Abdul Aziz Sultan Al-Mansoub Al-Yamani: Tasawuf dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Bangsa Mongol
Bangsa Mongol adalah bangsa yang banyak terlibat dalam peristiwa besar, salah satunya terhadap kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah.

Bangsa Mongol dan Wilayah Kekuasaannya
Bangsa Mongol datang dan menyebar di negara-negara Muslim pada akhir abad keenam dan awal abad ketujuh. Ada peristiwa besar dalam sejarah manusia pada saat itu. Perang besar yang melibatkan sebagian besar Asia dan sebagian Eropa. Bangsa Mongol juga mencoba menaklukkan Afrika melalui Mesir, tetapi tentara Mesir berhasil menghentikan mereka dalam pertempuran terkenal di Ain Jalut.
Bangsa Mongol muncul di wilayah Cina pada tahun 599 M yang dipimpin oleh Jengiz Khan. Wilayah mereka berbatasan dengan negara Khurasan. Pada saat itu, Khurasan dipimpin oleh Sultan Khurasan Shah Ala ad-Din Muhammad bin Tekis.
Pada masa itu, Khurasan adalah negara yang kuat dan besar. Ibukotanya terletak di Uzbekistan. Wilayah kekuasaannya meliputi dari barat Cina hingga utara India, mencakup sebagian besar wilayah Transoxiana, Afghanistan, Pakistan, Khurasan, Fars, utara Irak, dan sebagian besar wilayah Turki.
Namun meskipun kuat, mereka tidak bisa menghindari invasi Mongol yang dimulai dari Jengiz Khan (w. 624 M.) dan dilanjutkan oleh keturunannya. Mongol berhasil menaklukkan sebagian besar Asia, mencapai utara Moskow, Crimea, Bulgaria, serta berhasil merebut Baghdad, ibukota Kekhalifahan Islam pada tahun 656 H. Setelah itu, mereka melakukan invansi ke Aleppo dan Damaskus. Selanjutnya mereka berhasil menguasai sebagian besar wilayah Turki.
Para sejarawan mencatat bahwa Mongol menyebabkan penderitaan bagi penduduk negeri-negeri yang mereka taklukkan. Mereka membantai puluhan hingga ratusan ribu orang setiap kali mereka menaklukkan kota atau negeri baru. Termasuk jutaan korban berjatuhan ketika mereka melakukan invansi ke Baghdad.
Setelah kejayaan Mongol, muncul dua kerajaan besar yang juga berasal dari keturunan Jengiz khan, yaitu kerajaan Hulagu, cucu Jengiz Khan, menguasai wilayah Transoxiana, Khurasan, Fars, Baghdad, Syam, dan Irak. Dia ditugaskan untuk menaklukkan dan menyatukan wilayah-wilayah ini ke kerajaannya pada tahun 650 H, dan berhasil melaksanakan tugas tersebut beberapa tahun berikutnya.
Kerajaan Bani Dushi Khan, dikenal juga sebagai Kerajaan Qipchaq dan Gurun Suraq, menguasai bagian utara dari Khawarizm, dan meluas ke barat hingga mencakup negara-negara Islam yang baru saja merdeka dari Uni Soviet. Wilayahnya terbentang ke utara dan barat hingga mencakup Moskow, Crimea, dan mencapai batas Konstantinopel dan Bulgaria. Berkah Khan, cucu Jengiz Khan, ditugaskan untuk memimpin kerajaan ini pada tahun 652 H.
Tarekat Kubrawiyah
Ada dua tokoh utama yang memainkan peran penting pada tarekat ini. Mereka adalah Syekh Najmuddin al-Kubra, juga dikenal sebagai Ahmad bin Umar bin Muhammad, seorang ulama terkenal dari Khawarizm yang mendirikan Tarekat Kubrawiyyah juga muridnya utamanya Saifuddin Sa'id bin al-Muthahar al-Bakharzi.
Najmuddin Kubra lahir di Kota Khaywaq (sekarang Khiva, Uzbekistan), Khawarizm pada tahun 540 H. Ia mengikuti mazhab Syafi'i. Ia belajar tarekat dari beberapa guru, seperti Syekh Isma'il al-Qashiri di Ahwaz, Syekh 'Ammar bin Yasir al-Budlaisi di Budlais Armenia, dan Syekh Ruzbihan al-Farisi di Kairo (606 H). Ia juga belajar dari Ibn al-Asr di Damaskus (Ibn Abi 'Ashrun, 492-585 H), sebelum akhirnya kembali ke kota kelahirannya, Khaywaq, dan meninggal pada tahun 618 H.
Murid terbaiknya adalah Sa'id bin al-Muthahar al-Bakharzi, yang lahir 9 Sya'ban 585 H. Al-Bakharzi dilahirkan di Bakharz, yang masuk dalam Provinsi Quhistan di Khurasan (Iran), wilayah di antara Nishapur dan Herat, dengan ibu kota bernama Malin. Al-Bakharzi melakukan perjalanan haji di usia muda, kemudian pergi ke Baghdad dan belajar dari al-Suhrawardi. Di Khurasan, ia belajar dari al-Mu'ayyad al-Tusi, Fadlullah bin Muhammad bin Ahmad al-Nuqani, dan lainnya. Ia juga memberikan kuliah di daerah Daylam, dan belajar dari ulama lainnya seperti al-Khatib Jalaluddin ibn al-Sheikh di Baghdad.
Pengalaman dan pengajaran dari kedua tokoh ini dengan bangsa Mongol adalah hal penting untuk dipelajari. Mereka menjadi contoh teladan bagi kita semua dalam membentuk sejarah manusia. Kita harus menghormati para ahli sejarah yang lebih ahli untuk membahas lebih lanjut tentang mereka.
Najmuddin al-Kubra
Najmuddin al-Kubra adalah sosok penting pada zamannya. Ia melakukan perjalanan ke berbagai tempat dan belajar dari banyak ulama dan mengikuti jalan sufisme. Ia mendapatkan khirqah kesufian dari Syekh Isma'il al-Qashiri, dan pengikut-pengikut Imam Suhrawardi untuk bertabaruk kepada Syekh Abi Nashir Ammar ibn Yasir. Ia terkenal dengan julukan "Thammah al-Kubra".
Orang-orang sangat menghargai perjalanan dan ilmu yang dimiliki oleh al-Kubra. Ia menetap di Khawarizm dan menjadi ulama terkemuka di sana. Ia sangat dihormati karena pengetahuannya tentang hadis dan sunnah. Al-Kubra juga pandai dalam tafsir, dan karyanya mencakup dua belas jilid. Imam Fakhruddin al-Razi mengakui keutamaannya. Al-Kubra juga dikenal sebagai tempat perlindungan bagi orang-orang asing, dan memiliki pengaruh besar tanpa takut kritik karena kesetiaannya pada Allah.
Saat Khawarizm diserang oleh pasukan Mongol, sedangkan raja yang berkuasa pada saat itu lari, Kubra mengumpulkan pengikutnya sekitar 60 orang dan berkata kepada mereka agar segera pergi,
“Pergilah ke negeri-negeri kalian. Sungguh, api telah berkobar di wilayah Timur dan semakin dekat ke wilayah Barat. Ini adalah fitnah yang besar yang tidak pernah terjadi pada umat seperti kalian.”
Kemudian seseorang berkata kepadanya, “Keluarlah bersama kami.” Namun al-Kubra justru memilih untuk tetap berjuang dan ingin syahid di sana.
Saat musuh menyerang, al-Kubra memimpin pertahanan dengan berani. Ia mengajak siapapun yang tersisa untuk melakasanakan shalat jamaah dan bersiap untuk berperang. Ia juga memakai khirqah yang diberikan oleh gurunya. Kemudian mereka melakukan perlawanan semampu mereka dengan melempar batu, anak panah dan lain-lain. Sayangnya, Najmuddin al-Kubra akhirnya terluka parah dan menyuarakan doa terakhir untuk menjadi syahid di jalan Allah sebelum meninggal.
