Asbabun Nuzul dan Tafsir Surat Al-Qadr

Imam Abil Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi dalam Asbûb al-Nuzül Surat Al-Qadr meriwayatkan dari Mujahid.
Suatu ketika Nabi Muhammad saw. bercerita seorang pemuda dari Bani Israil. Nabi Muhammad saw. menarasikan bahwa pemuda tersebut selalu berperang setiap hari. Pedang di tangannya tidak pernah lepas. Baginya, medan perang seolah rumahnya. Ia melakukan itu tanpa henti selama seribu bulan.
Mendengar hal tersebut para sahabat pun merasa takjub. Mereka sangat heran bagaimana bisa seseorang menghabiskan begitu banyak umurnya hanya untuk berperang. Tak lama kemudian turunlah Surat Al-Qadr. Di mana Allah Swt. memberi kabar gembira kepada para sahabat dengan menurunkan satu malam yang begitu mulia. Ibadah yang dilakukan dalam malam tersebut bernilai sebagaimana ibadah seribu bulan.
Dalam cerita lain, diriwayatkan oleh Sahabat Malik bin Anas ra. bahwa Rasulullah saw. suatu ketika diperlihatkan oleh Allah rata-rata umur umatnya. Setelah mengetahuinya, Rasulullah saw.vmenganggap umur umatnya terlalu pendek. Kekhawatiran pun muncul dalam benaknya. Rasulullah saw. takut amal mereka tidak bisa mengimbangi umat-umat terdahulu yang notabene berumur panjang. Maka Allah memberinya Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulannya umat terlebih dahulu.
Tafsir Ayat
Istilah malam Lailatul Qadar pada ayat pertama surat Al-Qadr yang berbunyi,
“إنا أنزلناه في ليلة القدر” adalah nama dari satu malam di Bulan Ramadan, di mana pada malam tersebut diturunkanlah Al-Qur’an.
Malam ini merupakan salah satu malam yang sangat istimewa. Karena Allah Swt. secara khusus memberikan malam ini kepada umat Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh umat-umat sebelumnya.
Buktinya, sebelum ayat ini turun istilah Lailatul Qadar belumlah dikenal oleh kalangan orang Islam sendiri. Apalagi oleh umat terdahulu. Dalam susunan ayat setelahnya pun Allah menggunakan redaksi, “وما أدراك ما ليلة القدر“ sebagai pertanyaan yang menegaskan bahwa malam Lailatul Qadar baru dikenal setelah turunnya ayat ini.
Mengenai asal penamaan Lailatul Qadar ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dinamakan Lailatul Qadar adalah karena pada malam tersebut ditakdirkannya semua urusan dan hukum. Pendapat ini diinisiasi oleh Imam Atho’ berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas.
Pendapat lain mengatakan dinamakan Lailatul Qadar adalah dikarenakan agungnya malam tersebut.
Sedangkan menurut Abu Bakar al-Warraq (w. 240 H) salah seorang pembesar sufi Abad ke-3 adalah karena malam ini terdapat tiga unsur kemulian. Ia mengatakan,
“Disebut Lailatul Qadar karena pada malam itu diturunkan kitab yang memiliki derajat mulia kepada malaikat yang mulia kemudian diturunkan kepada umat yang berpangkat mulia, dan barangkali Allah hanya menyebut lafadz “al-qadr” dalam surat ini tiga kali karena sebab di atas.”
Kemudian pada ayat ketiga, “ليلة القدر خير من ألف شهر” Allah menyebutkan kelebihan, keagungan serta keutamaan yang terkandung dalam malam Lailatul Qadar. Allah Swt. mensifati malam ini dengan redaksi “lebih baik daripada seribu bulan”.
Tentu hal ini tidaklah berlebihan, karena memang pada malam ini turun banyak sekali keutamaan dan kebaikan yang tidak ditemui dalam 1000 bulan. Mayoritas ahl tafsir bersepakat bahwa beramal pada malam Lailatul Qodar nilainya jauh lebih baik daripada beramal pada 1000 bulan yang di dalamnya tidak terdapat malam Lailatul Qadar.
