Habib Segaf Baharun: Pemahaman Tasawuf Akhlaqi dalam Perspektif Thariqah Ali Ba'lawi
Penulis adalah Rektor Institut Agama Islam Dalwa

Padatnya kehidupan duniawi, kerasnya, kekejamannya, memiliki dampak negatif pada masyarakat. Sedangkan setiap individu memerlukan introspeksi yang cermat untuk mencapai tujuan yang menciptakan manusia, yaitu mengenal kebenaran Yang Maha Kuasa sebagai pintu masuk ibadah yang benar, seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya dalam Surat Az-Zariyat ayat 56,
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ibadah digunakan sebagai sarana untuk mencapai pemahaman, dan ibadah adalah bentuk pengabdian yang paling sempurna karena pengabdian hanya dapat dicapai oleh mereka yang memiliki kesadaran akan pemberian Tuhan.
Pemahaman tentang Ilahi adalah kewajiban utama bagi manusia, dan ini adalah asas dasar dalam ilmu Tauhid yang diterima. Seseorang terus naik tingkatnya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya sampai ia mencapai pemahaman tentang Tauhid dan pengetahuan yang dicari untuk mencapai kebahagiaan. Terutama ketika pemahaman itu berasal dari penafsiran firman-Nya,
“Hanya untuk beribadah kepada-Ku.”
Artinya, untuk mengenal-Nya atau menjadi hamba-Nya dengan khusus, seseorang tidak bisa menjadi hamba sampai ia mengenal Tuhannya sebagai Tuhan dan dirinya sebagai hamba. Seperti yang dikatakan, 'Barangsiapa yang mengenal dirinya, dia telah mengenal Tuhannya.' Inilah tujuan utama di balik misi para Nabi dan Rasul, untuk memberikan petunjuk kepada manusia dalam hal ini melalui pengiriman wahyu dari langit.
Ada empat tahap penting yang diperlukan seseorang sebagai pembimbing dalam perjalanan hidupnya di dunia. Pertama adalah Islam dan Iman. Kedua adalah pemahaman dasar dalam prinsip-prinsip dan cabang-cabang ilmu. Ketiga adalah perjalanan menuju Ihsan, yang melibatkan perpindahan dari pemahaman yang terlihat ke pemahaman yang lebih dalam, dari pengetahuan ke kesadaran. Keempat adalah pemahaman realitas dan pengamatan atas detail dan hal-hal halus.
Adapun yang kita bahas sekarang adalah tahapan ketiga dan keempat, dan tampaknya tasawuf memiliki lebih banyak dimensi daripada Ihsan menuju makrifat.
Al-Ghazali telah menggolongkan tasawuf atau ilmu rahasia sebagai salah satu ilmu yang harus dipelajari, berdasarkan pernyataan Nabi Saw, 'Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.' Ilmu rahasia adalah pemahaman tentang kewajiban-kewajiban spiritual, seperti keadaan hati yang mulia seperti kesabaran, rasa syukur, zuhud dan pengakuan nikmat dari Allah Ta'ala dalam segala situasi, serta hal-hal yang harus dihindari seperti rasa takut akan kemiskinan, rasa tidak puas dengan takdir, dan hal-hal sejenisnya.
Hakikat Tasawuf
Definisi-definisi mengenai tasawuf telah mencapai lebih dari seribu definisi. Syekh al-Islam Zakariya al-Ansari dalam catatan pada Risalah al-Qushayriyyah mengatakan, “Tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk memahami keadaan-keadaan pemurnian jiwa, penyucian akhlak dan membangun aspek lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan kekal.”
Imam al-Junaid menyatakan, “Tasawuf adalah menggunakan segala sesuatu sesuai dengan Sunnah dan meninggalkan semua yang berhubungan dengan dunia.”
Imam Abu al-Hasan al-Shadzili menggambarkan tasawuf sebagai latihan jiwa untuk beribadah dan tunduk pada peraturan Tuhan.
Salah satu fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kita saat ini adalah kesalahan dalam pemahaman terhadap sufisme itu sendiri atau dalam perlakuannya. Banyak dari mereka yang terus menerus beribadah dengan zikir sepanjang waktu, tenggelam dalam membaca bacaan dan wirid mereka, sementara mereka meninggalkan kewajiban ibadah seperti shalat dan lainnya. Dari mereka tercium bau sombong dan pandangan yang merasa puas dengan diri sendiri dan meremehkan orang lain, bahkan mereka telah mencapai tingkat berani mengklaim pengetahuan tentang Allah dan mencapai-Nya. Keadaan ini tidak mencerminkan inti dari sufisme, kecuali dalam seratus delapan puluh derajat yang salah.
