Iman Dilisan Saja Tidak Cukup, Tapi Harus Menembus Rohani

Bawean, JATMAN Online – KH Aba Abror Al Muqaddam menjelaskan bahwa keimanan seseorang tidak cukup hanya dilisan saja, tetapi harus menembus rohani. Dalam perilaku kehidupan hendaknya melakukan perbuatan yang terpuji baik secara nampak ataupun tidak.
“Hendaknya kita berubah dari perilaku-perilaku yang dimurkai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik yang bersifat dzahir maupun yang bersifat batin. Di samping itu, hendaknya kita juga jangan merasa puas hanya dengan ungkapan iman saja. Artinya kita beriman dengan kalimat ‘Laila haillallah‘ hanya kandas di tataran lisan saja, tetapi hendaknya menembus pada rasa rohani kita”, kata Gus Abror, sapaan akrabnya, dilansir dari NU Online JATIM.
Berkaitan dengan kehidupan di dunia ini, Allah menciptakan kita di dunia sebagai tempat laluan bukan sebagai tempat tujuan ‘Addunya darul mamar walaisa darul makar‘. Hal ini disampaikan dalam kajiannya oleh KH Aba Abror Al Muqaddam, pemilik ijazah kitab Fathurrabbani yang diijazahkan langsung oleh Prof. Dr. Syekh Muhammad Fadil Al Jaelani, cucu Syekh Abdul Qadir Al Jaelani.
Kitab Fathurrabbani merupakan kitab karya Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, kajian tersebut digelar setiap bulan oleh Pengurus Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) Bawean kali ini bertempat di rumah bapak Amyadi, Mombul, Kecamatan Tambak, Bawean, Senin, (07/02/) malam.
Pengurus JATMAN Bawean Gus Abror, menjelaskan dalam melaksanakan ibadah harus berlandaskan kepada aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan ketentuan syariat yang ada. Semisal dalam melakukan shalat niatnya sudah benar, tapi tidak memenuhi tuntunan syariat. Hal ini juga tidak bisa diterima ibadahnya. Seperti contoh melaksanakan shalat sebelum waktunya atau tidak menghadap kiblat dan atau tidak menutup aurat.
“Maka walaupun aqidahnya sudah benar, niatnya sudah karena Allah, tapi tidak mengikuti syariat maka juga tidak bisa diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala “, ujarnya.
Kemudian, lanjut Gus Abror, menjauhi larangan-larangan. Ini juga harus ditambahkan, jadi jika salah satunya ada yang tumbang dan ada yang kurang, maka semuanya ikut cacat.
Ia juga menerangkan, dalam kajian kitab Fathurrabbani, hasil tahqiq Syekh Muhammad Fadil Al Jaelani, halaman 62, 63 dan 64, iman itu membutuhkan bukti, karena kalau mengungkapkan ‘La ilaha illallah‘ hanya dengan lisan, itu ibaratnya hanya sebagai klaim saja. Kalau hanya ungkapan semua orang mudah mengungkapkannya. Akan tetapi yang namanya ungkapan itu mudah sekali maka itu perlu pembuktian.
“Pembuktian tersebut bisa dilakukan diantaranya: menjauhi larangan-larangan, sabar dengan ujian-ujian yang diberikan oleh Allah. Yang namanya cinta maka dia harus sabar menghadapi ujian dari kekasihnya. Kemudian berserah diri dengan ketentuan Allah, amal tersebut harus disertai dengan ikhlas, dan harus adanya kesolehan sosial dalam hidup kita”, tutur Gus Abror, lulusan Al-Azhar ini.
Selagi diberi kemampuan oleh Allah, hendaknya menjadi orang yang gemar berbagi, besyukur, dan mencintai sesama tanpa memandang statusnya.
“Seperti contoh Nabi Ibrahim, ditegur oleh Allah hanya karena gara-gara menanyakan agamanya terlebih dulu kepada orang atheis yang hendak bertamu, sehingga orang yang bertamu itu tidak jadi. Maka Allah menegurnya, “wahai Ibrahim, saya memberi makan dia puluhan tahun tidak pernah menanyakan agamanya, sedangkan kamu hanya sekali saja sudah dipertanyakan agamanya”, ungkapnya.