Mimpi Menurut Kaum Sufi dan Barat

September 24, 2023 - 12:40
Mimpi Menurut Kaum Sufi dan Barat

Mimpi menjadi perdebatan antara Barat dan Timur. Bagi Barat–mengikuti teori psikologi–mimpi merupakan pengalaman psikologis yang menunjukkan bagaimana otak manusia tidak terhubung dengan lingkungan sekitarnya dapat mengalami kondisi dunia sadar dengan sendirinya (Nir & Tononi, 2009).

Bagi golongan Timur, mimpi bukan hanya bunga tidur setiap manusia saja, namun lebih dari itu mereka membagi dua istilah mimpi yaitu ahlam dan ru’ya. Kata ahlâm adalah jamak dari hulm yang berasal dari kata halama, yahlumu, hulm. Kata ini dalam al-Qur‟an selalu dikaitkan dengan kata adghâth (jamak dari daghth) untuk menunjukkan arti kecemasan-kecemasan ilusif, ketercampuran yang membingungkan, dan membutuhkan kejelasan apa yang dilihat dan kuatnya gambaran yang hadir. Dengan kata lain bahwa mimpi jenis ini selalu menunjukkan mimpi campur aduk yang tidak jelas maknanya dan untuk menunjukkan kekacauan, atau bermakna mimpi buruk seperti nightmare dalam bahasa Inggris. Mimpi ini selalu dikaitkan dan disandarkan kepada setan. Hal ini berdasarkan penjelasan nabi dalam salah satu hadisnya (Ibn Manzur, Vol.14: 297).

Sedangkan kata al-ru’yâ berasal dari akar kata ra’â, yarâ, ra’y atau ru’yah yang berarti melihat (al-Hâfiz Ibn Hajar al-Asqalânî, al-Ru’yâ wa al-Ahlâm fi Daw’ al-Kitâb wa al-Sunnah, 1997: 5). Kata-kata tersebut, walaupun berasal dari akar kata yang sama namun menghasilkan variasi retoris karena perbedaan konteks-konteks penandaannya. Al-ru’yah dipergunakan untuk penglihatan indrawi dalam keadaan sadar, dalam bahasa Ibn Hajar al-‘Asqalânî disebut al-khawâtir (Aisyah Abdurrahman, 1997: 190). Sedangkan al-ru’yâ adalah melihat dalam keadaan tertidur, dan al-ra’yu menunjukkan pemikiran dan simbol-simbol (Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-Madnûn Bihî ‘alâ Ghayr Ahlihî: 337).

Antropolog Ellen Basso mendeskripsikan mimpi rakyat lebih cenderung “Progresif” sedangkan mimpi Barat bersifat “Regresif” yang menggunakan mimpi sebagai jendela untuk melihat keinginan dan konflik yang ditekan.

Sedangkan Sigmund Freud merangkum sebuah mimpi dalam bab pertama yang cukup panjang dari karya masterpiece-nya The Interpretation of Dreams. Ia menekankan perbedaan antara pendekatannya sendiri terhadap mimpi, sebagai pengungkapan konflik individu yang belum terselesaikan, dan mimpi perspektif kenabian, bahkan ketika ia memihak teori mimpi tradisional dengan mengakui bahwa mimpi memiliki makna yang harus ditafsirkan. Penekanan pada makna ini berbeda dengan pendekatan koleganya yang lebih berpikiran mimpi ke berbagai penyebab somatik seperti gagasan bahwa gambar mimpi hanyalah pelepasan listrik acak dari otak (Freud: 1953).

Bagi kalangan sufi mimpi bisa diartikan suatu kebenaran bukan hal yang ‘mengada-ada’, begitu pula yang terjadi pada mursyid tarekat yang diakui mimpinya seringkali dianggap benar oleh muridnya. Tradisi mimpi kenabian yang dialami wali atau mursyid ini seringkali didengungkan kalangan pesantren. Hal ini menjadi semangat dan motivasi para santri dan murid untuk bisa merasakan seperti apa yang terjadi oleh gurunya, yakni mimpi bertemu nabi Muhammad Saw.

