Mengenal Syekh Abdul Malik Purwokerto; Mursyid yang Dicintai Para Habaib (5)
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli thariqah senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.

Perjuangan Syekh Abdul Malik Melawan Penjajah
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli thariqah senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syekh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada tanggal 17 Agustus Habib Luthfi dan Syekh Abdul Malik pergi ke Pekalongan dengan mengendarai mobil. Di tengah-tengah hutan antara perjalanan daerah Bantarbolang ke Randudongkal, Syekh Abdul Malik menyuruh Pak Sayuti yang pada saat itu menyupiri beliau berhenti. Pak Sayuti yang pada saat itu dikira supir Mbah Abdul Malik, ternyata adalah seorang polisi namun sering menyupiri Mbah Abdul Malik jika mau berpergian. Saat beristirahat Syekh Abdul Malik menggelar tikar untuk duduk, mengeluarkan termos, dan rokoknya. Rokok yang sering dikonsumsi oleh Syekh Abdul Malik adalah rokok lintingan yang diracik sendiri oleh Syekh Abdul Malik. Waktu menunjukan pukul 09.50 WIB, Syekh Abdul Malik berhenti menghisap rokoknya dan mengirim doa untuk para pahlawan yang telah gugur saat memerdekakan Indonesia.
Habib Luthfi dan Pak Sayuti bingung melihat sikap Syekh Abdul Malik tersebut. Ternyata terdapat peristiwa penting yang terjadi pada 17 Agustus pukul 10.00 WIB yaitu pembacaan teks proklamasi. Kita berhenti sejenak untuk menghormati suah sejauh itu para sesepuh menghormati penanaman mencintai republik dan bangsa ini, kita belum ada apa-apanya.
Saat terjadinya peristiwa G30SPKI Syekh Abdul Malik melakukan safari ke daerah Bumiayu, Bresbes bersama Al Habib Hasyim Al-Quthban, Yogyakarta. Ketika zaman PKI orang yang akan melakukan perjalanan jauh hendaknya memiliki surat keterangan agar tidak ditangkap oleh orang-orang PKI. Namun Mbah Malik dan temannya lupa membawa surat keterangan tersebut. Kedatangannya ke Bumiayu untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada murid- muridnya untuk melawan menghadapi orang-orang PKI. Namun para prajurit PKI berhasil menghasut aparat setempat untuk menangkap Syekh Abdul Malik. Tertangkapnya Syekh Abdul Malik oleh Belanda dan dijebloskan ke dalam penjara dan membuat Al-Habib Hasyim Al- Quthban sedih dan wafat. Mbah Abdul Malik dibebaskan berkat disusul oleh cucunya yang bernama Nyai Fatimah.
Pesan dan Berpulang
Salah seorang cucu Syekh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw. Lakukan shalat fardu pada waktunya secara berjamaah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur’an dan qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah Saw. serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Disamping itu dalam berbagai kesempatan Mbah Malik sering menyampaikan pesan-pesannya kepada murid-murid dan cucu-cucu beliau untuk melakukan dua hal, yaitu pertama agar selalu membaca shalawat kepada Rasulullah Saw. dan kedua agar selalu mencintai serta menghormati dzuriyyah (cucu-cucu) Rasulullah Saw.
Menjelang wafatnya, Mbah Abdul Malik sakit karena usianya yang sudah mulai menua. Walaupun dalam keadaan sakit, Syekh seperti sudah mempunyai firasat bahwa umurnya sudah tidak panjang lagi. Nyai Siti Maunah sempat bertanya kepada Syekh Abdul Malik,
“Mbah ajeng medal napa (Mbah mau pergi kah)?” tanya Nyai Siti Maunah
“Ora, ngene bae (Tidak, di sini saja), “jawab Mbah Abdul Malik
“Niki sih ajeng enten nopo. Mbah (ini mau ada apa ya mbah)? tanya Nyai Siti Maunah
“Arep ana kekasihe Gusti Allah sing dipundhut (akan ada kekasih Allah yang akan diambil), jawab Mbah Abdul Malik.
Ternyata maksud dari ucapannya Mbah Abdul Malik adalah bahwa kekasihnya Allah yang akan diambil adalah Mbah Abdul Malik sendiri. Namun pada saat itu tidak ada yang menduga bahwa Mbah Abdul Malik akan meninggal. Selama Mbah Abdul Malik sakit ada tiga orang yang mendampingi dan merawat beliau di dalam kamar, yaitu Nyai Siti Maunah, H. Abdul Qodir (suami dari Nyai Siti Maunah), dan Nyai Siti Fauziya. Sehari sebelum meninggal, Mbah Abdul Malik berkeinginan menunaikan shalat di masjid. Namun permintaannya ditolak oleh Nyai Siti Maunah, karena kondisi Mbah Abdul Malik saat itu sudah semakin lemah.
“Aku arep shalat, mengko aku arep maring Masjid Dul. Mengko nek aku tes sholat, aku arep ngadep karo Gusti Allah (saya mau shalat. Nanti saya mau ke masjid. Kalau saya sudah shalat, saya mau menghadap Allah),” permintaan Syekh Abdul Malik kepada Kiai Abdul Qodir (Suami Nyai Siti Maunah)
Sebelum menunaikan sholat, Mbah Abdul Malik berpesan kepada cucunya Nyai Siti Maunah, bahwa beliau setelah shalat ingin tidur. Perkataanya pun menjadi kenyataan, maksud dari tidurnya itu adalah tidur untuk selamanya. Tidak percaya bahwa Mbah Abdul Malik sudah wafat, Kiai Abdul Qodir menyuruh Nyai Siti Maunah untuk mengeceknya dengan menggunakan cermin. Cermin tersebut di taruh dekat hidung Mbah Abdul Malik dan ternyata tidak ada bekas hembusan nafasnya yang menandakan Mbah Abdul Malik sudah wafat. Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas wafat pada hari Kamis tanggal 2 Jumadil Akhir tahun 1400 H/1980 M di kamar rumahnya di Kedung Paruk. Syekh Abdul Malik dimakamkan di belakang Masjid Bahaaul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien.