Tasawuf dalam Banyak Perspektif

Tasawuf adalah way of life, atau cara pandang hidup yang substantif dalam perspektif Ihsan. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ketika Jibril as. mendatangi Rasulullah dan menanyakan apa itu iman, Islam dan ihsan.
Iman berkaitan dengan akidah yang kemudian menjadi Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam. Islam berkaitan dengan syariat seperti shalat, puasa, zakat, haji yang kemudian menjadi Ilmu Fikih. Adapun Ihsan berkaitan dengan perintah Rasulullah saw., “hendaklah ibadah itu seolah-olah melihat Allah, jika tidak mampu maka ibadahlah dengan keyakinan diperhatikan Allah”.
Ibadah yang seolah-olah melihat Allah itulah yang disebut makrifatullah atau musyahadah. Sedangkan ibadah dengan kesadaran batin yang terus diperhatikan Allah itu yang disebut maiyah atau muraqabah. Dua maqam ini tidak bisa dicapai kecuali dengan keadaan batin yang sudah sangat bersih. Proses pembersihan batin ini didalami oleh ilmu yang disebut Akhlak Tasawuf.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa rukun agama itu terbagi tiga, persoalan syariat, akidah dan akhlak tasawuf. Dari sini kita melihat jika tasawuf adalah bagian dari agama yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam kacamata lain, tasawuf adalah bagian terdalam Islam yaitu esoterik, sementara syariat adalah eksoterik. Dalam bahasa Syekh Zaruk kalau diibaratkan manusia, maka badan adalah aturan lahiriyah fikih dan aturan batinnya adalah tasawuf. Sehingga tasawuf tanpa fikih tidak mungkin dan begitu pula sebaliknya, merujuk pada maqalah Imam Malik,
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق
Barangsiapa yang hanya bermain spiritual tanpa aturan fiqih yang benar, maka ia zindik. Dan barangsiapa yang bermain hukum yang tidak punya komitmen spiritual kepada Allah maka ia fasik. Maka jika dia menekuni dua aturan dari Allah ini, barulah dia akan bertemu kebenaran yang sesungghunya.
Sementara secara definisi, Tasawuf menurut beberapa ulama berasal dari kata Shaf (barisan), Shafa (jernih), Suffiyah (Filosofiyah) dan Suff (wol kasar). Dari beberapa asal kata, Suff atau wol kasar inilah yang paling dekat maknaya dengan tasawuf. Isitilah ini menjadi identitas perlawanan terhadap gelombang hedonis yang muncul di akhir abad ke-2 sampai ke-3 H. di mana para sufi melawan mereka dengan pakaian sederhana dalam bentuk wol kasar. Demikian pula para nabi dan sahabat yang kebanyakan menggunakan wol kasar untuk pakaian mereka.
Secara istilah, definisi tasawuf sangat banyak sehingga Syekh Zaruk menyebut ada lebih dari dua ribu definisi. Di antara definisi tasawuf pada level pemula yang bisa dipegang adalah menurut Abu Husain An-Nuri yang merupakan murid Imam Junaid al-Baghdadi dan termasuk sufi besar di Mekkah pada waktu itu
الصوفية قوم صفت قلوبهم من كثورة البشرية وآفة النفس وتحرر من شهواتهم حتى صاروا فى صف الأول ودرجة العليا مع الحق فلما تركوا كلما سوى الله صاروا لا ملكين ولا مملوكين
Sufi adalah sekelompok orang yang sudah bersih hatinya dari noda manusiawi dan terbebas dari tuntutan nafsu sehingga ia berada di posisi terdepan bersama Allah. Kalau ia sudah mampu melepaskan ikatan dari selain Allah maka ia tidak bisa dimiliki siapapun dan tidak memiliki apapun kecuali Allah.
Sementara pada level menengah, menurut Muhammad bin Ali bin Ja’far Al Kattani, tasawuf adalah moralitas. Siapa yang moralitasnya bertambah, maka akan bertambah kesucian batinnya, sebagaimana kalam berikut:
التصوف خُلُق، فمن زاد عليك في الخُلُق، زاد عليك في التصوف
Dari sini, maka akan mudah menilai seberapa bersih hati seseorang. Semakin ia baik, maka akan semakin bersih, semakin ia jujur, maka akan semakin bersih, demikian pula semakin ia korup, maka akan semakin kotor. Jadi orang yang mengatakan bahwa tasawuf itu sulit diukur, dalam definisi Al Kattani itu terlalu mudah.
Puncaknya, yang disebut tasawuf adalah yang dikatakan Imam Junaid Al-Baghdadi,
“Sufi itu hendaklah kamu bersama Allah tanpa relasi apapun.”
Adapun semua orang memiliki potensi untui menjadi sufi. Imam Ghazali bahwa semua ruh itu asalnya sudah musyahadah sehingga ia mengatakan kepada Allah, “Ya, kami mempersaksikan.” Artinya kami semua musyahadah. Karena itu Imam Ghazali mengatakan bahwa semua orang itu ahlul makrifat. İa menjadi terhijab karena makanan yang dimakan ibunya, ada yang tidak halal, hingga begitu lahir ada nafsu yang menguasai dirinya. Untuk itulah diperlukan zikir sebagai pembersih hati.
Kalau orang tidak mengenal tasawuf, maka ia seperti jasad tanpa ruh. Dia akan gersang. Prof. Azyumardi Azra pernah mengatakan pada Buya Syafii Maarif, bahwa orang yang tidak mau mengenal tasawuf maka keberagamaannya itu akan kering.
Faktanya, banyak orang yang sudah hafal quran, mahir membaca kitab, tapi ia tidak merasakan nikmatnya shalat, karena itu harus ditekuni melalui belajar zikir yang benar.
Allah sendiri mengajarkan kepada kita dalam firman-Nya Qs. An-Nisa’ ayat 103
فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa).
Apabila sudah selesai shalat yang tidak khusyu’ Allah memerintahkan kita untuk belajar mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Sehingga kalau sudah tentram hati dengan zikir mengingat Allah, baru shalat Kembali. Maka rumusan ini tidak tergantikan. Di mana hal ini Allah tekankan juga dalam Surat Ar Ra’d,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوب
Ingatlah, dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tenang.
Hati kita tidak akan bisa tenang dalam makna hakiki tanpa mengingat Allah. Mungkin orang bisa mencari hiburan-hiburan. Tapi itu masih bermain di wilayah nafsu yaitu wilayah yang paling luar dan dangkal. Sementara yang lebih dalam adalah kenikmatan akal dan hati. Dan nikmat yang menentramkan sebenarnya ada di hati.
Oleh sebab itu sering kali kita melihat para ulama terdahulu yang tetap bahagia meski hidup sederhana. Karena mereka menciptakan bahagia itu dari dalam, bukan dari luar. Berbeda dengan orang modern yang bahagianya artificial. Jadi ia hanya bahagia ketika disandingkan sesuatu. Padahal ‘tempelan’ itu bisa hilang secepat kilat dan bisa rusak.
Syekh Abdul Wahab Asy-Sya'rani mengutip pendapat ulama dalam kitab Minahussaniyah dan Anwarul Qudsiyah, ia mengatakan,
“Allah itu pada orang-orang yang disayang biasa memberikan kesusahan, kegundahan pada orang-orang yang jauh dari Allah agar mereka kembali mengingat Allah.”
Sehingga ketika ia berwudlu, shalat dan berzikir, pasti kesusahannya hilang. Maka cara yang paling cepat menarik Rahmat Allah adalah melalui zikir dan ia akan bahagia di dalam hatinya dengan zikir tersebut.
Disarikan dari perkataan Dr, KH. Akhmad Sodiq, M.Ag (Pengasuh Ponpes Mihrobul Muhibbin dan Ulama TQN)
Editor: Khoirum Millatin