Dialog Awal Tahun 2023: Keberagaman atau Keseragaman

Setiap akhir tahun, fenomena isu-isu keagamaan dan keberagamaan senantiasa hadir menjadi trending topik di media, khususnya media sosial. Seolah mengasah sikap beberagamaan, wacana yang hadir meskipun sudah lama menjadi perbincangan para alim ulama, namun seperti sebuah musim, akan hadir membawa nuansa tersendiri. Suasana tersebut ada yang menyikapi secara serius, santai atau bahkan tidak peduli. Bagaimana kita seharusnya mengambil sikap?
Hari Ahad, 01 Januari 2023 di Pusat Zawiyah Majelis Ikhwan Tarekat Al-Muhammadiyah menginisiasi dialog awal tahun. Telah hadir berbagai tokoh ulama dan pakar Islam menggali kembali khazanah Islam dan kebangsaan.
Mengawali dialog, Dr. Firdaus Muhammad, M. Ag. (Dekan Fakultas Dakwah UIN Alauddin Makassar) selaku moderator mengutarakan bahwa dalam dunia tarekat, diskusi sedikit tidak lazim, mengingat pentingnya pencerahan umat terkait wacana yang berkembang, jadi perlu duduk bersama ulama menemukan pencerahan. Suasana pengajian tarekat berbeda dengan dialog ilmiah, buktinya acara diawali dengan pembacaan Asma Al-Husna, Salawat Tariqiyah dan Zikir Kanzus Sa’adah. Berbagai problem umat saat ini mesti mendapat solusi. Sama halnya dengan penghujung atau akhir tahun, sering muncul polemik musiman ditengah umat tentang ucapan “Selamat…”
Pembicara pertama; ketua Tanfiziyah NU Makassar Dr. KH. Kaswad Sartono, M.A. menguraikan argumen NU memberikan ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Menurutnya ucapan selamat bagian dari muamalah, bukan wilayah ibadah dan aqidah. Ucapan selamat ini adalah sesuatu yang biasa, misalnya ucapan ta’ziyah bagi yang ditimpa kesedihan dan tahniah bagi yang memeroleh kebahagiaan. Terdapat ayat yang memerintahkan memperkut ukhuwah, Qs. al-Hujurat ayat 13 mengingatkan pentingnya membangun keberagaman sebagai bentuk ukhuwah. Kebolehan memberikan ucapan selamat ada banyak ulama yang membolehkan diantaranya: Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Wahbah Zuhaili, Habib Quraish Sihab, MUI Pusat tidak melarang, dan bagi Kemenag RI sejalan dengan penguatan Moderasi Beragama. Di akhir penjelasannya ditegaskan bahwa walaupun dengan bersikap toleransi, seorang muslim tetap menjaga identitas ketika berada dalam wilayah ibadah aqidah.
Pembicara kedua, Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA. (Ketua Umum DPP IMMIM) menjelaskan sesuai hasil kajiannya menemukan 3 pendapat dalam wilayah ini, menurutnya semua ulama yang megutarakan pendapat adalah ulama yang ikhlas dan memahami permasalahan. Pertama, ulama salaf al-Salih (3 abad Hijriyah sepeninggal Rasul saw.) umumnya lebih banyak berpandangan melarang. Kedua, ulama Khalaf justru membolehkan, di antaranya Syekh Yusuf Al Qardawi. Ketiga, ulama yang membolehkan hadir dan menyaksikan perayaan natal. Dalil yang menjadi pegangannya adalah Qs. Al-Mumtahanah.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. al-Mumtahinah/60: 8)
Dari ke 3 pandangan itu, tentu perlu memahami dasar dalam mengistimbatkan hukum. Berbeda pendapat adalah sunnatullah, jika ada orang yang mau memaksakan satu pendapat, tentu sulit terjadi, karena realitas perbedaan pendapat itu membuka peluang fastabiqul khairat.
“Oleh karena itu, penting mendengar beberapa pendapat dari dialog yang seimbang dan terarah.” Tutur mantan wakil Rektor I UIN Alauddin Makassar.
Pembicara ketiga, menyampaikan pandangan berbeda yang dikemukakan oleh pimpinan Pondok Pesantren Ilmul Yaqin Kab. Maros Dr. KH. Amirullah Amri, MA. Alasannya berbeda dengan yang lain, karena persoalan memahami dalil, universal ibadah dan rasa pada setiap orang. Menerima dan menolak bagian dari pada rasa. Hal senada disampaikan juga oleh pembicara keempat, Prof. Dr. H. Hasyim Aidid, MA. Walaupun seperti itu, beliau kader GP Ansor tahun 1965 dan memiliki pengalaman di masa mudanya menjaga kegiatan keagamaan di luar gereja. Sikap hati-hati, menjaga dan mengawal akidah umat juga penting dari segala hal yang dapat mengurangi keimanan.
Pandangan spesifik juga disampaikan oleh pembicara kelima, Prof. Dr. H. Qasim Mathar, MA. tidak sepakat dengan adanya dialog ucapan selamat, karena menghambat peradaban menuju kemajuan dan termasuk menghabiskan energi.
Pembicaraan keenam, Dr. KH. Afifuddin Harisa, MA. (pimpinan pondok pesantren An-Nahdlah Makassar) memberikan contoh toleransi tinggi dari para kiai di Makassar. Halaman Masjid Quba tetap dipakai untuk parkiran para jemaat tetangga masjid yang dipakai kebaktian. KH. Harisah bahkan meliburkan pengajian jika bertepatan dengan kebaktian non muslim. Bagi pandangan ulama, istilah kafir, syirik dan maksiat sudah punya kriteria-kriteria tersendiri. Sehingga tuduhan kafir atau semisalnya tidak mudah memvonis orang sesat.
Sebagai pembicara terakhir, Dr. KH. Baharuddin AS., MA. (ketua MUI Makassar dan khadim tarekat Al-Muhammadiyah Indonesia) menjelaskan secara terperinci latar belakang, landasan pengambilan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis tentang penanggalan Miladiyah, toleransi, ucapan selamat dan mengikuti seremonial perayaan agama. Oleh karena itu, sudah final secara umum ada dua pendapat. Ada keberagaman dan keseragaman, karena itu adalah sunnatullah. Bagi yang memboehkan hadir di seremonial acara agama non muslim mesti tetap mempertimbangkan, jangan sampai kehadirannya membawa fitnah.