Persamaan Konsep Tasawuf Syekh Jamil Jaho Sumatra dengan Imam Ibnu Athaillah As-Sakandary

September 24, 2023 - 14:52
Persamaan Konsep Tasawuf Syekh Jamil Jaho Sumatra dengan Imam Ibnu Athaillah As-Sakandary

Syekh Muhammad Jamil Jaho ialah seorang ulama yang berasal dari Jaho, sebuah daerah kecil yang terletak di bukit Tambangan, antara wilayah perbatasan Aceh, Padang Panjang, dan Tanah Datar, Minang, Sumatera Barat. Daerahnya sejuk dan asri, penduduknya bersahaja dan hidup secara rukun dan damai. Beliau salah satu ulama Sumatera yang belajar di Makkah kurang lebih sepuluh tahun.

Di antara karya Syekh Muhammad Jamil Jaho yang masyhur adalah kitab Tadzkirah al-Qulub Fi muraqabah alam al-Ghuyub. Kitab ini merupakan kitab yang berasaskan tasawuf bagi kalangan pemula. Salah satu kandung kitab ini yaitu berisi cara untuk mendekat diri kepada Allah atau dalam bahasa arab biasa disebut Taqarrub ilallah dan beberapa alasan beliau menulis karanganya. Dilihat dari penjelasannya, kitab ini memiliki kesesuaian dengan konsep yang ditulis Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam karya masterpiece-nya Al-Hikam. Hal ini yang mendorong penulis untuk membuat artikel ini, walaupun tidak semua dari konsep bertasawuf beliau saya tuliskan di sini.

Imam Ibnu Athaillah sendiri merupakan Ulama Mesir yang populer sebagai Taj ad-Dien, Mahkotanya Agama. Beliau merupakan Mursyid ketiga thariqah syadziliyah yang mampu mengangkat dan mengharumkan tasawuf pada zamannya.

Kitab Al-Hikam memiliki pembahasan terpisah terkait penjelasan Taqarrub illallah. Dan disini penulis mencoba menganalogikan konsep bertasawuf Syekh Jamil Jaho dalam kitabnya Tadzkirah al-Qulub Fi muraqabah Alam al-Ghuyub dengan kitab Al-Hikam karya Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari.

Pertama, Syekh Jamil Jaho katakan alasan beliau menulis kitab Tadzkirah al-Qulub ialah :

فوجدت أن سببه فقدان المراقبة

Beliau merasa tidak adanya kedekatan (ketaatan) kepada Allah. (Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tadzkirah al-Qulub Fi Muraqabah Alam al-Ghuyub, [Bukit tinggi, Maktabah Nusantara 1956] halaman 3).

Selaras dengan apa yang dikatakan Imam Ibnu Athaillah :

الحزن على فقدان الطاعة مع عدم نهوض اليها من علامات الاغترار

Sedih karena kehilangan berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk kembali atau bangkit mengerjakannya merupakan salah satu tanda ketertipuan. (Imam Ibnu Athaillah, Al-Hikam, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 130).

Fuqdan al-Muraqabah itu sama dengan Fuqdan at-Tha’ah, tidak adanya kedekatan kepada Allah sama dengan tidak adanya ketaatan kepada-Nya. Karena jika dikatakan orang itu dekat pasti dia akan melaksanakan apapun, walaupun terpaksa. Apalagi sampai orang itu mencintainya, ia bisa melakukan hal lebih untuk yang di cintainya. Berbeda jika orang itu tidak dekat, pikirnya, “ah buat apa ngelakuin ini itu dan sebagainya? Nggak kenal ini! Kalo kata pepatah; Nggak kenal maka nggak sayang. Kalo ini, nggak deket maka nggak taat”. Orang yang sudah dekat dengan Allah pasti ia akan melaksanakan segala perintah dan larangan-Nya, Wujud at-Tha’ah. Sebaliknya, jika dia jauh dari Allah jangankan meninggalkan larangannya, perintahnya saja diabaikan, Fuqdan at-Tha’ah – Fuqdan al-Muraqabah.

Nah, karena kesadaran Syekh Jamil Jaho atas tidak ada kedekatan-Nya kepada Allah, beliau bergegas mengambil tindakan kembali untuk bangkit dan mengekspresikannya dengan membuat risalah ini (Tadzkirah al-Qulub fi Muroqobah Alam al-Ghuyub). Kalau tidak, yang dikatakan Imam Ibnu Athaillah bisa terjadi yaitu termasuk orang yang tertipu, kesedihan karena tidak adanya kedekatan atau ketaatan kepada Allah tanpa adanya niatan untuk bangkit melaksanakan ketaatan. Hal itu membuat kesedihannya semu, yang biasanya disertai dengan tangisan yang juga semu, berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi hatinya tetap keras.

Berapa banyak orang yang menangisi alunan sholawat, karena nada bukan isinya?. Nadanya yang sedih membuat dia menangis tanpa ia tahu makna dari sholawat tersebut. Mereka adalah orang yang tertipu sebab yang mereka tangisi tidak sampai kepada apa yang dimaksud. Begitu juga dengan mereka orang-orang yang terus menuju Allah, terus beribadah kepada-Nya dengan melibatkan hawa nafsu dan terus melakukan dosa, keadaan ini membuat hilangnya kedekatan dan ketaatan kepada-Nya. Dan alhamdulillah beliau Syekh Jamil Jaho berhasil kembali dan bangkit untuk mengekspresikannya dengan karya tulis beliau yaitu Tadzkirah al-Qulub fi Muroqobah alam al-Ghuyub.

Penulis: Sayyid Husnul Hikam

Kedua, alasan Syekh Jamil Jaho dalam menulis kitabnya ialah :

وعدم ملازمة التفكر مع ضعف اليقين

Tidak adanya tafakur serta lemahnya keyakinan kepada Allah.

(Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tadzkirah al-Qulub Fi Muraqabah Alam al-Ghuyub, [Bukit tinggi, Maktabah Nusantara 1956] halaman 3).

Hal ini sangat berbahaya dan jika kami mencoba untuk uraikan alasan tidak adanya tafakur ini berbahaya ialah sebagaimana Imam Ibnu Athaillah katakan :

الفكرة سراج القلب فاذا ذهبت فلا اضاءة له

Tafakur merupakan lentera hati. Jika lenyap, hati pun gelap. (Imam Ibnu Athaillah, AL – HIKAM, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 408)

Jadi sangat jelas jika tidak adanya tafakur atau berfikir itu dapat membuat hati kita menjadi gelap. Alasan kedua Syekh Jamil Jaho dalam menulis kitabnya ini bener-bener tepat dan dapat teruraikan dengan baik melalui pemahaman yang telah dilakukan Ulama sebelum beliau yaitu Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari, bahkan beliau membagi tafakur menjadi dua :

الفكرة فكرتان فكرة تصديق وايمان وفكرة جهود وعيان فالاولى لارباب الاعتبار والثانية لارباب الشهود والاستبصار

Pertama, tafakur yang timbul dari pembenaran atau iman. Kedua, tafakur yang timbul dari penyaksian dan penglihatan hati. Yang pertama berlaku bagi mereka yang bisa mengambil pelajaran. Sedangkan yang kedua berlaku bagi mereka yang menyaksikan dan melihat dengan mata hati. (Imam Ibnu Athaillah, AL – HIKAM, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 409)

Nah, tafakur yang dimaksud oleh Syekh Jamil Jaho ialah tafakur yang pertama. Atau bahasa lainnya menurut Syekh Ibnu Abbad ialah fikrah at-taraqqi (tafakur untuk naik). Ini adalah tafakurnya ahli iman yang bersumber dari pokok keimanannya. Tafakur ini punya tujuan untuk naik ke kedudukan tinggi dan menambah keyakinan, tafakur ini dimiliki orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, yaitu orang-orang yang menyimpulkan bahwa keberadaan akibat (makhluk) dilahirkan oleh sebab (khaliq). Mereka adalah Salikun (orang-orang yang sedang menempuh Tuhan) saat mengalami taraqqi (naik ke atas) karena pikiran mereka bersumber dari pembenaran dan iman. Jadi untuk menguatkan keyakinan kepada-Nya diperlukan tafakur, karena jika tidak ada tafakur, bagaimana ia dapat percaya, bahkan hati pun akan gelap gulita.

Ketiga, alasan Syekh Jamil Jaho menulis kitabnya ialah :

والتثبت مع الله بل القلب كل يوم وليلة مكبل بشهوات والخطايا والذنوب

Beliau merasa terus beribadah kepada Allah akan tetapi, setiap hari hatinya terbelenggu dengan hawa nafsu (syahwat) dan dosa. (Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tadzkirah al-Qulub Fi Muraqabah Alam al-Ghuyub, [Bukit tinggi, Maktabah Nusantara 1956] halaman 3).

Imam Ibnu Athaillah menyinggung masalah ini, beliau katakan hati tidak mungkin bersinar manakala keduniaan menutupinya. Beliau berkata :

كيف يشرق قلب صور الاكوان منطبعة في مراته ؟ ام كيف يرحل الى الله وهو مكبل بشهواته ؟ ام كيف يطمع ان يدخل حضرة الله وهو لم يتطهر من جنابة غفلاته ؟ ام كيف يرجو ان يفهم دقائق الاسرار وهو لم يتب من هفواته ؟

Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu hawa nafsu? Bagaimana mungkin akan bertamu kehadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya? (Imam Ibnu Athaillah, AL – HIKAM, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 25)

Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat bukan dengan menurutinya. Alasan Syekh Jamil Jaho menulis kitabnya karena dalam ibadah beliau campuri dengan hawa nafsu, yang mana Imam ibnu Athaillah katakan itulah yang akan menghambat jalan menuju Allah, jadi beliau memperjelas alasan Syekh Jamil Jaho atas alasan beliau menulis kitabnya tersebut.

Keempat, Syekh Jamil Jaho dalam kitabnya mendefinisikan tentang hakikat ilmu yang bermanfaat, kata beliau :

اعلم ان العلم الذي ينفع صاحبه هو العلم بالله تعالى وصفاته واسمائه والعلم بكيفية التعبد والتأديب بين يديه

Ketahuilah, sesungguhnya ilmu Nafi’ (ilmu yang bermanfaat) bagi pemiliknya ialah ilmu mengenal Allah SWT, mengetahui sifat dan asma-Nya, mengetahui cara beribadah kepada-Nya dan beretika di hadapan-Nya. (Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tadzkirah al-Qulub Fi Muraqabah Alam al-Ghuyub, [Bukit tinggi, Maktabah Nusantara 1956] halaman 3).

Ilmu Nafi’ (ilmu yang bermanfaat) yang disebutkan Syekh Jamil Jaho juga memiliki istilah lain yaitu ilmu makrifat, yang kemudian ilmu makrifat inilah yang juga disebutkan keabstrakannya oleh Imam Ibnu Athaillah sebagai ilmu Nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Beliau katakan :

العلم النافع هو الذي ينبسط في الصدر شعاعه وينكشف به عن القلب قناعه

Ilmu yang bermanfaat (makrifat) adalah yang cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai hati. (Imam Ibnu Athaillah, AL – HIKAM, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 352)

Jadi ilmu Nafi’ bukan hanya mengetahui Allah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana Syekh Jamil Jaho katakan. Tapi ilmu Nafi’ menurut Imam Ibnu Athaillah juga merupakan cahaya yang dapat melapangkan dada dan membuka setiap tabir-tabir hati yang tertutup. Sehingga pemiliknya mampu mengetahui hakikat keilmuan. Membuat pemiliknya juga tidak gampang menyalahkan orang, penyabar, bersyukur, ikhlas, ridha, selalu tenang dan mampu menghindari penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, benci dan lain-lain. Ilmu Nafi’ atau ilmu makrifat inilah ilmu yang sangat dibutuhkan oleh Santri (para pencari ilmu).

Kelima, Syekh Jamil Jaho berkata dalam kitabnya Tadzkirah al-Qulub tentang kuasa dan hijab Tuhan :

فان قدرته نافذة في كل شيء فلا مانع له ان يعذبك بانواع العذاب الاليم اذا عصيته وان يئيبك بانواع الثواب اذا اطلعته قال ان الله على كل شيء قدير وهو القاهر فوق عباده

Kuasa Allah menyeluruh kepada segala sesuatu, tidak ada yang bisa menghalanginya untuk menyiksamu dengan berbagai macam siksa yang pedih ketika engkau bermaksiat kepadanya. Dan akan memberikan pahala padamu dengan berbagai macam pahala, ketika engkau taat padanya. (Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tadzkirah al-Qulub Fi Muraqabah Alam al-Ghuyub, [Bukit tinggi, Maktabah Nusantara 1956] halaman 4 – 5).

Kemudian beliau menyebutkan surat Al an’am ayat 18 yang berbunyi :

ان الله على كل شيء قدير وهو القاهر فوق عباده

Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu itu mampu dan dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Artinya, menurut Syekh Jamil Jaho tiada sesuatu apapun di muka bumi ini yang dapat menghijabi Allah. Jika dia terhijab berarti memiliki batasan, dan itu tidak layak menempel pada zat Tuhan. Iya berkuasa penuh atas diri kita, iya mampu meletakkan kita ke neraka atau surga sekehendak-Nya.

