Buka MQKN 2023, Prof Ramdhani: Alumni Pesantren Memiliki Jiwa yang Lembut

September 20, 2023 - 22:34
Buka MQKN 2023, Prof Ramdhani: Alumni Pesantren Memiliki Jiwa yang Lembut

Lamongan, JATMAN Online – Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag), Prof M Ali Ramdhani, mengatakan tugas para santri dan mahasantri peserta MQKN 2023 ini adalah melakukan bedah analisis terhadap masalah kontekstual, menjawabnya dengan pisau analisis yang ada dalam kitab turats.

“Masalah kontekstual semacam itu menjadi penting untuk dibahas, karena fiqih selalu dibahas sepanjang masa. Sama halnya ketika melihat penceramah perempuan itu luar biasa, logika yang matang, kejiwaan yang bijaksana, disampaikan kalimat yang tertutur melalui suara. Tetapi, ada satu doktrin menyebut bahwa suara perempuan adalah aurat,” jelasnya.

Hal tersebut dikatakannya saat menyampaikan arahan sekaligus membuka resmi Musabaqah Qiraatil Kutub tingkat Nasional (MQKN) 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Jawa Timur, Selasa (11/7/2023).

Dikutip dari NU Online, Maka dari itu, tugas para santri dan mahasantri adalah bagaimana kemudian ruang kekinian harus dijawab melalui khazanah yang kita miliki, sehingga apa dilakukan tidak melanggar. Caranya dengan pisau analisis yang ada dalam kitab turats.

Ketua LP Ma’arif PBNU ini menjelaskan bahwa rekontekstualisasi agama merupakan upaya penting di tengah komunitas yang memahami agama secara leksikal, yang kemudian menjadi referensi bagi masyarakat umum sehingga kerap kali terjadi salah paham.

“Rekontekstualisasi agama menjadi penting ketika dituangkan pada harmoni dan kerukunan, bagaimana menerjemahkan agama secara proporsional. Sama halnya ketika meneladani apa yang dilakukan oleh Sunan Drajat dalam mengajarkan agama selalu mengedepankan kerukunan, asimilasi dengan budaya tanpa mengganggu esensi agama,” terangnya.

“Sebaliknya agama menjadi peneduh dalam kehidupan dan dilengkapi ruang-ruang kebudayaan sebagai pelengkap dari seluruh peradaban,” sambung Prof Dhani.

Lebih lanjut, pria kelahiran Garut, 6 November 1971, ini mengungkapkan bahwa dari pesantren belajar bahwa agama tidak akan pernah masuk ke ruang pribadi dengan cara kekerasan.

“Di pesantren kita diajarkan bahwa santri-santri itu harus memiliki potret wajah yang ramah, tidak marah. Yang mengajak, tidak mengejek. Yang membina, tidak menghina. Yang mencintai, tanpa mencerca. Yang merangkul, tidak memukul,” paparnya.

“Kita percaya bahwa alumni pesantren adalah mereka yang memiliki jiwa yang lembut. Karena sesungguhnya keilmuan seseorang tampak ketika dia mampu mengimplementasikan ke dalam perilaku yang lembut,” ungkapnya.