Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Mata Cucunya

September 19, 2023 - 07:17
 0
Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Mata Cucunya

Kami di ndalem beliau, tepatnya di depan pondok pesantren Tebuireng. Kami duduk mulai dari ba’da Maghrib hingga jam 9 malam, dengan ditemani Bu Nyai. Beliau banyak bercerita tentang kehidupan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang notabenya masih kakek beliau. Yang Nasabnya beliau Gus Mahmad, putra dari KH. Baidlowi Asro yang menikah dengan putri Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, yaitu Bu Nyai Aisyah  dari pasangan Kyai Hasyim dengan Bu Nyai Nafiqoh.

Gus Mahmad menjumpai Yai Hasyim lumayan lama, karena ketika wafatnya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada bulan Ramadhan, beliau sedang menjalani liburan kenaikan dari sifir awal ke sifir tsani di madrasah Salafiyah Syafiyah Tebuireng, dan saat itu madrasah Salafiyah Syafiyah memiliki dua jenjang, sifir awal dan sifir tsani, dan setiap Sifir tersebut ditempuh selama 4 tahun. Jadi masa belajar di Madrasah Tebuireng 8 tahun, dan model madrasah seperti ini masih di terapkan di pondok Ploso kediri. Perkiraan umur Gus Mahmad saat wafatnya kakeknya Yai Hasyim Asy’ari, berumur 15 tahum. Jadi beliau banyak muasyaroh dan tatap muka dengan kakeknya yaitu Kyai Hasyim. Seperti biasa welas asih kakek kepada cucunya luar biasa welasnya. Beliau menceritakan bahwasanya setiap pagi Hadratussyaikh keluar rumah untuk nyambangi putra putrinya, yang rumahnya tersebar di sekeliling pondok. Tak terlewatkan Gus Mahmad yang masih kecil juga ikut di sambangi oleh Hadratussyaikh. Beliau juga bertutur, tak hanya di sambangi saja oleh Hadratussyaikh, tapi juga didoakan dan terkadang disangoni.

Hasyim Asy'ari
al-Maghfurlah KH. Mahmad Bin KH. Baidlowi Asro

Kyai Hasyim bukan hanya seorang kyai yang membaca kitab kuning, tetapi kyai Hasyim itu juga seorang pejuang, mujahid, dan orang kaya yang dermawan. Kyai Hasyim setiap hari selasa meliburkan pengajian di pondoknya, guna mengurus sawah yang berhektar-hektar. Dengan hasil sawah inilah Yai Hasyim bisa berjuang mendirikan pondok, karena berjuang tidak hanya dengan ucapan manis saja tapi harus berani berkorban, dengan kekayaan Yai Hasyim lah beliau berani menentang belanda. Gus Mahmad juga bercerita bahwa Yai Hasyim itu satu satunya orang di diwek yang mempunyai mobil, padahal saat itu bos pabrik gula Cukir belum punya. Hal ini membuktikan bahwa Yai Hasyim sangat lah orang yang diatas cukup. Harga mobil saat itu sangat mahal sekali, tetapi Yai Hasyim mampu untuk membelinya. Yai Hasyim membeli mobil tidak untuk foya-foya dan pamer kekayaan tetapi untuk berjuang. Dengan mobilnya itulah Yai Hasyim bisa bolak-balik Surabaya Jombang dengan mudah, guna untuk memperjuangkan NU, yang saat itu kantor utamanya di Surabaya atau memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan sopir Yai Hasyim tak lain adalah putranya sendiri yaitu Gus Wahid, ayahanda dari Gus Dur.