Ini dalam pandangan penulis yang kurang berpengalaman, disebabkan oleh penarikan mereka dari ilmu dan konsekuensinya, seperti keyakinan mereka bahwa ibadah hanya menjadi kewajiban bagi seorang hamba jika ia belum yakin, merujuk pada firman-Nya pada Surat Al-Hijr ayat 99 yang artinya,
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepada kamu keyakinan."
Dan pemahaman mereka yang kurang dalam terhadap ucapan beberapa tokoh sufi, "Siapa yang hanya mengenal Tuhannya, maka kewajiban tidak lagi berlaku baginya," dengan arti bahwa pekerjaan ibadah tidak lagi diperlukan, hanya pengetahuan palsu itu sudah cukup. Lihatlah sejauh mana kebodohan dan kedominan hawa nafsu memengaruhi seseorang selama dia tidak mendapat bimbingan dari Allah Yang Maha Kuasa.
Tidak kah ia mengetahui, atau setidaknya telah mencapai pemahaman itu, setelah melewati seluruh hidup Nabi, yang merupakan teladan terbaik bagi umat manusia? Dan apa yang dia wariskan kepada saudara-saudaranya sebagai penyelesaian akhir dari hidup orang yang paling baik? Apakah ia juga tidak mengetahui perkataan Imam Malik rahimahullah yang berbunyi,
"Siapa yang meraih ilmu tanpa praktik sufi, maka ia telah menjadi murtad, dan siapa yang berpraktik sufi tanpa ilmu, maka ia telah menjadi fasik, dan siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai pemahaman sejati."
Dari apa yang telah disebutkan, jelas bahwa sufisme yang benar dan cara yang benar tidak boleh terpisah dari hukum syariah, dan mengamalkan syariah tidak boleh terpisah dari ilmu. Membaca al-Qur'an, berzikir dan berwirid adalah hal yang diperintahkan dan diinginkan, tetapi mereka hanya bermanfaat jika diiringi dengan amalan syariah yang benar, dengan berpegang pada Kitab dan Sunnah serta mengikuti para leluhur yang shaleh, sebagaimana dikatakan oleh Syekh al-Islam Abdullah al-Haddad,
"Pegang erat Kitabullah dan ikuti Sunnah-Nya, dan ikuti jejak leluhurmu yang benar.”
Pemahaman Thariqah Alawiyyah secara Mendalam
Thariqah Alawiyyah adalah pandangan yang mendalam. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dasar pengetahuan ini adalah Al-Qur'an dan Sunnah, sumber pengetahuan ruhani dan hukum ilahi. Oleh karena itu, semua yang terjadi di luar batas ini tidak termasuk dalam tasawuf. Dalam konteks ini, penulis menemukan solusi yang sesuai yang menyediakan pengobatan bagi mereka yang menyebutkan cara Imam Muhammad bin Ali Ba'alawi.
Penting untuk dicatat bahwa selain berbagai jalan sufi yang ada di Indonesia, ada juga Thariqah Alawiyyah yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba'alawi. Imam ini memiliki kedudukan yang sangat dihormati dalam memperkaya wawasan pendidikan di seluruh wilayah Yaman dan menyebar hingga ke pelosok Indonesia dan wilayah Afrika. Ini semua berkat upaya besar yang diberikan oleh para pengikutnya dan orang-orang yang setia pada pandangan tasawuf ini, yang kemudian dikenal sebagai Madrasah Hadhramiyyah.
Selain itu, Thariqah Alawiyyah dikenal dengan sifat keterbukaannya, terutama karena berusaha untuk membersihkan ajaran ini dari segala sesuatu yang tidak perlu, seperti yang dijelaskan dalam biografi Imam besar dan doktrinnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hambatan yang harus diatasi dalam mengikuti jalan ini, karena jika lima dasar terpenuhi, maka seseorang secara otomatis akan menjadi seorang pengikut.
Setelah masa fikih yang dianggap sebagai pendiri sejati aliran ini, Thariqah Alawiyah berkembang mengikuti pendekatan dan ajarannya. Namun, karena aliran ini adalah tentang pemahaman yang mendalam, rasa, dan rahasia, para pengikutnya kemudian lebih cenderung untuk menjalani kehidupan yang lebih tersembunyi dan kurang menekankan penulisan karya-karya tertulis.