Saifuddin Sa'id bin al-Muthahar al-Bakharzi
Saifuddin Sa'id bin al-Muthahar al-Bakharzi adalah seorang ulama terkenal dari wilayah Bakharz, kota di antara Nishapur dan Herat. Ia lahir pada tahun 585 H. al-Bakharzi memiliki banyak guru terkemuka, termasuk Najmuddin al- Kubra. Ia menempuh pendidikan di berbagai tempat seperti Baghdad, Khurasan, dan Bukhara. Al-Bakharzi adalah seorang ahli tafsir yang dihormati dan juga seorang ahli hadis. Ia memainkan peran penting dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di wilayahnya.
Ada kisah menarik tentang Sa'id bin al-Muthahar al-Bakharzi. Ketika Mongol menyerang Bukhara dan daerah sekitarnya, Najmuddin al-Kubra memerintahkan al-Bakharzi dan pengikutnya untuk pergi ke Khurasan. Al-Bakharzi kemudian pergi ke wilayah seberang sungai. Waktu itu, Khawarizm dan Bakharz hancur.
Kemudian berkumpullah orang-orang yang masih tersisa dan mendengarkan al-Bakharzi membacakan hadis Bukhari dan memberikan pelajaran agama. Namun di antara mereka ada rombongan yang tidak mempercayainya dan memilih pergi ke Bukhara.
Tiba-tiba bangsa Mongol bertemu rombongan tersebut yang sama sekali tidak membawa senjata. Akibatnya, hanya dalam waktu satu jam bangsa Mongol berhasil membunuh sekitar tujuh ribu dari mereka termasuk at-Tarabi, orang yang tidak mempercayai al-Bakharzi.
Karena dominasi al-Bakharzi yang begitu kuat, muncullah kekhawatiran di hati orang-orang kafir. Sampai akhirnya seorang penguasa yang zalim bernama Bayquwa melihatnya sebagai ancaman dan mencoba menyuapnya dengan seribu dinar, tetapi al-Bakharzi tidak mengindahkan hal itu.
Bayquwa kemudian memprovokasi orang-orang dengan mengatakan bahwa al-Bakharzi ingin menjadi khalifah. Mereka menangkap al-Bakharzi dan merantainya. Kemudian ia dibawa ke Samarkand. Tak lama setelah itu Bayquwa meninggal. Setelah al-Bakharzi dibebaskan justru banyak orang-orang yang kemudian memeluk Islam melalui dirinya. Ia kemudian mengunjungi makam al-Bukhari di Samarkand dan merenovasinya selama beberapa waktu.
Karena kepopuleran Najmuddin al-Kubra yang berhasil mengirimkan murid-murid terbaiknya ke beberapa penjuru dunia, seperti Sa’duddin al-Hamawi ke Khurasan, Kamaluddin al-Saryaki ke Turkistan, Nizamuddin al-Jundi ke Qafqaq, dan Saifuddin Sa'id bin al-Muthahar al-Bakharzi ke Bukhara, membuat keturunan Jengiz Khan yang bernama Baraka Khan akhirnya memeluk agama Islam.
Ketika al-Bakharzi menetap di Bukhara, ia mengutus seorang murid terbaik untuk menghadap Baraka Khan dan mengenalkan Islam kepadanya. Mereka saling berdiskusi tentang metodologi keislaman ala Rasulullah yang membuat Baraka Khan tertarik pada Islam. Meskipun pada akhirnya Baraka Khan mengucapkan kalimat syahadat di hadapan murid tersebut, namun ia tetap ingin menemui al-Bakharzi seorang diri dan memperbaharui syahadatnya di hadapan sang Syekh.
Baraka Khan melakukan perjalanan dari Bulgaria ke Jand, lalu ke Utrar, sebelum akhirnya tiba di Bukhara. Pada saat itu, hari sudah malam dan salju turun dengan lebat. Ia tidak meminta izin untuk masuk ke dalam dan menghabiskan malam di luar pintu. Menurut riwayat, Baraka Khan berdiri di pintu sepanjang malam hingga pagi. Ia berdoa selama waktu itu. Selanjutnya Baraka Khan diizinkan masuk dan mencium kaki al-Bakharzi. Sang Syekh terkesan dengan tindakan tersebut. Pada masa berikutnya, banyak pemimpin lain juga yang kemudian memeluk Islam di bawah bimbingan al-Bakharzi dengan mengambil sumpah mereka dan memberikan doa-doa khusus. Kemudian al-Bakharzi memerintahkan mereka untuk kembali ke kampung halaman mereka masing-masing.
Oleh al-Bakharzi Baraka Khan diangkat menjadi penjaga pintu gerbang dan diberi gelar "Mukmin". Di antara orang-orang Tatar, al-Bakhrazi dikenal sebagai "Alagh Syekh", yang berarti Syekh Agung, dan Hulagu Khan juga mengenalnya dengan sebutan tersebut. Bahkan, Hulagu mengirim utusan dari Saksin untuk memastikan bahwa Baraka Khan telah memeluk Islam.
Adik laki-laki Baraka Khan, Batu, yang pada saat itu memerintah wilayah Saksin, Bulgaria, Suqlab, dan Qafqaz hingga Derbent yang masih menganut agama lain pun sangat menghormati sang Syekh. Ketika Batu mengetahui bahwa Baraka Khan telah menjadi pengikut setia Syekh, ia sangat senang dan meminta izin untuk mengunjungi Syekh.
Setelah memeluk Islam, Baraka Khan memerintah wilayahnya dengan baik. Ia mendirikan masjid dan menunjukkan simbol-simbol Islam di segala tempat. Ia menghormati para ulama dan ilmuwan, memperlakukan mereka dengan baik dan memberi mereka bimbingan. Ia mengambil alih masjid dan sekolah di berbagai wilayah-wilayahnya serta membimbing banyak keluarga untuk memeluk Islam. Hari-harinya berjalan dengan damai. Istrinya, Hajik Khatun, juga memeluk Islam. Mereka bahkan memiliki tempat ibadah sederhana yang bisa mereka bawa ke mana pun mereka pergi, yang digunakan sebagai tempat beribadah khusus untuk Hajik Khatun. Mereka memasangnya di tempat tinggal mereka.
Dampak Penerimaan Islam Terhadap Perubahan Bangsa Mongol
Pada saat itu, terjadi peristiwa penting ketika bangsa Mongol, yang dikenal sebagai Tatar, memeluk agama Islam dan mendirikan masyarakat yang maju secara peradaban.
Biasanya, kebudayaan pemenang perang akan mendominasi. Pada masa ini, diharapkan bahwa kebudayaan Tatar lah akan menguasai dan mengendalikan umat Muslim. Namun, di bawah kepemimpinan al-Bakharzi, umat Muslim justru berhasil mengubah situasi ini untuk pertama kalinya dalam sejarah dan menerapkan nilai-nilai pencerahan mereka atas penakluk yang kejam.
Tatar menggunakan invansi, pertumpahan darah, penjarahan, dan penghancuran peradaban sebagai metode penaklukan. Dalam kurun empat puluh tahun, mereka berhasil menduduki sebagian besar wilayah Asia, sebagian Eropa, dan bersiap untuk memasuki wilayah Afrika setelah mencapai kota-kota seperti Moskow, Baghdad, Damaskus, bahkan sempat mengepung Konstantinopel. Mereka mendirikan dua negara besar, yaitu Khanate Bani Dushi di bagian utara dan negara Hulagu di bagian selatan.