Imam Ibnu Athaillah katakan dalam Hikam-nya :

الحق ليس بمحجوب وانما المحجوب انت عن النظر اليه اذ لو حجبه شيء لستره وما حجبه ولو كان له ساتر لكان لوجوده حاصر وكل حاصر لشيء فهو له قاهر وهو القاهر فوق عباده

Yang Maha Haq tidaklah terhijab, yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya, karena jika dia dikatakan terhijab itu artinya sesuatu menutupi-Nya. Jika dia tertutupi sesuatu itu artinya wujudnya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal, dia adalah Maha kuasa atas segala sesuatu. (Imam Ibnu Athaillah, AL – HIKAM, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 62)

Keselarasan dalam pemahaman beliau berdua tertuju pada bahwa Tuhan berkehendak mutlak atas segala apapun, jika kita melihat ada tabir yang menghalangi Tuhan, maka sebenarnya kitalah tabir itu. Karena jika Tuhan terhijab, Iya memiliki batasan dan itu merupakan kelemahan, padahal Tuhan maha kuasa atas segala sesuatu.

Keenam, keselarasan yang terakhir ini merupakan cara Taqarrub illallah (mendekat kepada Allah) dengan banyak berdzikir. Syekh Jamil Jaho katakan :

ايها الانسان اذا اردت التقرب الى مولاك فاذكره ذكرا كثيرا لان الذكر باب الله الاعظم

Wahai manusia! apabila engkau menginginkan kedekatan kepada tuhanmu, maka berdzikirlah yang banyak. Karena dzikir merupakan gerbang terbesar Tuhan. (Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tadzkirah al-Qulub Fi Muraqabah Alam al-Ghuyub, [Bukit tinggi, Maktabah Nusantara 1956] halaman 8).

Nah, di sini beliau katakan salah satu penyebab bisa dekat dengan Allah itu dengan banyaknya dzikir, beliau tidak mengharuskan orang yang berdzikir itu khusyuk, tapi beliau hanya memerintahkan untuk berdzikir yang banyak. Yang penting teruslah berzikir, Jangan sampai tidak berdzikir. Lalu kata beliau, dzikir merupakan gerbang Tuhan terbesar, artinya dzikir merupakan jalan terdekat menuju Allah. Mengenai dzikir ini Imam Ibnu Athaillah pernah katakan :

لا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه، لان غفلتك عن وجود ذكره اشد من غفلتك في وجود ذكره فعسى ان يرفعك من ذكر مع وجود غفلة الى ذكر مع وجود يقظة، ومن ذكر مع وجود يقظة الى ذكر مع وجود حضور، ومن ذكر مع وجود حضور الى ذكر مع وجود غيبة عما سوى المذكور وما ذلك على الله بعزيز

Janganlah kau meninggalkan dzikir hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah! Kelalaianmu dari dzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari dzikir yang disertai kelalaian menuju dzikir yang disertai kesadaran. Dari dzikir yang disertai kesadaran menuju dzikir yang disertai hadiratnya hati, dari dzikir yang disertai hadirnya hati menuju dzikir yang mengabaikan selain yang diingat (Allah). Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar. ( Surat Ibrahim ayat 20 ). (Imam Ibnu Athaillah, AL – HIKAM, penerjemah Iman Firdaus, LC. [Jagakarsa – Jakarta Selatan, TUROS Khazanah Pustaka Islam 2019] halaman 89)

Konsep Taqarrub illallah yang disuguhkan oleh Syekh Jamil Jaho untuk banyak berzikir dan beliau tidak mengharuskan orang untuk berdzikir dengan khusyuk, ini sangat sesuai jika kita melihat ulasan yang dikatakan Ibnu Athaillah di atas; Kelalaianmu dari dzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berdzikir kepada-Nya. Artinya lebih baik lalai saat kita sedang berdzikir kepada Allah, daripada kita lalai karena tidak berdzikir kepada-Nya. Maka teruslah berdzikir! Semoga Allah senantiasa mengangkat dzikir kita yang penuh kelalaian ini pada dzikir yang melalaikan selain-Nya. Allahumma Amin.

Dari sini nampak seakan-akan Imam Ibnu Athaillah yang menguraikan alasan-alasan Syekh Jamil Jaho dalam menulis kitabnya. Padahal Imam Ibnu Athaillah dengan Hikam-nya ada sejak enam abad sebelum adanya Syekh Jamil Jaho dengan Tadzkirah al-Qulub nya. Ini yang kami maksud adanya keselarasan konsep beliau berdua dalam bertasawuf. Terlepas apakah Syekh Jamil Jaho mengadopsi secara tersirat konsep Imam Ibnu Athaillah atau dari Ulama tasawuf yang lain. Wallahu A’lam.