Wahdatul al-Wujud dalam Pandangan Syekh Syamsuddin Asy-Syumatrani

Maret 31, 2024 - 17:51
April 1, 2024 - 17:53
 0
Wahdatul al-Wujud dalam Pandangan Syekh Syamsuddin Asy-Syumatrani

Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama sufi terkemuka yang hidup pada abad ke 16-17 M. Ia telah memberi pengaruh dalam pengembangan intelektualitas dan spiritualitas keislaman di Aceh pada abad tersebut. Mengenai asal-usulnya, kapan dan di mana ia lahir tidak diketahui secara pasti. Namun sebutan ‘Sumatrani’ yang selalu ada di belakang namanya merupakan penisbatan dirinya kepada negera “Sumatera” alias Samudera Pasai. Di kepulauan Sumatera ini dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang ternama, yakni Samudera Pasai. Itulah sebabnya ia terkadang disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut Hikayat Aceh kedudukan sebagai penasihat sultan diperoleh Syamsuddin bukan sebagai hadiah dari Sultan Iskandar Muda (yang memerintah pada tahun 1606 hingga 1636), melainkan karena memang ia mempunyai pengetahuan yang tinggi sehingga diangkat menjadi penasihat sultan. Sebagai seorang ulama, sufi, dan filosof yang memperoleh dukungan penuh dari Sultan Iskandar Muda, Syamsuddin dapat lebih leluasa mengembangkan ajaran-ajarannya. Oleh sebab itu, di Aceh ia memiliki pengaruh yang cukup besar dan luas.

Ajaran yang dikembangkannya dikenal dengan nama ajaran Martabat Tujuh, yaitu ajaran yang menjelaskan tajjalli ‘manifestasi Tuhan’ melalui tujuh jenjang. Ajaran tersebut bersumber dari konsep Wujudiyah Syekh Ibnu Arabi dan Syekh Abdul Karim al-Jili. Karena yang dibahas di dalamnya adalah masalah hubungan antara wujud dan hakikat Tuhan dan alam, ajaran itu disebut pula sebagai ajaran Wujudiyah. ajaran tasawuf yang termasuk ke dalam golongan tasawuf falsafi.

Titik tolak ajaran Syamsuddin As-Sumatrani tentang wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraanya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan kalimat tauhid tersebut bagi para salik (penempuh jalan tarekat tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah. Bagi para salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-Mutawwasith), kalimat tauhid itu dipahami dengan pengertian tidak ada maksud kecuali Allah. Adapun Bagi para salik yang sudah berada pada tingkat paling atas (al-Muntahi), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian tidak ada wujud kecuali Allah.

Bahrum Rangkuti berpendapat melalui ajaran tersebut Syamsuddin As-Sumatrani sebenarnya ingin menyatakan bahwa segala sesuatu berpusat pada Allah, sebagaimana yang dikemukakan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani dalam kitab Jauhar al-Haqa’iq mengatakan,

فطريق ذكرك أن تقول بلسانك لا إله إلا الله وتحفظ بقلبك معناها نفيا وإثباتا. فالنفي أن تنفي أنيتك الوهمية بأن تصور لا أنية لي. والاثبات أن تثبت في قلبك الحق تعالى بأن لا تتصور فيه إلا الله

“Metode zikirmu adalah engkau mengucapkan لا إله إلا الله dengan lisanmu dan engkau menjaga maknanya dengan hatimu dengan cara nafi (penafian) dan itsbat (penetapan). Maksud Nafi engkau menghilangkan keakuan/wujud dirimu yang ilusif (anaiyyah wahmiyyah) dengan cara menggambarkan aku tidak memiliki keakuan diri sama sekali. Adapun maksud itsbat adalah menetap dalam hatimu hakikat Al-Haq Subhanallah wa’ Ta’ala dengan tidak membayangkan di dalam nya kecuali hakikat Allah.”

Syamsuddin As-Sumatrani menegaskan adanya perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-Muwahiddin al-Shiddiqin) dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut pantheisme. Di satu sisi, dua golongan tersebut memang sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yaitu tiada Wujud selain Allah, sedangkan wujud segenap alam hanyalah bersifat bayangan atau majazi. Tetapi kedua golongan tersebut juga memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil.

Bagi kaum pantheisme yang zindiq alias sesat, mereka memahami wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakkannya). Para penganut paham pantheisme ini mengindentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin As-Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin As-Sumatrani, sebagaimana paham Ibnu Arabi, adalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Allah sementara alam dan segala sesuatu selain Allah keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum), tetapi jika dilihat dari segi keberadaanya karena wujud Allah, maka jelaslah alam itu ada (maujud). Dalam tauhid Sebagaimana Ibnu Arabi, As-Sumatrani menenkankan kombinasi antara transeden [tanzih] dan imanen [tasybih]. Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam menjelaskan metode transeden dan imanen.

فإن قلت بالتنزيه كنت مقيدا. وإن قلت بالتشبيه كنت محددا 

وإن قلت بالامرين كنت مسددا وكنت إماما في المعارف سيدا 

فمن قال بالاشفاع كان مشركا ومن قال بالافراد كان موحدا فاياك والتشبيه إن كنت ثانيا وإياك والتننزيه إن كنت مفردا فما أنت هو : بل أنت هو وتراه في عين الأمور مسرحا ومقيدا.

قال تعالى: " ليس كمثله شىء، فنزه وهو السميع البصير فشبه. قال تعالى: ليس كمثله شىء، فشبه وثنى وهو السميع البصير [ الشوري: ١١] فنزه وافرد.

Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikat-Nya. Jika engkau berkata tasybih, engkau membatasi-Nya. Jika engkau berkata keduanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan. Siapa saja yang berkata dengan dualistis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam adalah muwahid. Oleh karena itu berhati-hatilah terhadap tasybih jika engkau dualistis, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih, jika engkau muwahid. Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah dia dan engkau melihatnya dalam ain (esensi) segala sesuatu, baik sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuai yang terikat. Allah berfirman "Tidak ada sesuatu yang sama dengan Dia" [QS. Asy-Syuu'ara : 11] mengandung makna "Tanzihkanlah Dia" sedangkan Firman-Nya, "Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat" [QS. Asy-Syuu'ara: 11] mengandung makna "Tasybihkanlah Dia." Denga demikian Firman Allah tidak ada sesuaty yang sama dengan Dia, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat [QS. Asy-Syuu'ara : 11]. Mengandung makna Tasybihkanlah Dia dan jadilag dualistis, dan tanzihkanlah Dia dan jadilah muwahid. [ Kitab Fushush Al-Hikam, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut hal 55 ].

Syamsuddin As-Sumatrani, dalam Jauhar al-Haqa’id menjelaskan konsep tanzih [transeden] dan imanen [tasbih] Syekhul al-Akbar Ibnu Arabi diatas dengan katanya;

معرفة كاملة هي الجامعة بين التنزيهيه والتشبيهية ثم التنزيهية المحضية، حتى لا يفوت منك المعرفة التشبيهية التي هي من جهة ظهوره تعالى في الأجسام. فإن من كانت معروفة له تعالى معرفة تنزيهية محضة فهو عارف ناقص، ومن كانت معرفته تشبيهية محضة فهو جاهل كافر بينهما. (ومن كانت معرفته جامعة بين التنزيهية والتشبيهية المحضتين.) ثم تنزيهية محضة فهو عارف كامل مكمل، فالله الله عليك.

Makrifat sempurna adalah makrifat yang menghimpun antara tanzih (ketakterbandingan)Nya dan tasybih ( keserupaan)Nya serta tanzih mahdha (pencucian murni) hingga tidak lenyap darimu pengertian tentang keserupaan Nya (al-Makrifah al-Tanzihiyyah) yang merupakan sisi pendhahiran Allah di dalam Ajsam (tubuh fisik). Sebab orang yang makrifatnya kepada Allah sebatas tanzih semata-mata ialah ahli makrifat yang tidak sempurna (Arif naqish). Orang yang makrifatnya hanya sebatas tasybih semata-mata ialah orang bodoh yang tertutup dari ketakterbandingan Nya yang murni (tanzihiyya mahdhah) dan keserupaan-Nya yang hakiki (tasybihiyyah mahdhah). 

Selanjutnya orang yang makrifatnya menghimpun antara tanzihiyyah mahdhah dan tasybihiyyah mahdhah kemudian tanzihiyyah mahdhah ialah orang Arif yang Kamil Mukamil (sempurna lagi menyempurnakan). Maka Allah adalah Allah yang bersama dirimu. (Kitab Jauhar al-Haqa'iq, Maktabah al-Wathaniyah al-Jamahiriyah, hal 46)

Sumber:

Ensiklopedia Ulama Besar Aceh Vol 2, diterbitkan LKAS (Lembaga Kesejahteraan Aceh Semata), 2010,

Syamsuddin Asy-Syumatrani, Jauhar al-Haqa’id, Maktabah al-Wathaniyah lil Jamahiriya, Indonesia, 2009.

Muhiyidin Ibnu Arabi, Fushush Al-Hikam, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut.

Penulis adalah Dosen dan Anggota Pengurus Rumah Moderasi Beragama STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat.