Berbaik Sangka Kepada Allah

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa tiga hari sebelum Rasulullah Saw. wafat, ia bersabda,
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah sekali-kali satu dari kalian meninggal kecuali dia berbaik sangka kepada Allah”
Hadis yang dishahihkan oleh Imam Muslim tersebut mengandung makna taukid, yakni penegasan bahwa perintah ini sangat krusial. Terlebih pesan ini disampaikan oleh Rasulullah menjelang hari kembalinya menuju kekasih abadi. Tentu saja ini menjadi catatan penting.
Berbaik sangka atau husnuzhan sejatinya bukan hanya berlaku kepada sesama manusia saja sebagaimana dalam Surat Al-Hujurat ayat 12, tetapi juga kepada Allah Swt. karena sesungguhnya tanpa sadar manusia kerap meragukan kebesaran Allah, menyangsikan ketetapan-ketetapan yang telah diputuskannya serta menolak segala takdir yang tidak dikehendaki. Sehingga nilai keimanan hanya sampai pada syahadat lisan saja, bukan di hati.
Percaya kepada Allah yang menempati posisi pertama dalam rukun Iman pada hakikatnya meliputi keyakinan yang hakiki bahwa segala kehendak Allah adalah yang terbaik. Bukan hanya sebatas ilmul yaqin, atau ainul yaqin, tetapi juga haqqul yakin. Lalu apa bedanya dari ketiga hal tersebut?
Dalam kitab Risalatul Qusyairiyah disebutkan,
فعلم اليقين على موجب اصطلاحهم هو ماكان بشرط البرهان، و عين اليقين ماكان بحكم البيان، و حق اليقين ماكان بنعت العيان
“Ilmul Yaqin dalam pengertian istilah mereka (ahli tasawuf) adalah sesuatu yang adanya disertai dengan syarat bukti (argumentasi/dalil). Ainul Yaqin adalah sesuatu yang adanya dengan hukum bayan (penjelasan), Haqqul Yakin adalah sesuatu yang adanya dengan sifat terang.”
Jika manusia masih membutuhkan bukti dan penjelasan tentang kebesaran dan otorisasi Allah, berarti ia hanya sampai pada ilmul yaqin dan ainul yaqin. Namun jika manusia mampu berprasangka baik kepada Allah, tanpa penjelasan dan bukti sebelumnya, dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah tentu saja sudah menenetapkan yang terbaik, maka ia sudah sampai pada keyakinan yang hakiki dan keyakinan ini diperlukan dalam berhusnuzhan kepada Allah.
Lalu bagaimana jika kita masih berburuk sangka kepada-Nya?
Mari kembali pada Surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa…”
Pada ayat di atas, Allah saja melarang berprasangka buruk kepada sesama manusia, apalagi berprasangka buruk kepada pencipta manusia?
Meskipun tidak menjelaskan secara spesifik bahwa berprasangka buruk kepada-Nya adalah dosa, namun secara dalil, kita perlu memahaminya bahwa larangan untuk perkara yang kecil bukan berarti diperbolehkan untuk perkara yang besar seperti larangan untuk mendekati zina merupakan satu kesatuan dengan perbuatan zina sehingga keduanya tidak boleh dilakukan.
Sama halnya dengan larangan berburuk sangka kepada manusia merupakan satu kesatuan dengan semua hal yang berhubungan dengan objek prasangka sehingga berburuk sangka tidak boleh dilakukan, terlebih kepada Allah Swt.
Namun yang jadi spotlite di sini adalah bahwa Allah tidak menggunakan bahasa larangan untuk diri-Nya sendiri, melainkan bahasa-bahasa persuasif seperti ajakan dan tawaran, seperti hadis qudsi berikut,
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Allah Swt. berfirman: Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”
Pada hadis di atas, tampak Allah memberikan kebebasan kepada hamba untuk memberikan penilaian kepada Tuhan-Nya. Namun kebebasan tersebut mengarah pada kebaikan bukan pada keburukan. Hal ini dapat kita lihat ketika membaca lanjutan dari hadis tersebut. Maka kita akan menemukan banyak tawaran yang menjanjikan jika kita mau berprasangka baik.
“Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).”
Artinya, bahwa Allah menjamin kepada hamba-Nya yang yakin, dengan balasan yang melebihi ekspektasi. Sehingga kekhawatiran yang timbul akibat ketidakpercayaan hamba terhadap semua putusan Tuhan justru akan dibalas dengan kebaikan yang datang setelahnya karena tidak ada kerugian sedikitpun yang diperoleh sebab berbaik sangka. Bahkan sebaliknya, Allah akan datangkan hikmah yang tidak akan diduga-duga. Wallahu a’lam