Mengulas Tarekat Syattariyah dalam Naskah Babad Cirebon

Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15 yang dinisbatkan pada nama pendirinya Abdullah asy- Syattar. Nasab Syekh ‘Abdullah asy- Syattar bersambung sampai kepada Rasulullah saw. melalui jalur Imam Hasan bin ‘Ali.
Nisbah asy-Syattar menurut beberapa riwayat berasal dari kata syatara artinya membelah dua. Kemungkinan istilah ini merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapai, yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Mursyid.
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari, juga Muhammad Ghaus dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri.
Kemudian salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat memiliki peranan besar dalam perkembangan tarekat ini di India hingga membuatnya tersebar ke berbagai negara seperti Arab bahkan Indonesia.
Tradisi tarekat India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (w. 1606), salah seorang murid Wajihuddin yang mendirikan zawiyah di Madinah. Kemudian diteruskan oleh Ahmad Syimnawi (w.1619), Ahmad al-Qusyasyi (w.1661), Ibrahim al Kurani (w.1689), yang kemudian menyebar di Indonesia melalui Syekh Abdul Rauf Singkel dan diteruskan oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
Namun dalam versi lain, Babad Cirebon menyebutkan bahwa Tarekat Syattariyah sudah masuk ke Indonesia melalui Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Jati Purba atau Sunan Gunung Jati. Dalam teks tersebut tidak dijelaskan Sunan Gunung Jati mengambil sanad dari mana, namun berdasarkan cerita, ia yang merupakan putera Nyai Rara Santang bersama Sultan Mesir yang kelahirannya sendiri menjadi perbincangan ulama-ulama sufi di Mesir pada waktu itu dan diprediksi akan menjadi ulama besar.
Ketertarikannya pada tarekat berawal dari ketika ia membuka kitab-kitab tasawuf di dalam perpustakaan mendiang ayahnya dan mendapatkan petunjuk bahwa ia harus mempelajari syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dari situlah seolah ia mendapat hidayah dari Allah dan dibimbing untuk belajar tasawuf kepada Rasulullah saw. secara langsung.
Pengalaman spiritual itulah yang kemudian mengantarkannya ke Jawa dan bertemu dengan Syekh Nurjati. Syekh Nurjati sendiri dalam cerita disebut sebagai ulama sufi terkemuka yang berasal dari negeri Arab dan banyak dicari oleh ulama-ulama lain dari berbagai negara.
Sebelum bertemu dengan gurunya itu, perjalanan demi perjalanan membuat Sunan Gunung Jati semakin meresapi makna syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Sehingga pertemuan dengan gurunya itu hanya memperdalam dan menguatkan apa yang telah diperolehnya sendiri.
Keyakinan tersebut juga diperkuat setelah Sunan Gunung Jati menemui Sunan Ampel dan berdiskusi tentang keterkaitan ilmu syariat dan tarekat yang keduanya harus berjalan beriringan. Karena ilmu yang dimilikinya sudah purna, Sunan Gunung Jati kemudian mendirikan semacam pedepokan pesantren di Gunung Amparan Jati, Cirebon dan mensyiarkan Islam di sana. Dari sinilah, mulai muncul karamah waliyullah yang menarik masyarakat kecil berduyun-duyun untuk berguru ilmu agama kepadanya. Sehingga dalam waktu singkat, kemajuan Pesantren Gunung Amparan Jati berkembang pesat.
Dari rentetan perjalanan ini, pengarang kemudian menyinggung eksistensi Tarekat Syattariyah yang diawali oleh kisah seorang tokoh yang bernama Ki Gedhe Kuningan yang hendak berguru kepada Sunan Gunung Jati. Sesampainya di Pesantren, Sunan Gunung Jati sedang mengajarkan syariat ilmu agama rasul. Setelah diterima, kemudian Ki Gedhe Kuningan ikut bergabung kedalam majelis itu di mana ia mendengar Sunan Gunung Jati sedang mengajarkan mereka amalan Tarekat Syattariyah.
Dari sepenggal kalimat tersebut, pengarang meyakini bahwa Tarekat Syattariyah sudah lebih dulu masuk ke Cirebon jauh sebelum di bawa oleh Syekh Abdul Rauf Singkel. Padahal, menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Sunan Gunung Jati tidak hanya mendalami Tarekat Syattariyah, tetapi juga Tarekat Naqsabandiyah dan Sadzililyah.
Namun, ada keganjilan dalam keterangan Babad Cirebon, di mana Tarekat Syattariyah sudah ada bersamaan dengan berkembangnya dakwah di Cirebon yang dilakukan pada abad ke-16. Padahal tarekat tersebut baru berkembang luas di Arab pada periode yang sama. Itu artinya, pengarang ingin menyampaikan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling cepat menerima tarekat ini melalui Sunan Gunung Jati yang menyebarkan ke Pulau Jawa, bukan melalui Syekh Abdul Rauf Singkel dari Pulau Sumatera walaupun akhirnya berkembang pesat di Jawa Barat melalui Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
Pada akhirnya, naskah tersebut bisa menjadi perbandingan untuk melihat asal muasal tarekat yang masuk ke Indonesia. Meskipun hanya disebut satu kali, namun itu bisa menjadi praduga awal dalam mengkaji keberadaan Tarekat Syattariyah di Nusantara. Karena tidak mungkin pengarang menyebutkannya dalam Babad Cirebon jika tidak dilandasi pengetahuan terhadap apa yang ditulisnya itu.
Wallahu a’lam bisshawwab