Urgensi Thariqah dan Bimbingan Mursyid
Tasawuf adalah suatu ilmu untuk memperbagus amal ibadah, dengan membersihkan hati dari segala sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji untuk mencapai cahaya manifestasi (tajalli) Al-Haq dalam jiwa kita. Sehingga kita dapat berakhlak mulia, beribadah dengan baik dan beradab dengan sesama makhluk.

Tasawuf adalah suatu ilmu untuk memperbagus amal ibadah, dengan membersihkan hati dari segala sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji untuk mencapai cahaya manifestasi (tajalli) Al-Haq dalam jiwa kita. Sehingga kita dapat berakhlak mulia, beribadah dengan baik dan beradab dengan sesama makhluk.
Adapun metode atau praktik dalam tasawuf itu dinamakan tarekat. Dan tarekat tak berjalan tanpa ada orang yang menjalankannya yaitu mursyid (guru spiritual).
Syekh Ismail Haqqi bin Mustafa Al-Jalwati Al-Brusani dalam kitab Tamam Faidh fi Bab al-Rijal menjelaskan,
“Ketahuilah bahwa syariat adalah tarekat yang harus ditempuh. Awalnya melakukan amal sesuai dengan hukum dan berakhir sampai pada Dar al-Salam (surga tempat keselamatan). Sementara itu tarekat merupakan adab, bermacam mujahadah, suluk, sayr (perjalanan hati untuk bertawajjuh dengan Allah Ta’ala melalui zikir) dan thair. Barangsiapa tidak bersyariat maka dia tidak beragama, barangsiapa tidak bertarekat ia tidak mempunyai adab.”
Bermujahadahnya suluk menempati kedudukan istinjaknya wudlu. Barangsiapa tidak beristinjak maka dia tidak mempunyai wudlu. Begitu juga barangsiapa tidak bermujahadah dalam suluknnya maka dia tidak termasuk melakukan suluk. Lalu suluknya sayr (perjalan hati) itu seperti kedudukan wudlu dalam shalat. Sehingga barangsiapa tidak mempunyai wudlu maka tidak sah shalatnya. Begitu juga barangsiapa tidak suluk maka dia tidak mempunyai sayr. Dan akhir dari سير (sayr) adalah طير (thair) sampainya salik pada maqam qaf al-qurabah (قاف القربة) dan Wushul (sampai) ke maqam wushul yang sebenar-benarnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ditempat disenangi disisi Tuhanmu yang berkuasa.” (QS. Al-Qamar: 55)
Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani Al-Mishry dalam kitab Al-Anwaar Al-Qudsiyah fi Ma’arifat Qawaid As-Shufiyah juga menjelaskan,
“Tarekat kaum sufi adalah Shirath al-Mustaqim yang merupakan jalan yang lurus, jalan yang paling agung. Sebab semua tarekat akan menjadi mulia karena mulianya tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan tujuan utama tarekat kaum sufi adalah makrifat Al-Haq dan Adab bersama-Nya dalam segala apa yang disyariatkan-Nya melalui lisan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Sedangkan orang yang menunjukkan dan membimbing ke jalan itu adalah tuan dari orang-orang yang memberikan bimbingan. Sebab dia adalah orang yang mewarisi ilmu Rasulullah Saw. (warasal Haqiqatul Muhammadiyah) dan mengamalkan syariatnya. Dialah yang sebenarnya mendapatkan julukan dengan Asy-Syaikhul Islam, pewaris Haqiqatul Muhammadiyah dan guru yang kamil.”
Tarekat adalah media atau jembatan yang menghubungkan antara syariat dan hakikat. Bagi orang-orang yang belajar ilmu tarekat dibawah bimbingan mursyid dinamakan murid. Dan bagi orang-orang yang sedang mengamalkan suatu amalan tarekat disebut salikin dan praktiknya disebut suluk.
Maka baik murid dan salik wajib mempunyai seorang mursyid atau Syekh tarekat. Karena perjalanan murid atau salik itu adalah perjalanan bersifat ghaib. Tanpa bimbingan mursyid maka akan tersesat. Jika sekedar mempelajari ilmu hakikat lewat kitab-kitab akanlah menyimpang dari apa yang sebenarnya ditulis dalam kitab-kitab hakikat ulama-ulama Sufi.
