Filosofi Memelihara Burung

Memelihara burung adalah salah satu kegiatan yang banyak diminati di Indonesia. Kicauannya yang merdu, bulunya yang indah, dan perawatannya yang relatif mudah menjadi salah satu daya tarik, sehingga banyak pula kompetisi-kompetisi yang melombakan burung-burung ini.
Terlebih dalam beberapa keterangan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas, ternyata memelihara burung adalah hal yang diperbolehkan
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ – قَالَ: أَحْسِبُهُ – فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya memiliki seorang adik lelaki, namanya Abu Umair. Usianya mendekati usia baru disapih. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, beliau memanggil, ‘Wahai Abu Umair, ada apa dengan Nughair?’ Nughair adalah burung yang digunakan mainan Abu Umair,” (HR. Bukhari )
Kemudian, dari hadis di atas, Al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan hukum dari memelihara burung dengan
جواز إمساك الطير في القفص ونحوه
“(Hadis ini dalil) bolehnya memelihara burung dalam sangkar atau semacamnya.” (Fathul Bari, 10/584).
Penjelasan lain dari ulama Syafi’iyah dicantumkan dalam karya Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani:
وسئل القفال عن حبس الطيور في أقفاص لسماع أصواتها وغير ذلك فأجاب بالجواز إذا تعهدها مالكُها بما تحتاج إليه لأنها كالبهيمة تُربط
”imam al-Qaffal ditanya tentang hukum memelihara burung dalam sangkar, untuk didengarkan suaranya atau semacamnya. Beliau menjawab, itu dibolehkan selama pemiliknya memperhatikan kebutuhan burung itu, karena hukumnya sama dengan binatang ternak yang diikat.” (Hasyiyah as-Syarwani, 9/210).
- Baca juga: Filosofi Memancing Menurut Ulama Thariqah
Atas dasar tersebut, kemudian banyak ulama-ulama yang pada akhirnya memiliki kegiatan memelihara burung sebagaimana ulama sepuh asal Garut, Jawa Barat, KH Amin Muhyidin Maolani yang sempat memelihara burung cenderawasih asal dari Papua.
Selain menjadi daya tarik karena keindahannya, memelihara burung rupanya mempunyai nilai filosofis yang jarang dikemukakan. KH. Hamim, ulama thariqah asal Bojonegoro menilai bahwa setiap kegiatan harusnya terdapat ibrah di dalamnya, sama halnya dengan salah satu kecintaannya terhadap burung.
Burung Perkutut misalnya. Dalam Bahasa Jawa, nama ‘Perkutut’ bisa menjadi sebuah akronim dari kepanjangan ‘Perkara akune ojo katut’, Di mana bahwa setiap ada apapun jangan sekali-kali menganggap bahwa dirinyalah yang menjadi sebab mendapatkan sesuatu. Dalam kata lain dia telah ujub, seperti ucapan, “Kalau tidak ada aku, dia tidak akan bisa begitu.” Sehingga, keberadaan burung Perkutut itu sekaligus untuk mengingatkan pemiliknya untuk beri’tibar ketika setiap kali melihatnya.
Selain itu, KH. Hamim juga memelihara burung Kutilang, yang menurutnya sebagai akronim ‘Akune kudu ilang’. Maksudnya, bahwa dalam memberikan sesuatu, tidak ada unsur ke-aku-an di sana. Karena ‘Aku’ hanya sebagai perantara Allah dalam menyebar kebaikan. Sehingga setiap kebaikan tersebut harus dinisbatkan kepada Allah dan hanya untuk Allah, bukan atas dasar dirinya.