Imam Al-Qurtubi dalam Jami al-Ahkam li al-Qur’an menyebutkan pendapat lain yang sedikit berbeda. Yang dikehendaki Allah Swt. dengan redaksi tersebut adalah waktu yang tidak ada bandinganya. Sedangkan kata ‘seribu’ di atas adalah kiasan atau metafora semata. Ia bertendensi pada kebiasaan bangsa Arab ketika hendak menyebut sesuatu yang tanpa batas maka mengungkapkannya dengan lafaz seribu (ألف). Seperti yang tertera dalam Qs. Al-Baqarah ayat 96,
يود أحدهم لو يعمر ألف سنة
“Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun.”
Yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah ingin hidup selamanya.
Namun dari kedua pendapat di atas, Intinya pada malam itu Allah Swt. hendak memuliakan umat Nabi Muhammad saw. dengan satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh umat lain.
Perlu diketahu pada syariat umat terdahulu, seseorang bisa dikatakan sebagai seorang abid atau ahli ibadah jika ia sudah melakukan ibadah selama 1000 bulan yakni delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan.
Akan tetapi, Allah menjadikan kemudahan bagi umat Muhammad saw. yakni dengan ibadah dalam semalam saja sudah lebih baik dari seribu bulan mereka beribadah.
Pada ayat ke tiga, ”تنزل الملائكة والروح فيها بإذن ربهم من كل أمر” Allah mensifati malam Lailatul Qadar yang mulia dengan mendeskripsikan kondisinya. Di mana pada saat itu malaikat-malaikat yang berada di langit semuanya ikut turun ke bumi. Mereka semua serentak ikut mendoakan dan mengamini segala sesuatu yang diminta oleh manusia.
Adapun kata ‘الروح’ di sini menurut pendapat yang paling kuat adalah malaikat Jibril. Ada juga yang mengatakan ruh yang dimaksud adalah rahmat yang dibawa oleh malaikat Jibril. Ada juga yang mengatakan seorang malaikat yang memiliki tugas yang lebih spesifik, yakni menjaga malaikat-malaikat yang lain.
Sedangkan pada ayat terakhir, ”سلم هي حتى مطلع الفجر” Allah menghendaki bahwa keberkahan pada malam ini dapat dirasakan oleh alam semesta beserta isinya hingga menjelang fajar, yaitu kepada mereka yang senantiasa tetap terjaga di malam Bulan Ramadan dan mengisi malam tersebut dengan beribadah kepada Allah Swt.
(Referensi: At-Tahrir wa Tanwir li lbn Asyur [30]: 457; Tafsir al-Razi Mafatihul Ghaib [32]: 30).
Hikmah Disembunyikannya Lailatul Qadar
Kendati Allah Swt. secara jelas menunjukkan kemulian malam Lailatul Qadar ini, Namun Allah sengaja tidak memberi rambu-rambu pasti akan jatuhnya malam ini setiap tahunnya. Tentunya hal tersebut menyimpan banyak sekali alasan dan hikmah saat Allah menyembunyikan Lailatul Qadar, antara lain yaitu:
1. Allah menyamarkan mala mini sebagaimana Dia menyamarkan beberapa perkara agar manusia mengagungkan seluruh malam Ramadan.
2. Seakan Allah menghendaki keistiqamahan dalam beribadah dan juga istiqamah dalam meninggalkan maksiat
3. Allah menyembunyikan Lailatul Qadar umat Islam berusaha supaya mencarinya. Sehingga mereka mendapat pahala ijtihad (usaha).
5. Ketika seorang hamba tidak yakin tentang Lailatul Qadar maka mereka berusaha melakukan ibadah pada semua malam Ramadan dengan harapan malam tersebut adalah Lailatul Qadar. Dengan begitu Allah bisa berbangga terhadap malaikat karena kesungguhan manusia atas usaha yang dilakukan untuk mendapatkan Lailatul Qadar meskipun tidak ditampakkan
(Referensi: Tafsir al-Baghawi [8]: 482; Jami’ al-Rasail [1]: 199; Tafsir al-Razi [1]:124; Tafsir al-Alusi [23]: 62)
Sumber: Majalah Langitan, Pondok Pesantren Langitan, Edisi 93, 1442 H.
Editor: Khoirum Millatin