Syekh Jahid Sidek: Kaidah Kesufian dalam Menanamkan Kedamaian Hidup (2)

Menyadarkan Akal dan Menghidupkan Hati
Setiap manusia dibekali akal dan hati. Akal fungsinya menerima kebenaran yang rasional atau yang munasabah (sesuai dengan akal). Karena biasanya, ada kebenaran agama yang akan sulit diterima oleh akal. Sedangkan hati fungsinya lebih besar dan canggih. Hati bisa menerima banyak perkara yang akal tidak mampu menerimanya. Sesuai dengan kedua posisinya masing-masing, maka Allah menyediakan dua ilmu, pertama ilmu yang sesuai pada akal dan yang kedua ilmu yang sesuai pada hati.
Rasulullah saw. bersabda:
العلم علمان علم ثابت في القلب فذاك علم نافع وعلم في السان فذاك حجة الله على عباده
“Ilmu itu (ilmu Islam) ada dua; Pertama ilmu yang tetap dalam hati, itulah ilmu nafi’. Sedangkan ilmu lainnya ada pada lisan (pada akal). Ilmu inilah yang digunakan oleh Allah di akhirat nanti untuk menentukan nasib hambanya (jika baik dimasukkan ke dalam surga, jika buruk dimasukkan ke dalam neraka).”
Akal dan hati jika telah dikuasai oleh nafsu dan syaitan, tidak dapat berfungsi, sehingga mereka digambarkan oleh Allah sebagai orang yang buta, tuli dan bisu. Lebih jauh lagi keadaan mereka sudah menjadi lebih buruk daripada binatang ternak. Tegasnya, akal mereka lalai dan hati mereka telah mati. Kedua-duanya perlu disadarkan dan dihidupkan.
Akal yang lalai perlu disadarkan dengan memberikan pelajaran dan pendidikan ilmu, serta memberikan pemahaman yang sesuai dengan tahap pemikiran. Bukan hanya ilmu agama, tapi ilmu apapun yang dapat mengisi ruang akal mereka dan menyadarkan mereka.
Adapun hati yang mati, keras, berpenyakit, buta dan lain sebagainya, menurut pandangan ulama tasawuf hendaklah dibersihkan dan dihidupkan kembali. Dalam konteks ini, seseorang membutuhkan mentor yang mempunyai sifat-sifat taqwa dan tawakal yang sempurna. Agar berhasil mempercepatkan kesadaran akal dan hidupnya hati. Pada posisi ini, mentor akan berusaha bersungguh-sungguh membantu mantee untuk menghidupkan hati. Sedangkan keberhasilan dari usaha tersebut, dikembalikan kepada Allah Swt.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anam ayat 122,
أَوَ مَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Walaupun Allah yang menghidupkan hati, namun ikhtiar yang tepat dan sesuai juga harus dilakukan. Antara usaha yang perlu kita lakukan dalam strategi menghidupkan hati ialah penekanan amalan zikir dan tafakkur yang bersungguh-sungguh. Menurut Ibnu Athaillah, apabila seseorang terus berzikir dan bertafakkur, maka keadaan hatinya akan diubah oleh Allah, dari ghaflah (lalai) kepada yaqazah (sadar), dan akan naik ke derajat hudlur, di mana hati telah tenggelam dalam mengingat Allah. Dan Akhirnya, hati hanya fokus pada Allah saja. Inilah makna hati menjadi hidup dan bercahaya seperti yang disebut dalam Surat Al-Anam ayat 122 di atas.
Empat Tahap Zikrullah
Zikrullah dan tafakkur yang konsisten akan mengubah keadaan hati orang yang berzikir dari satu tahap ke satu tahap yang lebih baik. Menurut Ibnu Athaillah, zikrullah ada empat tahap yang dijelaskan dalam Kitab Hikam,
تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه لان غفلتك مع غير ذكره أشد عليك من غفلتك في ذكره فعسى أن يرفعك من ذكر مع غفلة إلى ذكر مع يقظة ومن ذكر مع يقظة إلى ذكر مع حضور ومن ذكر حضور إلى ذكر مع الغيبة عما سوى المذكور
“Janganlah kamu tinggalkan zikir disebabkan kamu tidak dapat benar-benar ingat Allah dalam zikir tersebut. Karena kelalaianmu ketika tidak berzikir itu lebih buruk daripada lalaimu ketika berzikir. Mudah-mudahan Allah meningkatkan zikirmu dari zikir ghaflah kepada zikir yaqazah, dari zikir yaqazah kepada zikir khudur, dari zikir khudur kepada zikir ghaibah.” (Ahmad bin Muhammad Ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam, (Beirut, Dar al-Fikr: t.t) Jld. I, H. 79)
Zikrullah dan tafakkur yang terus-menerus, merupakan perbuatan yang dilakukan oleh golongan orang-orang yang ulil-albab,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) rang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka’.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Dalam hikmah di atas, Ibnu Athaillah mengkategorikan zikrullah kepada empat tahap, yaitu zikir ghaflah, zikir yaqazah, zikir khudur dan zikir ghaibah. Tingkatan tersebut dapat dipahami melalui skema berikut,
Realita yang berlaku dalam setiap tahap zikir tersebut secara umum dipimpin oleh seorang syekh atau mursyid yang dikaruniakan oleh Allah untuk membantu menghidupkan hati murid yang berzikir sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Surat Al-Anam ayat 122 di atas.