Murid atau salik haruslah memiliki keyakinan kuat kepada mursyid dan menyerahkan secara totalitas segala iradahnya kepada mursyid. Maka dalam menjalankan tarekat, terdapat tiga tingkatan bagi murid dalam memahami hakikat mursyid.
Syekh Abdul Ghani An-Nabulsi ad-Dimasyqi dalam kitab Miftahul Ma’iyah fi Syarh Risalatil Thariqah Sa’dat Naqsyabandiyah menjelaskan,
“Siapa yang telah memilih seorang mursyid atau murrabi/Syekh sebagai jalan yang ditempuh dalam perjalanan menujuh Allah, dia harus menganggap murrabinya sebagai salah satu pintu di antara pintu Allah. Hal ini merupakan tingkatan yang paling rendah (martabat Adni). Demikianlah yang dinyatakan oleh Syekh Muhammad al-Bakri ra. dalam bebera bait gubahannya dari Hadrah al-Muhammadiyah;
وأنت باب الله أي أمرىء أتاه من غير بابك لايدخل
“Engkau adalah pintu Allah, siapa pun orang mendatangi-Nya bukan lewat pintumu, ia takkan bisa masuk.”
Setelah itu, murid hendaknya meyakini bahwa semua yang zahir dari murrabinya adalah madhar Allah Ta’ala, baik berupa kabar dan rahasia. Kabar muncul sebagai petunjuk baginya, sedangkan rahasia muncul sebagai ujian pada maqam iradah dan suluk.
Murid melihat murrabinya sebagai tempat madhar bagi sifat-sifat Allah dan berbagai asma-Nya sehingga murid akan beradab bersama-Nya seperti lazimnya seorang mukalaf yang beradab dengan hukum-hukum Tuhannya dalam segala perintah dan larangan. Ini adalah murid pada tingkatan menengah (martabat ausath).
Jika, murid tidak melihat murrabinya sama sekali, melainkan hanya Allah yang tiada Tuhan Selain-Nya yang memberi petunjuk dan hidayah kepada siapapun yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapapun yang Dia kehendaki, ini adalah tingkatan tertinggi (maqam al-A’ala).
Pada tingkatan inilah Sayyidin al-Akbar Abu Bakar As-Shiddiq ra, bersama Rasulullah Saw. ketika memgambil pelajaran darinya. Hal itu tampak setelah Nabi Saw. wafat, ketika Abu Bakar berkata, “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad sudah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati.”
Berkenaan dengan kondisi ini Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata mengenai murrabinya, Syekh Syams Tabriz Qaddasallahu Sirrahumal Aziz:
شمس من خداي من عمر من بقاي من ازنو بحق رسيدءام أي حق حق كزارى من
“Syams (Tabriz), junjunganku, sandaran hidupku. Mulai saat ini, berikanlah aku hak untuk berikthtiyar.”
Maksudnya, bukanlah murrabi/Syekh yang tampak di hadapan murid dengan rupa, jiwa, ruh dan akalnya itu melainkan hanya Allah Ta’ala.
Maksudnya adalah yang tampak di hadapan murid dari balik shurah (citra) gurunya dengan jiwa, ruh dan akalnya itu itu adalah Allah, tiada Tuhan selain Dia. Hal ini disebabkan sang murrabi secara keseluruhan adalah bagian dari jejak Allah karena murrabi tidak memiliki pengaruh, tidak bergerak, tidak berdiam, kecuali hanya dengan Allah yang Maha Tinggi dari segala keserupaan makhluk, lagi Maha Agung untuk dapat dijangkau dari persepsi hamba.
Dan telah berkata Asy-Syaikh Al-Waly Tajuddin Al-Naqshabandi,
حصوله بغير المرشد متعذر قال في الرسالة المكية من لا شيخ له فالشيطان شيخه
“Pencapaian spiritual seorang murid tanpa kehadiran seorang murysid/murrabi (guru pembimbing) amatlah sulit. Dalam Risalatil Al-Makkiyah disebutkan, Siapa yang tidak memiliki syekh/guru, maka setanlah gurunya.”