Definisi Memilih Teman

Asy-Syekh Ibnu Athaillah Al-Sakandari menjelaskan:
ولأن تصحب جاهلا لا يرضى عن نفسه خير لك من أن تصحب عالماً يرضى عن نفسه، فأي علم لعالم يرضى عن نفسه؟ وأي جهل لجاهل لا يرضى عن نفسه؟
“Anda bersahabat dengan orang bodoh tetapi tidak mengikuti keinginan nafsu buruknya, lebih baik daripada anda bersahabat dengan orang alim, tetapi suka mengikuti keinginan nafsu buruknya. Di manakah letak ilmu yang dimiliki orang alim, kalau ia senang mengikuti keinginan nafsu buruknya, dan dimanakah letak kebodohan orang bodoh yang tidak menuruti nafsu buruknya.”
Ungkapan ini kemudian disyarahkan oleh Syekh Muhammad bin Ibrahim Ibnu Abbad Al-Nafazi Al-Rundi. Menurutnya, faedah pergaulan pada dasarnya adalah untuk menambah kebaikan dan meningkatkan beribadah kepada Allah dalam arti secara luas. Pergaulan memiliki pengaruh yang signifikan dalam cara berpikir dan berperilaku seseorang. Dengan pergaulan seseorang dapat menyingkirkan rasa individual dan egonya. Dan melalui pergaulan pula seseorang bisa mengerti betapa pentingnya solidaritas untuk melakukan yang konstruktif (bersifat membangun masyarakat yang baik).
Tetapi melalui pergaulan pula seseorang dapat terpengaruh ke arah yang negatif. Oleh sebab itu, memilih teman pergaulan diperlukan agar terhindar dari pengaruh yang tidak baik yang akan merusak akhlak dan etika seseorang.
Karenanya, Ibnu Athaillah menyarankan agar tidak bergaul dengan orang yang suka menuruti keinginan nafsu buruknya, sekalipun ia dipandang sebagai orang yang berilmu. Sebab bergaul dengan orang semacam ini tidak ada gunanya, bahkan sangat berbahaya, karena ternyata ilmunya tidak bermanfaat dan yang berperan adalah kebodohan yang membuatnya memperturutkan nafsu. Ajakan ilmunya tidak dihiraukan, sehingga ia seperti tidak berilmu dan dikuasai nafsu nya. Apabila nafsu telah menguasainya maka ia akan merendahkan orang lain atau menyesatkan kelompok lain dan memandang hina orang lain.
Sebaliknya bergaul dengan orang yang tidak mau menuruti ajakan nafsu buruknya, sekalipun ia dipandang bodoh, adalah hal yang baik.
Bergaul dengan mereka lebih baik dan bermanfaat, karena kebodohannya tidak membahayakan. Sementara ilmu yang meskipun sedikit, dapat membuatnya enggan untuk menuruti nafsu, dan itu merupakan hal yang sangat baik dan bermanfaat. Dengan demikian ia berhasil menjalani hidup dengan ilmunya, bukan dengan kebodohannya. Ia merasa diri bodoh serba kekurangan dan memandang hina dirinya dihadapan Allah.
Sumber: Kitab Ghaus Al-Mawahib Al-Aliyyah fi Syarh Al-Hikam, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, Beirut hal 58
Penulis: Tgk Selamet Ibnu Ahmad (Mudir JATMAN Idaroh Syu’biyyah Kabupaten Bener Meriah)
Editor: Khoirum Millatin