanakan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Jika para santri berhias diri dengan al-akhlak al-karimah maka kehadlirannya dapat diterima oleh masyarakat sekelilingnya. Jika masyarakat merasa senang dengan kehadliran santri, maka mereka bersedia mendengarkan dan mengamalkan ilmu yang diajarkan atau materi yang didakwahkan oleh santri tersebut, sehingga ilmunya bemanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Sebaliknya jika santri berakhlak tercela, maka masyarakat akan bersikap anti pati sehingga tidak akan mau mendengarkan apalagi mengamalkan materi dakawah yang disampaikan oleh santri tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Muhammad Syakir :

    ”Wahai anakku. Jika engkau tidak menghiasi ilmumu dengan akhlak yang mulia, maka ilmumu lebih berbahaya bagimu dibanding dengan kebodohanmu. Karena orang yang bodoh (jika berbuat salah) masih bisa dimaklumi karena kebodohannya. Akan tetapi orang yang pandai jika tidak berhias diri dengan akhlak yang terpuji, tidak akan dimaafkan”.      

[1] KH. Mohammad Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Maktab al-Turats al-Islami, Pondok Pesantren Tebuirenng Jombang, tt. h. 11.