Mahabbah, Menempuh Jalan Menuju Allah
Istilah mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang berarti mencintai secara mendalam, khususnya kepada Allah. Jika umat Islam mencari mahabbah atau cinta murni ini, kemudian mencapainya ia akan dimuliakan Allah.

Istilah mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang berarti mencintai secara mendalam, khususnya kepada Allah. Jika umat Islam mencari mahabbah atau cinta murni ini, kemudian mencapainya ia akan dimuliakan Allah.
Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Anshari Ad-Dabbaq dalam kitab Masyriq Anwaar Al-Qulub wa Mafatih Asrar Al-Ghuyb menjelaskan,
“Sesungguhnya mahabbah (cinta) tidak dapat diungkapkan hakikatnya kecuali oleh orang yang merasakannya. Barangsiapa merasakannya, maka cinta itu akan menguasai pikirannya dan dapat membuatnya lupa akan apa yang sedang dia alami. Dan ini merupakan perkara yang tidak dapat diungkapkan.”
Perumpamaannya adalah seperti orang yang Şakar (mabuk berat). Jika dia ditanya tentang hakikat mabuk yang dialaminya, maka dia tidak akan dapat mengungkapkannya dalam ahwal ( keadaan) seperti itu. Sebab mabuknya telah menguasai akalnya. Adapun perbedaan antara dua jenis mabuk ini adalah bahwa mabuk yang disebabkan oleh minuman keras merupakan suatu hal yang insidential dan bisa dihilangkan. Orang yang mabuk bisa menjelaskan keadaannya ketika dia sudah sadar. Sementara mahabbah (mabuk cinta) merupakan sesuatu yang esensial dan tidak dapat dielakkan. Orang yang mengalaminya tidak mungkin sadar darinya, sehingga dia tidak dapat menjelaskan hakikatnya. Seorang sufi bersyair,
Orang yang mabuk karena khamar akan sadar
Dan orang mabuk karena cinta akan mabuk selamanya.
Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Al-Qusyairiyah menjelaskan,
“Cinta Allah (mahabbatullah) kepada hamba adalah pujian Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, dan Allah memuji dengan Sifat Jamal (Keindahan) Nya. Makna cinta Allah kepada hamba menurut pandangan ini yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan Kalam-Nya adalah Qadiim.”
Cinta-Nya kepada si hamba termasuk dari af’al (Perbuatan-Nya) sebagai Tajalli Ihsan-Nya, di mana Allah menemui hamba-Nya sekaligus Ihwal Ruhani khusus, di mana si hamba menaiki maqamatnya. Sebagaimana ungkapan ulama sufi, ‘Rahmat-Nya kepada si hamba adalah menyertai Nikmat-Nya’. Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Maqam mahabbatullah merupakan fase tertinggi dan menjadi tujuan bagi tasawuf. Dalam salah satu doa dari amalan Thariqoh Naqsyabandiyah mendawamkan,
الهي أنت مقصودى ورضاك مطلوبي اعطني محبتك ومعرفتك
“Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan Ridha-Mu yang aku tuntut. Berikanlah kepadaku rasa cinta kepada-Mu dan juga mengenal-Mu.”
Untuk mendapatkan cinta mendalam kepada Allah bukan perkara yang mudah. Untuk itu seseorang harus dapat menghilangkan secara mutlak segala sesuai yang dibenci oleh kekasinya. Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Sirrul Al-Asrar menerangkan,
“Cinta kepada Allah (Mahabbatullah) tidak akan diperoleh kecuali engkau menjungkalkan hawa nafsu yang ada dalam dirimu, berupa nafsu ammarah, nafsu lawwamah dan nafsu mulhamah. Kemudian engkau bersih wujud dirimu dari akhlak binatang jinak (bahimiyah) seperti suka banyak makan, banyak minum, banyak tidur dan berhura-hura. Engkau juga harus membersihkan wujud dirimu dari sifat-sifat binatang buas (sabu’iyyah) seperti marah, mencaci, memukul dan membentak. Dan engkau juga harus membersihkan wujud dirimu dari sifat-sifat setan (syaitaniyyah) seperti ujub, sombong, membanggakan diri, dengki, dendam dan yang lainnya yang mampu merusak tubuh dan hati.”
Jika engkau telah bersih dari sifat-sifat dan akhlak buruk itu, berarti engkau sudah bersih dan suci dari pangkal dosa, dan engkau termasuk golongan orang-orang yang bersuci dan bertaubat. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah: 222).
Untuk mendapatkan cinta mendalam dari Allah yang hakiki perlu melewati berbagai ujian dan pengorbanan.
Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani dalam Futuh Al-Ghaib kembali menjelaskan,
“Allah menguji hamba-Nya yang beriman sesuai dengan kadar imannya. Semakin kuat keimanan seseorang, semakin besar pula cobaannya. Cobaan yang dihadapi para rasul lebih besar dari pada seorang nabi, karena iman rasul lebih tinggi dari pada iman seorang nabi. Cobaan yang dihadapi seorang nabi lebih besar daripada cobaan seorang khalifah. Cobaan seorang khalifah lebih besar daripada cobaan seorang wali. Setiap orang diuji sesuai tingkat keimanannya dan keyakinannya.”
Tentang ini Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya kami para nabi, adalah manusia yang paling banyak diuji. Kemudian di bawah mereka adalah orang yang lebih rendah kedudukannya dan seterusnya.” (Hr. Bukhari).
Karena itulah Allah terus menguji para pemimpin yang mulia ini agar mereka selalu berada di sisi-Nya tanpa lengah sedikitpun. Allah Ta’ala mencintai mereka, dan mereka dipenuhi cinta kepada-Nya. Seorang pecinta (muhibbin) tidak akan pernah menjauh dari ke kasih yang dicintainya, meskipun segunung ujian sudah siap di depan mata.
Editor: Khoirum Millatin