Dalam tradisi ketarekatan mimpi bertemu nabi merupakan hal yang dianggap wajar dan bukan rekayasa. Begitu juga ditekankan dalam hadis, Nabi bersabda: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka itu benar aku karena setan tidak mungkin menyerupaiku.” (HR. Tirmidzi). Dalil ini menjadi pegangan umat Islam bahwa mimpi bertemu nabi merupakan fenomena nyata.

Dalam konsep mimpi di kalangan sufi dikenal juga dengan kata Al-Ru’yâ, mimpi yang benar, membawa pesan penting berupa kabar baik dari Allah Swt sehingga memotivasi seseorang untuk melakukan perbuatan baik, atau memberinya petunjuk, atau bahkan membawa pesan yang merupakan peringatan dari-Nya yang berkenaan dengan dosa kita sehingga kita akan lebih berhati-hati dan berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Mimpi ini sangat jelas dan tidak mudah kita lupakan. Imam Al-Ghazâlî mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui hakikat mimpi ini, dia tidak akan tahu hakikat-hakikat yang tersembunyi dalam mimpi tersebut, seperti hakikat bermimpi para rasul serta hakikat bermimpi bertemu Allah.

Baik al-hulm maupun al-ru’yâ sering terjadi dalam kondisi tidur. Filosof Muslim Al-Kindî mengatakan bahwa tidur adalah pengambil alihan jiwa atas seluruh alat inderawi. Keadaan tidur dapat dicapai saat manusia tidak menggunakan indera eksternalnya walaupun pada saat itu ia berada dalam proses berpikir yang mendalam, karena jiwa pada dasarnya tidak pernah tidur, bahkan ia selalu tahu dan sadar (Muhammad Utsman Najati, 2002: 31).

Ibn Arabî menjelaskan bahwa tidur ada dua jenis. Yang pertama adalah tidur biasa di mana seseorang dapat memenuhi hasratnya, dan untuk menghilangkan kepenatan tubuh. Itulah tidur yang dimaksudkan di dalam firman Tuhan, bahwa tidur adalah mengistirahatkan setiap bagian tubuh dan menghilangkan kepenatan, dan merupakan saudaranya kematian. Yang kedua adalah tidur transferal (intiqâl), yaitu tidur yang biasanya terdapat mimpi-mimpi. Jiwa tertransferasikan dari yang kasat mata menuju yang gaib, sehingga mampu melihat apa yang terdapat di dalam perbendaharaan imajinasi (khizânat al-khayâl), di mana perasaan mampu mengangkat objek-objek indrawi, dan yang memperoleh bentuk dari Sang Pemberi Bentuk, sebagai bagian dari perbendaharaan (Ibn Arabi, Futuhat Al-Makkiyah: 378).

Dengan demikian, mimpi bagi golongan Timur, kaum sufi dan tarekat sangat berbeda dengan apa yang digambarkan oleh golongan barat. Mimpi bagi kaum sufi merupakan suatu peristiwa kebenaran yang dialami. Boleh jadi juga mimpi sebagai isyarat dari Allah Swt dan atau mimpi bertemu dengan Rasulullah Saw sebagai petunjuk untuk mendakwahkan nilai-nilai luhur kepada para murid-murid. Wallahua’lam


[1] Istilah Mursyid seringkali dinisbatkan pada organisasi tarekat yang memiliki arti guru, yaitu guru yang mengajarkan tentang suatu ajaran tarekat, dan membimbing murid untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan petunjuk sekaligus memberikan contoh bagaimana ibadah yang benar secara syari’at dan hakikat. Lihat, Cecep Alba. Cahaya Tasawuf. (Bandung : CV. Wahana Karya Grafika. 2009. h. 145).

Penulis: Warto’i (Pemred JATMAN Online)