Perayaan Hari-Hari Tertentu

September 24, 2023
Perayaan Hari-Hari Tertentu

Tentang perayaan hari-hari tertentu menurut Maulana Syeikh Yusri Rusydi Jabr Alhasani.Pertama, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah beda antara hari perayaan yang syar’i (diperintahkan agama) dan perayaan yang ‘urfi (berasal dari tradisi, bukan dari syariat secara khusus)

Dengan tradisi, kita boleh memperingati hari apapun dan kapanpun. Misalnya; peringatan hari kelulusan, hari pernikahan, dan hari kelahiran. Itu semua tidak masalah, selama kita tidak meyakini bahwa itu adalah peringatan-peringatan yang diperintahkan secara khusus oleh agama, melainkan ia adalah hari di mana kita mendapat sebuah kenikmatan dan ingin merayakannya, tidak lebih.

Dulu, Nabi Saw memperingati hari kelahirannya dengan puasa hari senin, bahkan setiap minggu, bukan tahunan. Ketika ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab itu adalah hari kaliharanku. Yang perlu digarisbawahi pada hadis di atas adalah Nabi Saw tidak menjawab “itu adalah perayaan yang diperintahkan oleh Allah” melainkan “itu adalah hari kelahiranku”. Artinya, puasa senin adalah perayaan ‘urfi, bukan syar’i.

Begitu juga dengan hari Ibu misalnya, di mana masyarakat kita menjadikan hari tertentu untuk menghormati para ibu, karena kesibukan mereka melalaikan untuk berbakti kepada sang Ibu selama satu tahun penuh. Sehingga, dibuatlah hari khusus untuk mengingat jasa-jasanya, kumpul dengan ibu, memberikan hadiah dan membahagiakannya. Kadang ada satu anaknya yang tinggal jauh dari orangtuanya, merantau, menuntut ilmu, keperluan kerja dan lain-lain.

Jadi, peringatan hari ibu masuk ke dalam birrul walidain, meskipun seharusnya kita memperingatinya setiap hari. Namun, sebab tabi’at masa dan kesibukan masyarakat, mereka tidak bisa bersama ibu setiap hari, akhirnya disepakatilah satu hari khusus untuk ibu.

Persis seperti peringatan hari lahir, yang penting adalah jangan sampai mengatakan, “barang siapa yang tidak memperingati hari lahirku maka dia munafik, yang memperingatinya maka Allah akan memberikan mahkota kehormatan di hari kiamat nanti”. Perkataan seperti itu membutuhkan wahyu, harusnya Nabi yang mengatakan itu, tapi nyatanya tidak.

Pun dalam hari ibu, jangan sampe mengatakan bahwa mereka yang tidak memeperingatinya akan mendapat dosa, munafik, tidak boleh dishalati, dan tidak dikubur dipemakaman orang muslim.

Contoh perayaan ‘urfi lain adalah hari peringatan refolusi, hari syuhada, hari pembebasan sinai, hari kemerdekaan. Jadi, itu semua bukanlah masalah yang aneh dalam agama, biasa saja.

Seharusnya menyikapi hal-hal begini tidaklah dengan fanatisme golongan atau fanatisme beragama, ilmu adalah barometernya. Ilmu akan mengajarkan kita bahwa barometer utama dalam agama bukanlah fanatisme, melainkan Quran, Hadis, Qiyas, cinta kepada Nabi, tradisi masyarakat, tawadhu, mencintai sesama, dan keindahan-keindahan lainnya. Wallahu’alam.

Laporan: Ust. Ahmad Saiful Millah, L.c.