Tetapi Yai Hasyim tidak sombong dengan kekayaannya, tapi Yai Hasyim sangatlah dermawan. Pernah diceritakan dari santri Hadratussyaikh KH. Hasyim, yaitu Allah yarham KH. Mansur Djailani; seperti biasa setiap Ramadhan Yai Hasyim membaca kitab sohihain yakni, sohih bukhori dan muslim. Kedua kitab itulah yang diistiqomahkan Yai Hasyim saat kilatan di bulan Ramadhan, karena dua  kitab tersebut kitab yang paling sohih setelah Al-Qur’an. Pembacaan kedua kitab dimulai dari awal Rajab dan dikhatamankan pada tanggal 29 Ramadhan. Dan pada tanggal itulah Yai Hasyim memberikan sanad kitab Bukhori dan Muslim, yang muttasil sampai muallifnya. Sanadnya ditulis dengan kapur di papan tulis sampai tiga papan tulis, karena pada zaman itu belum ada foto copy, jadinya di tulis di papan tulis. Dengan mepetnya waktu khataman dengan Idul Fitri, ada sebagian santri yang pulang, ada yang tidak pulang bertahan di pondok. Dan menurut Yai Mansur, santri yang ingin pulang tetapi tidak mempunyai ongkos pulang, disangoni Yai Hasyim untuk bekal pulang. Dan santri yang tidak pulang makannya ditanggung Yai Hasyim. Ini menunjukkan sifat kedermawanan dan perhatiannya beliau terhadap santrinya.

Dan ada kisah yang diceritakan Gus Mahmad, bahwa Yai Hasyim sangat peduli dengan tetangga sekitar dalam hal sosial-ekonomi. Seperti yang diceritakn di atas, setiap pagi Yai Hasyim keluar mengunjungi putra putrinya. Dan saat itu ada tetangga pondok berjualan sayur sayuran di depan pondok, sekarang yang ditempati warung nasi Cianjur, tak lain ibu yang berjualan sayur adalah nenek dari pemilik warung Ciganjur. Dan saat Yai Hasyim berjalan-jalan di depan pondok, Yai melihat ada sesuatu yang janggal. Yang biasanya ada yg berjualan di depan pondok tiba-tiba kok tidak berjualan. Yai Hasyim penasaran dengan hal itu, beliau bertanya kepada yang bersangkutan. Dan jawaban dari ibu tersebut; saya tidak berjualan lagi karena modal saya habis. Langsung seketika itu Yai Hasyim memberikan modal untuk meneruskan dagangannya. Dari itu Yai Hasyim sangat memperhatikan ekonomi tetangganya.

Jadi kewibaan Hadratussyaikh itu berasal dari kealimannya beliau, sehingga dijuluki ‘Hadratussyaikh’ yang berarti Maha Guru, dan juga dengan kekayaannya. Gus Mahmad juga bercerita, bahwa Kyai Hasyim juga sering diskusi dengan ayahnya, yaitu KH. Baidlowi Asro, yang notabenya alumni Al Azhar Mesir dan juga menantu beliau.  Yai Hasyim mendatangi ke rumah menantunya untuk diskusi, dan Gus Mahmad sering diperintahkan Ayahnya, ketika berdiskusi dengan Yai Hasyim, untuk mengambil kitab di rak lemari. Dan menantu Yai Hasyim ini juga sering Mbadali Yai Hasyim ketika berhalangan mengajar sebab sakit. KH. Baidlowi juga pernah menjadi pengasuh ke 4 pesantren Tebuireng, hal ini jarang terjadi di lingkungan pesantren, menantu bisa menduduki jabatan pengasuh pesantren, karena biasanya yang menjadi pengasuh itu putra-putranya.

Inilah yang kami dapatkan dari sowan Gus Mahmad. Setelah sowan, sekitar satu bulan setelahnya, tepatnya 22 Mei 2017, Beliau Gus Mahmad dipanggil oleh Allah, setelah subuh. Semoga Allah mencurahkan Rahmat kepada beliau dan mengampuni seluruh dosanya. Lahu Al fatihah. Pesan beliau kepada kami “Ngelanjutin kemanapun sama saja,  yang terpenting adalah kesungguhan dan ketekunan dalam menuntut ilmu.”

Wallahu A’lam. [M. Ilham Zidal Haq/M. Alvin Jauhari (Santri Tebuireng)]