Al-Bakharzi berhasil membawa Baraka Khan, penguasa wilayah Qipchaq dan Gurun Suraq (Bani Dushi), memeluk Islam. Hal ini mengubah fokus negara modern di bagian utara ke arah pembangunan, pengembangan dan penyebaran ajaran Islam yang toleran. Selain itu, terjadi konflik militer dengan negara Hulagu, yang sebelumnya bermusuhan terhadap Islam.
Setelah kematian Hulagu pada tahun 663 H, salah satu putranya yang berdama Takdar bin Hulagu memeluk Islam dengan nama "Ahmad" dan menggantikan pemerintahannya hingga tahun 681 H. Dengan demikian, Islam mulai tumbuh di kalangan mereka, bahkan raja-raja mereka ikut memeluk agama baru. Salah satu keturunan Hulagu sendiri, yang bernama Bo Sa'id, memeluk Islam dan memerintah wilayah yang luas, termasuk Irak, Khurasan, Azerbaijan, Romawi, dan Jazirah.
Inilah awal dari proses Islamisasi di wilayah selatan Irak, Fars, dan Khurasan, yang kemudian akan menyatu dengan masyarakat Muslim di wilayah utara. Bersama-sama, mereka membangun masyarakat berbudaya tinggi yang didasarkan pada kesadaran Islam yang terang benderang. Pengaruh mereka bahkan meluas ke berbagai wilayah, termasuk hingga ke anak benua India, di mana Islam menarik minat dan memikat 40% penduduknya pada saat itu, terutama setelah penyebaran tarekat-tarekat sufi seperti Tarekat Suhrawardiyah dan Chishtiyah.
Ada banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil dari konflik besar ini yang mendominasi dunia selama setengah abad. Di satu sisi, ada pasukan besar yang sangat kasar dan menghancurkan segala sesuatu di jalannya, dan di sisi lain, ada dua ulama sufi yang menghadapi pasukan ini dan menghasilkan hasil yang penting.
Kini kita tahu bahwa Nabi Muhammad saw. mengalami dua fase berbeda setelah misi kenabiannya. Pertama adalah fase Mekah dan kedua adalah fase Madinah. Aspek keagamaan mendominasi fase pertama, sementara aspek politik dan administratif bergabung dengannya di fase kedua. Aspek keagamaan berasal dari ayat suci yang berbunyi,
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (Qs. An-Nahl: 125).
Aspek politik muncul ketika negara Islam didirikan dan diatur dengan tuntunan ilahi,
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Al-Baqarah: 190).
Syekh al-Kubra dan al-Bakharzi sepenuhnya memahami ajaran kenabian dan menanggapi situasi yang mereka hadapi sesuai dengan ajaran ini. Pada awalnya, terjadi perang antara pasukan Mongol dan sebuah negara Islam yang harus mempertahankan dirinya. Akibatnya, seorang Syekh yang sudah berusia 78 tahun memilih untuk berperang bersama para muridnya untuk mendukung pasukan negara yang melawan agresi, dan dia gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Setelah Mongol menaklukkan negara ini dan mengambil alih kendali, penting untuk berinteraksi dengan mereka sesuai dengan metode Mekah yang dimainkan oleh Nabi Muhammad saw., yaitu dengan memberikan dakwah dengan bijak, memberikan nasihat yang baik, dan berdebat dengan cara yang terbaik. Ini adalah apa yang dilakukan al-Bakharzi dalam fase berikutnya, dan hasilnya adalah perubahan besar pada nasib negara itu sendiri dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, di mana Islam menjadi agama negara dan masyarakat hidup dalam harmoni yang damai.
Kebanyakan kelompok Islam saat ini kekurangan pemahaman terhadap metode dan ajaran kenabian. Oleh karena itu, seringkali mereka terlibat dalam cara yang tidak tepat. Kita sering melihat mereka menggunakan kekuatan dalam situasi yang seharusnya didasari oleh dakwah dan hikmah. Dakwah dan hikmah adalah metode dasar dalam setiap situasi, namun kita hanya melihat pengaruhnya pada kalangan sufi yang memiliki tekad suci, yang mereka sendiri menjadi target kelompok-kelompok ini.