Generasi seperti ini terus berlangsung hingga masa Al-`Aydrūs (864 H) dan saudaranya As-Syekh 'Ali (892 H). Mereka memiliki pepatah yang mengatakan "Talaif al-Rijāl Khayr min Talaif al-Kutub," yang berarti bahwa para pria sufi itu lebih unggul dalam perbuatan daripada menulis buku, karena pada saat itu kebutuhan akan penulisan buku tidak begitu mendesak.
Namun, seiring berkembangnya jaringan dan kelompok-kelompok yang berbeda dalam aliran ini, ada kebutuhan mendesak untuk mendokumentasikan ajaran mereka dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, pada tahap berikutnya, karya-karya tertulis mulai muncul untuk menjelaskan dan menyusun ajaran-ajaran ini lebih rinci.
Yang penting di sini adalah fokus pada hal mendasar, yaitu Tasawuf Akhlaqi yang tercermin dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad sebagai tokoh yang berkontribusi dalam menghidupkan dan memperbaharui ajaran ini. Sebagai contoh, dalam kitabnya yang berjudul "Risālah al-Mu'āwanah," ia menyajikan bab-bab yang memandu para pencari kebenaran untuk menjalani kehidupan praktis sesuai dengan ajaran Islam, sehingga mereka tidak menyimpang dari jalan yang benar sesuai dengan syariah Islam.
Dalam kitabnya yang berjudul "Adab Suluk al-Murid," ada hal yang perlu ditekankan oleh murid, yaitu sifat jujur. Kita bisa memahami bagaimana seorang individu tumbuh dan berkembang menuju kejujuran dalam perjalanan kehidupannya. Kejujuran ini lebih berharga daripada ribuan kehormatan dan tidak dapat diganggu gugat oleh godaan orang-orang yang mencari mukjizat atau kehormatan. Dalam pesan ini, terdapat panduan yang jelas mengenai aturan-aturan yang harus dipegang oleh seorang guru dan sifat-sifat baik yang harus dimiliki oleh setiap murid.
Terlepas dari apa yang telah ditulis dalam nasihat agama yang dikatakan sebagai ringkasan dalam mempertahankan ilmu-ilmu agama, Imam Haddad juga membimbing kita untuk mengikuti jalan Ahli Surga, seperti yang disebutkan dalam kitab "Tatsbit al-Fu'ad" karya Al-Husawi, yang mengumpulkan ucapan para Imam.
Hampir tidak mungkin anda menemukan penjelasan yang rumit tentang thariqah ini, yang menuntun kita untuk menghadiri pertemuan antara hukum syariah, thariqah, dan hakikat. Imam Abdullah bin Abi Bakr al-'Idrus berkata dalam kitabnya "Al-Kibrith al-Ahmar dan Al-Iksir al-Akbar" yang juga disebut dengan "Ad-Dur dan Al-Jauhar" dalam (bab) tentang pemahaman perilaku berdasarkan keadaan hati dan pemahaman tentang thariqah, yang terdiri dari tiga bagian: syariah, thariqah, dan hakikat. Syariah layaknya kapal, thariqah bagaikan lautan, dan hakikat adalah mutiara. Jika seseorang ingin mencapai mutiara, ia harus menaiki kapal, kemudian berlayar di lautan, dan akhirnya sampai pada mutiara. Siapa yang meninggalkan prosedur ini, maka ia tidak akan pernah mencapai mutiara.
Dalam buku "Al-Manhaj As-Sawi," penjelasan dasar thariqah As-Sadat Ali Ba’lawi mencakup pencari pemahaman tentang ciri-ciri utamanya, bahkan tanda-tandanya. Karena dalam isi buku ini, terdapat ringkasan dari apa yang telah diuraikan oleh para pendahulu dan diperbaiki oleh para penerus dalam mengenai petunjuk thariqah ini, disertai dengan penjelasan yang memadai.
Berikut adalah beberapa kutipan yang penulis anggap penting dalam memahami metode ini dengan kata-kata yang ringan, mengutip dari Imam Abdullah bin Hasan bin Tahir,
"Ini adalah ilmu, amal, dan penyucian hati dari kejelekan kelalaian, dan perbaikan dengan akhlak mulia serta sifat yang baik. Ini juga melibatkan penghabisan waktu dalam berbagai bentuk ibadah dan amal saleh yang abadi, perbaikan niat, bersama orang-orang baik, menahan diri dari orang-orang jahat, menjauhi kelambatan, keragu-raguan, dan menghindari keramaian dan orang-orang yang rendah serta pengakuan dan keadilan dengan sifat-sifat terpuji bersama dengan jiwa yang kokoh, tekad yang tinggi, pertimbangan yang bijak, tawakal yang sempurna, dan meninggalkan hal-hal yang biasa serta perhatian pada hal-hal yang akan datang."
