Biografi Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah yang Diprediksi Kewaliannya oleh Sang Guru

April 7, 2024
Biografi Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah yang Diprediksi Kewaliannya oleh Sang Guru
Ilustrasi: Syekh Bahauddin an-Nasyabandi

Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah dinisbatkan kepada wali quthub bernama Muhammad Bahauddin bin Muhammad bin Muhammad al-Syarif al-Husaini alHasani al-Uwaissi al-Bukhari. Ia lebih dikenal dengan sebutan Syaikh anNaqsyabandi, (Tanwir al-Qulub, halaman: 501). 

Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi memiliki nama lengkap Sayyid Bahauddin an-Naqsyabandi bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Uwaisi al-Bukhari, dan lebih masyhur dengan sebutan Sayyid Bahauddin an-Naqsyabandi. Ia juga memiliki julukan (laqab) Muhammad al-Bukhari.

Sayyid Bahauddin merupakan keturunan Rasulullah saw dari jalur Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali, suami Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw. Ia dilahirkan pada Muharram 717 H/1317 M, di daerah Qashrul Arifan, salah satu desa di dekat kota Bukhara. (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syekh Baha’uddin, halaman: 11)

Syekh Baha’uddin Al-Naqsyabandi berguru ilmu tarekat kepada Syekh Muhammad Baba as-Sammasi kemudian kepada Sayyid Amir Kulal, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 196). Sedangkan Sayyid Amir Kula juga berguru kepada Syekh Muhammad Baba as-Sammasi, Syekh Muhammad Baba as-Sammasi berguru kepada Ali al-ramitani yang lebih dikenal dengan nama Syekh al-Azizan. Syekh al-Azizan berguru kepada Syekh Mahmud al-Anjir Faghnawi, Syekh Mahmud alAnjir Faghnawi berguru kepada Syekh Arif al-Riwikri yang berguru kepada Syekh Abdul Khaliq al-Ghujduwani yang berguru kepada Syekh Abi Ya’qub Yusuf al-Hamadani yang berguru kepada Syekh Abi Ali al-Fadhal bin Muhammad ath-Thusi al-Faramadi yang berguru kepada Syekh Abil Hasan Ali bin Abi Ja’far al-Kharqani. Syekh Abil Hasan Ali berguru kepada Abi Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami yang berguru kepada Syekh Imam Ja’far al-Shâdiq yang berguru kepada kakeknya Sayyid alQasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq yang dari Salman al-Farisi yang memperoleh dari Abi Bakar ash-Shiddiq yang memperoleh dari Rasulullah Saw (Tanwir al-Qulub, halaman: 502).

Syekh Bahauddin lahir dari keluarga yang sangat agamis. Orang tuanya merupakan sosok yang memiliki pengetahuan luas dan ahli ibadah. Kedua orang tuanya tak henti-henti mendoakan putranya agar kelak menjadi orang yang berguna, dan bisa meneruskan perjuangan kakeknya, Rasulullah saw. (Muhammad as-Shayadi, al-Inayah ar-Rabbaniyah, [Beirut, Darul Fikr], halaman 4).

Sebelum Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi dilahirkan, gurunya, Syekh Muhammad Baba as-Sammasi, telah mengisyaratkan akan kelahirannya. Setiap kali Syekh as-Sammasi melewati desa Qasrul Arifan, selalu berkata kepada para muridnya, “Dari desa ini aku mencium bau seorang wali”. Setelah bayi yang dimaksud dilahirkan dan berusia tiga hari, Syekh as-Sammasi melewati desa itu seperti biasa. Lalu kembali berkata pada para muridnya, “Bau seorang wali yang telah aku ceritakan, sekarang ini semakin semerbak”. Tak lama setelah itu, si bayi oleh kakeknya dibawa ke rumah Syekh as-Sammasi. Ketika melihat bayi tersebut, Syekh as-Sammasi spontan berteriak gembira seraya menoleh kepada muridnya, “Ini anakku. Inilah wali yang selama ini aku cium baunya. Insya Allah tidak lama lagi ia akan menjadi panutan banyak orang”. Kemudian Syekh as-Sammasi menemui Sayyid Amir Kulal untuk menyerahkan pendidikan anaknya itu. Ketika itu Syekh as-Sammasi berkata, “Ini anakku”. Didiklah dengan sebaik-baiknya, jangan sampai engkau teledor dalam mendidiknya. Jika Engkau teledor, aku tak akan rela untuk selama-lamanya”. Lalu Sayyid Amir Kulal berdiri dan berkata, “Aku akan melaksanakan perintahmu. Insya Allah aku tidak akan teledor dalam mendidiknya”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 207).

Syekh an-Naqsyabandi mengisahkan, “Kakekku mengirimku ke desa Sammas dengan tujuan supaya aku mengabdi kepada Syekh as-Sammasi. Ketika aku berhasil menemuinya, sebelum waktu Maghrib tiba aku telah mendapatkan keberkahannya sehingga aku merasakan ketenangan pada diriku, kekhusyu’an, tadharru’ serta kembali kepada Allah Swt.”, (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syekh Baha’uddin, halaman: 12-13).

Lebih lanjut Syekh an-Naqsyabandi berkata, “Ketika Syekh as-Sammasi meninggal dunia, kakekku membawaku ke Samarqandi. Setiap kali mendengar ada orang shaleh, ia membawaku kepadanya. Kepada orang shaleh yang dikunjungi, ia memintakan doa untukku, ternyata permintaan doa betul-betul terkabul, aku mendapatkan keberkahan dari orang-orang shaleh tersebut”.

Syekh an-Naqsyabandi juga berkata, “Di antara pertolongan Allah SWT. yang diberikan kepadaku adalah kopiah kakek guruku (Syekh al-Azizan) telah sampai kepadaku sehingga keadaanku semakin baik dan harapanku semakin kuat, yang demikian itu membuatku dapat mengabdi kepada Sayyid Amir Kulal dan memberi tahuku bahwa Syaikh as-Sammasi mewasiatkan diriku kepadanya”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 196). (Sabilus Salikin (134): Tarekat Naqsyabandiyah)