Ibnu Athaillah juga telah membongkarkan rahasia yang terkandung pada setiap tahap zikrullah tersebut. Antara lain beliau menegaskan bahwa Allah akan melimpahkan nur yang berbeda dalam setiap tahapnya,
1. Warid al-Intibah/Nur al-Intibah (وارد الانتباه \ نور الانتباه)
اورد عليك الوارد لتكون به عليه واردا
“Allah limpahkan ke dalam hatimu ‘Nur Intibah’, supaya dengan nur tersebut hatimu sentiasa menerima limpahan nur-Nya”.
2. Warid al-Iqbal/Nur al-Iqbal (وارد الاقبال \ نور الاقبال)
اورد عليك الوارد ليتسلمك من يد الأغيار ويحررك من رق الأثار
“Allah limpahkan ke dalam hatimu ‘Nur Iqbal’, supaya dengan nur tersebut dapat menyelamatkan hatimu dari pengaruh makhluk dan memerdekakan hatimu dari diperhamba oleh makhluk”.
3. Warid al-Wishal/Nur al-Wishal (وارد الوصال \ نور الوصال)
اورد عليك الوارد ليخرجك من سجن وجودك الي فضاء شهودك
“Allah limpahkan ke dalam hatimu ‘Nur al-Wishal’, supaya dengan nur tersebut dapat mengeluarkan hatimu dari penjara wujud dirimu sendiri menuju tersingkapnya syuhudmu terhadap rahasia-rahasia Allah”.
Warid (وارد) sendiri bermakna Nur Hidayah (cahaya hidayah) yang Allah sampaikan ke dalam hati hamba-Nya yang dikasihi (نور يقذف الله فى قلب من احبه من عباده).
Apabila seseorang dapat karunia berupa Warid al-Intibah, maka keluarlah hatinya dari berbagai kegelapan lalai (ghaflah) menuju cahaya sadar (yaqazah). Ketika terlimpah nur al-intibah inilah awal mula terjadinya Jadzab.
Ketika ruhani seseorang benar-benar telah sadar dan merasakan adanya hubungan yang erat antara dirinya dan Allah disebabkan mata hatinya dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah di alam malakut, ia akan menjauhkan dirinya dari segala maksiat. Inilah permulaan jalan ruhani seseorang dari aspek batinnya yang dikenal sebagai salik (سالك).
Apabila seseorang mendapat karunia Warid al-Iqbal, hatinya akan sentiasa berada dalam keadaan khudur ma’allah (hati fokus dalam mengingat Allah) dan ia akan menjadi hamba Allah semata. Perjalanan zahir dan batinnya tidak ada tujuan lain kecuali hanya kepada Allah (لا مقصود الا الله). Orang yang demikian disebut sebagai al-khawas (الخواص).
Sedangkan jika seseorang mendapat karunia Warid al-Wishal, maka hatinya atau mata hatinya (Basirah) hanya akan memandang Nur Wujudullah sehingga tidak terpandang selain diri-Nya karena ia telah fana’ dalam rahasia Nur Wujudullah semata. Contohnya ialah pengalaman yang dilalui oleh Nabi Musa as. Ketika Allah tajalli (tampak)kan sebagian rahsia Nur Wujud-Nya seperti yang telah diterangkan di atas, orang tersebut sampai ke tingkat zikir ghaibah. Inilah yang dinamakan khawasul-khawas (خواص الخواص).
Penulis: Syekh Dr. H. Jahid Bin H. Sidek (Mantan Professor Madya University of Malaya dan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah)
Editor: Khoirum Millatin