Dan siapa pun yang membaca kitab "Risālah al-Mu'āwanah,", meskipun hanya sekilas, ia akan menemukan panduannya dalam menggambarkan peta amal-amal yang baik, dimulai dari langkah-langkah memperkuat iman hingga akhirnya mencapai kebijakan hati dan menjauhkan diri dari jebakan kebanggaan dan kepura-puraan yang dapat menyebabkan orang yang taat kepada Allah menjadi sia-sia amalnya tanpa ada pahalanya.
Selain itu, ada panduan-panduan penting bahkan dalam memilih beberapa buku untuk dibaca, dengan tujuan agar murid pemula tidak terjatuh ke dalam jurang pemikiran sesat karena kurangnya kesiapan mentalnya untuk menyelami karya-karya yang membawa riset-riset berat di dalamnya.
Contoh yang diberikan oleh Imam Al-Haddad dalam salah satu bab Risalah ini adalah ajakan untuk menjaga Sunnah Nabi,
"Dan wajib bagimu untuk memelihara tata krama Sunnah Nabi, baik secara lahir maupun batin, dalam kebiasaan dan ibadah, yang akan melengkapi perjalananmu dan memungkinkanmu mengikuti jejak Rasulullah, utusan kasih sayang dan Nabi petunjuk. Jika engkau berharap menjadi dari golongan orang-orang yang saleh, janganlah terlibat dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan Sunnah, baik dalam kebiasaan maupun dalam ibadah, sehingga engkau dapat mencari dan memeriksa apakah Rasulullah atau salah satu dari para sahabat dan imam telah melibatkan diri dalam hal tersebut."
Secara umum, gambaran Tasawuf Akhlaqi yang kami lihat melalui membaca karya-karya para sufi dari keluarga Ali Ba’lawi sangat jelas. Setiap murid yang menempuh jalan tasawuf dan beribadah mengarahkan diri untuk mengikuti jejak leluhur kita yang saleh, yang telah mengukir garis-garis besar panduan dengan petunjuk kenabian. Tidak mengherankan bahwa dakwah Islam tersebar di seluruh dunia melalui tokoh-tokoh tasawuf ini dengan jalan yang benar dan telah membuka hati dan menghidupkan jiwa.
Kembali ke awal, bila anda memeriksa konsep "tazkiyah (menyucikan jiwa)” yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Quran, sesungguhnya hal itu memiliki makna Tasawuf Akhlaqi yang sama, dan kebutuhan manusia untuk tazkiyah sangat mendesak, terutama di tengah-tengah tantangan dan godaan yang menyerang manusia dalam kehidupan ini. Namun, setiap muslim yang mengendalikan akal dan pengajaran akan dapat menyempurnakan dirinya sendiri, mengendalikan kemarahan dan nafsunya, sehingga mencapai martabat manusia yang disebutkan oleh Allah dalam berbagai ayat. Sebagai hasilnya, segala rintangan dan masalah akan teratasi melalui pemahaman makna-makna tazkiyah yang tinggi.
Terakhir, penulis ingin menekankan betapa pentingnya tugas dakwah ini dan bahwa tugas ini ada pada pundak para ulama yang merupakan pewaris para nabi. Mereka memanggil umat kepada jalan Allah, agama-Nya, dan ketaatan-Nya dengan kata-kata dan tindakan mereka, dengan penuh kebijaksanaan dan tekun, mencari keridlaan-Nya, merasa belas kasihan terhadap hamba-Nya, berharap akan pahala-Nya, dan mengikuti contoh Rasul-Nya. Orang yang menahan doa kepada Allah dan dakwah-Nya, padahal dia memiliki pengetahuan tentangnya, akan jatuh di bawah ancaman serius yang dijelaskan dalam firman Allah yang menyebutkan kutukan bagi mereka yang menyembunyikan bukti-bukti dan petunjuk yang telah diungkapkan dalam kitab-Nya untuk manusia. Itu adalah ancaman yang keras dan siksaan yang pedih, dan kemurkaan Allah adalah cukup untuk menjatuhkan hukuman yang adil. Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Kitab, mereka itulah yang dilaknati oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk." (Qs. Al-Baqarah: 159)
Tulisan merupakan makalah dari Habib Segaf Baharun yang dipresentasikan dalam kegiatan World Sufi Assembly di Pekalongan, 2023